BAB 6

1144 Words
BAB 6 “Dit! Kamu mau ngapain? Lepasin aku!” Nuria memekik. Namun, satu tangan Radit membekap mulutnya. Nuria pun menggeliat sehingga gelas yang dibawanya jatuh memecah keheningan. “Aku cuma mau nolongin kamu, Nur! Setelah kita melakukannya, pasti tua bangka itu akan menggagalkan lamarannya dan kita akan menikah.” Radit mulai melepas celana panjangnya dan membiarkannya terjatuh ke lantai. Nuria menggeleng. Dia memberontak, lalu sekuat tenaga menggigit tangan Radit yang membekapnya. “Aw!” Bekapan itu terlepas, rengkuhannya sedikit mengendur dan Nuria berteriak, “Tolong! Tolong!” Nuria berlari, tetapi lagi-lagi kalah cepat. Tangan Radit menarik kemeja yang digunakannya hingga bagian kancingnya terlepas beberapa. Kemeja lusuh itu pun terkoyak. “Tolooong!” Satu teriakan lagi lepas sebelum Radit akhirnya kembali bisa membekuknya. “Sssst! Jangan begitu, Nur. Hanya ini cara buat bisa nyelametin kamu! Kita akan menikah setelah ini. Aku janji, mamaku pun pasti akan setuju. Dia akan memarahiku karena sudah melakukan ini padamu. Kita akan hidup bahagia, Nur! Please jangan teriak lagi, ya.” Tangan Radit masih membekap mulut Nuria, sementara tangan satunya memegang kedua tangan Nuria ke belakang. Air mata sudah mengalir begitu deras di pipi Nuria. Datu kecupan yang lama Radit jatuhkan pada keningnya. Tampak ada kilat cinta di matanya. Dia melakukannya untuk menyelamatkan gadis yang diminta untuk menunggunya, gadis yang sudah memenuhi relung hatinya. “Aku sayang kamu, Nur. Aku gak rela kamu dinikahi tua bangka itu! Bukankah kamu sudah janji akan menerima lamaranku jika suatu hari nanti aku datang? Kamu juga cinta aku, kan, Nur?” Radit menatap kedua netra yang dipenuhi kaca-kaca itu. Nuria hanya menggeleng dan memelas dengan sorot mata. Namun, Radit seperti tak memiliki belas kasihan, dia mulai melakukan apa yang sedari tadi ada di kepalanya. “Tolooonggg!” Nuria berteriak sekuat tenaga ketika bekapan itu akhirnya kembali terlepas. Bruk! Pintu depan tiba-tiba ambruk. Bukan dibuka dengan halus, melainkan ditendang. Seiring dengan pintu terbuka, Radit mengguling, menjadikan posisinya berbalik dari semula. “Hentikan!” Dua orang berpakaian hitam menatap nyalang ke arah Radit. Nuria mengkerut ketakutan. Dia meraih apa pun untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. “Kalian siapa? Kenapa mengganggu kami? Gak tahu kesenangan anak muda saja! Aku tak berbuat jahat. Kita melakukannya suka sama suka!” Radit bicara santai sambil beringsut bangun. Dia menatap kedua lelaki tinggi tegap yang mendekat dengan wajah garang itu tanpa sedikit pun rasa takut Bugh! “Jangan sesekali berani menyentuh calon istri Juragan Arga!” Satu tendangan bersarang pada perut Radit sehingga lelaki itu terhuyung. Sementara itu, Nuria beringsut menuju kamar meskipun dengan kaki gemetar. Hampir saja, semua berakhir dengan mengenaskan. Dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam, lalu menghabiskan rasa takutnya dengan menangis sesenggukan. Andai Nuria tahu solusi yang dimaksud Radit seperti ini, dia sama sekali tidak tertarik. Sementara itu, di ruang tengah terdengar suara orang baku hantam. Sesekali barang-barang pecah dan berjatuhan terdengar. Nuria gegas mencari pakaiannya lain dan memakainya, lengkap kembali dengan kerudungnya. Namun, tak ada niatan untuk keluar. Dirinya benar-benar merasa takut. Takut sekali. Entah berapa lama pergulatan di ruang tengah terjadi. Hingga akhirnya suara itu menjadi sepi. Nuria tak berani keluar hingga deru motor berhenti di depan. Tak berapa lama, disusul oleh suara tawa dari Nirina dan riuh obrolan Bi Lela. Nuria masih mengurung diri di kamar, awalnya tak hendak ke luar. Namun ,ketika sadar belum salat isya, dia pun membuka pintu. Hatinya sudah mempersiapkan jawaban jika Bi Lela mengintrogasinya terkait kondisi rumah yang berantakan. Namