BAB 11
Juragan Arga menyibak selimut. Bersamaan dengan itu, terdengar lantunan kumandang azan magrib. Dia menoleh pada Nuria sebelum beranjak.
“Aku ada perlu sebentar. Kamu salat duluan saja, ya. Gak apa, ‘kan?” Sorot mata itu menatap dalam.
Nuria mengangguk, lalu menunduk agar manik hitam itu tak begitu terasa mengintimidasinya. Helaan napas panjang Nuria embuskan ketika daun pintu tertutup rapat. Ingin rasanya dia kunci dari dalam agar lelaki itu tak kembali menghampirinya. Namun, mau dikata apa? Dia tak kuasa.
Sebetulnya, rasa penasaran masih memenuhi pikiran Nuria. Suara teriakan itu masih terdengar, meski semakin perlahan dan berselang isakan. Rasa ingin tahu membuatnya perlahan mengusir rasa takut dan perasaan mencekam yang tiba-tiba hadir. Nuria memberanikan diri membuka gagang pintu, tetapi dirinya menggeleng pelan ketika menyadari Juragan Arga mengunci kamar dari luar.
“Sebenarnya ada apa ini? Ibu, Ayah … aku takut.”
Nuria menyandarkan tubuh pada tembok. Matanya menyapu ruangan luas yang terasa lengang dengan mata yang sudah dipenuhi kaca-kaca. Usia yang masih belia membuatnya tak cukup matang dan memiliki keberanian menghadapi ini semua. Apalagi tak ada satu pun tempatnya mengadu dan menumpahkan rasa bingung.
Siapa yang peduli dengan jeritan hatinya? Siapa yang peduli dengan rintihan batinnya? Paman Nursam yang selalu mengatas namakan sayang pun kini tengah berbahagia karena utang-utangnya pada Juragan Arga sudah dianggap lunas. Itulah permintaannya ketika menerima pinangan Juragan Arga untuk Nuria.
Nuria luruh ke lantai, menelusupkan wajahnya di antara dua kakinya yang menekuk. Perlahan, bahunya bergetar, membiarkan rasa sesak yang masih saja datang itu terangkat dari dalam d**a. Dirinya bahkan menjadi abai akan titah suaminya agar melaksanakan salat lebih dulu.
Nuria terisak sendirian di sudut ruangan, dirinya terhenyak ketika daun pintu terbuka. Juragan Arga masuk dengan dahi dipenuhi keringat. Dua puluh menit berlalu sudah dari waktu magrib.
Lelaki itu menatap istrinya lekat. “Istriku kenapa nangis? Sudah salat?” tanyanya.
Nuria menyeka sudut matanya, lalu menggeleng. “Gak apa.” Hanya itu jawaban singkatnya.
Juragan Arga memutar anak kunci dan kali ini mengunci pintu kamar dari dalam. Dia pun gegas menuju lemari dan mengambil perlengkapan salat. Dua sajadah digelarkannya lalu dirinya bertitah, “Pergilah, ambil wudu.”
Nuria mengangguk dan gegas mengambil wudu. Setelah dia kembali dan memakai mukena, Juragan Arga bergegas menyucikan diri juga. Tak berapa lama, dia muncul kembali dengan bulir-bulir air yang membasahi wajahnya. Dia yang sudah rapi dengan koko berwarna putih dan sarung motif kotak, mengambil alih untuk memimpin salat.
“Iqamat!” titahnya, tanpa menoleh pada Nuria.
Namun Nuria pun paham, perintah itu untuknya karena tak ada lagi orang lain di sana. Nuria melantunkan iqamat dengan suara bergetar. Ia merasa aneh ketika ada seseorang menjadi pemimpinnya sekarang.
Takbir pun dilantunkan setelah niat salat dibacakan. Keduanya melaksanakan kewajiban dengan khidmat. Suara fasih Juragan Arga melantunkan bacaan demi bacaan, tiba-tiba saja memberikan setitik rasa tenang dan damai di dalam hati Nuria yang merasakan sepi selama ini.
Usai salat, lelaki di hadapannya melafalkan zikir, lalu terdengar melantunkan untaian doa. Dirinya duduk bersimpuh dengan tangan menengadah dan mengaminkannya. Usai berdoa, Juragan Arga menoleh, lalu tangan kanan terulur ke arah istri kecilnya. Nuria menyambutnya dan mencium punggung tangan kokoh itu untuk kedua kalinya, yang pertama dia lakukan tadi setelah akad. Lagi, satu kecupan didaratkan pada keningnya, lalu pada pucuk kepalanya.
Setelah itu, lelaki itu bangkit dan melipat sajadah miliknya. “Mulai hari ini, aku adalah suamimu, aku imammu. Dan aku akan menjagamu, Istriku. Jangan pernah merasa sendiri. Aku bisa kamu andalkan,” tukasnya seraya meraih jemari lentik yang terbungkus mukena, lalu dia genggam.
Ada rasa hangat mengalir ke dalam d**a. Nuria mengangkat wajah sekilas, tak berani bersitatap lama. Sebuah kedamaian tiba-tiba menelusup ke bilik hatinya. Kini, dia tak lagi sendiri, ada seorang lelaki yang sudah mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
“Iya, Juragan ….” Nuria berucap lirih dan tetap menunduk, membiarkan rasa hangat menjalar ke d**a dari genggaman jemari kokoh yang seakan tengah menguatkannya.
“Jangan memanggil seperti itu, aku ini suamimu.” Juragan Arga berucap seraya mengusap sekilas pipi Nuria, lalu melepas genggaman tangannya.
“Iya.” Hanya itu kata terucap dari bibir mungil istri kecilnya.
Juragan Arga hanya tersenyum, lalu bangkit dan berganti pakaian lagi. Kali ini, dia memilih mengenakan kaos lengan pendek dan celana selutut. Dia pun menoleh pada Nuria yang baru saja merapikan perlengkapan salatnya ke tempat semula.
“Mau makan malam sekarang?” tanyanya.
Nuria menoleh, lalu mengangguk perlahan. Perutnya sudah berteriak juga kelaparan.
Juragan Arga menghampiri sebuah telepon rumah yang terpasang di dalam kamar, lalu memijat tiga angka extention. Tak berapa, lama dia berbicara dengan seseorang.
“Bibi, siapin makan malam!” tukasnya. Ia menjeda sejenak, lalu kembali menyambung kalimat. “Siapin di balkon saja.” Dia kembali mengakhiri panggilan.
Nuria duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Juragan Arga berjalan mendekat ke arah pintu yang menghubungkan dengan balkon. Dia pun membuka daun pintu itu lebar-lebar, membiarkan udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan udara luar yang sudah mulai sejuk juga. Dia tampak membersihkan meja dan menata kursinya.
Nuria yang merasa tak enak berpangku tangan, berjalan kikuk mendekat. “A-da yang bisa saya bantu, Juragan?” tanyanya, masih sedikit tersendat.
Juragan Arga menoleh, lalu menggeleng. Nuria pun mengangguk, dia baru hendak kembali ke dalam ketika lelaki itu memanggilnya.
“Duduk di sini, Istriku.”
Suaranya datar, tatapannya dalam. Juragan menarik satu kursi untuk Nuria duduk. Gadis itu mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar.
Dari balkon, tampak langit malam dengan beberapa semburat jingga yang tersisa terhampar. Beberapa kerlip bintang sudah mulai bermunculan. Angin sesekali berembus membelai wajah Nuria dan menerbangkan helaian rambut yang tak terikat dengan benar.
Suara ketukan pada daun pintu, membuat tatapan lelaki itu berpaling. Nuria baru hendak berdiri dan membukakan pintu itu ketika Juragan Arga mengisyaratkan untuk tetap duduk. Dia menjauh dengan langkah lebarnya. Tak berapa lama, terdengar anak kunci yang diputar. Kemudian, dua orang perempuan paruh baya datang dengan nampan berisi beragam makanan. Nampan itu cukup besar, sehingga semua yang diletakkan pada meja segi empat yang ada di balkon membuatnya penuh. Dua piring nasi putih tampak sudah tersaji juga.
“Silakan, Nyonya!” tukas keduanya dengan sopan.
Salah satunya menata garpu dan sendok pada tempat yang sudah disediakan. Sedangkan satu orang lagi menuang air ke gelas bening dan di tata di dua tempat duduk yang berhadapan itu.
“Makasih, Bi Menih, Bi Lala.”
Suara Juragan Arga membuat dua orang perempuan itu menoleh dan mengangguk. Setelahnya, mereka mengulas senyum dan mempersilakan sekali lagi, sebelum meninggalkan ruangan.
Juragan Arga duduk. “Mau makan yang mana, Istriku?” tanyanya datar.
Nuria yang menatap semua yang tertata itu mendadak bingung. Semua makanan itu begitu menggoda. “Saya suka semua, Juragan.”
Lagi, dia memanggil suaminya dengan sebutan itu, membuat gerakan tangan Juragan Arga yang hendak menyendokkan rendang daging ke piring istrinya berhenti.
“Tolong jangan panggil aku seperti itu, hm?” pintanya. Sorot matanya kembali menatap dalam.
“Hmm … lalu aku harus manggil apa?” Nuria kebingungan.
Lelaki itu tersenyum simpul. “Memang usia kita beda jauh, Istriku. Tapi, bisakah kamu memanggilku ‘Mas’, ‘Abang’ atau mungkin ‘Suamiku’?” Dia memberikan beberapa pilihan.
Nuria sejenak termenung. Perlahan, Nuria mengangguk setelah merasa itu adalah panggilan yang paling tepat. “Iy-iya, Bang!” tandasnya membuat lengkungan senyum pada bibir Juragan Arga.
“Makasih,” lirihnya. Lalu, dia melanjutkan menyimpan potongan daging itu ke piring istri kecilnya.
“Sama-sama ….” Nuria menjawab pelan. Dia pun mengambil sendok dan garpu.
Usai berdoa, keduanya mulai menyuap. Tak ada percakapan, hanya denting sendok dan sesekali Juragan Arga mengambilkan lauk dan sayuran dan menyimpannya ke piring Nuria.
Nuria makan sambil menunduk. Rasanya gugup dan kikuk ketika lelaki itu menatapnya begitu lekat. Meskipun tak bisa dielakkan, semenjak usai salat berjamaah tadi, dirinya sudah bisa berdamai sedikit. Nuria merasakan memiliki seseorang yang mungkin bisa dia jadikan sandaran. Dirinya yang selama ini merasa terkatung-katung sendiri, tiba-tiba merasakan memiliki pegangan.
Makan pun usai, Juragan Arga memanggil kembali dua orang tadi untuk membereskan makanan. Dia pun meminta mereka mengganti teh manis hangat untuk Nuria karena sudah dingin. Akhirnya, dua gelas cokelat yang datang. Nuria menatap gelas itu, tadi makan cukup banyak karena baru sekarang bisa makan enak. Alhasil, mungkin tak ada lagi celah di perutnya untuk segelas cokelat itu.
Keduanya berpindah tempat duduk pada sebuah sofa kecil yang ada di sebelah kanan balkon. Juragan Arga meletakkan dua cangkir cokelat itu di sana, lalu menepuk tempat kosong agar Nuria bisa duduk di sampingnya.
“Temani aku, Istriku.” Suaranya pelan, tetapi begitu tegas.
Nuria pun menurut, dia duduk di sana meskipun masik kikuk. Jarak itu terlalu dekat, menurutnya.
“Terima kasih sudah menjadi istriku ….”
Tanpa Nuria sangka, lelaki itu menoleh lalu mengangkat dagunya. Wajahnya menunduk, perlahan memangkas jarak hingga embusan napas itu menyapu wajahnya. Nuria merasakan gugup luar biasa sehingga refleks memejamkan matanya. Debar jantungnya kembali berpacu lebih cepat, tenggorokannya terasa tercekat.
Namun, nuansa menegangkan itu tak berlangsung lama, suara debuman pada daun pintu dan teriakan seseorang membuat Juragan Arga menghentikan semuanya.
“Papa! Kamu beneran jadi nikahin perempuan kampungan itu? Cih!” Suara seorang perempuan memekik dari dalam kamar dan mendekat ke arah mereka berdua.
Juragan Arga menghela napas, lalu berdiri dan meminta Nuria tetap di tempat. Sementara itu, dia bergegas berjalan dan menutup daun pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon.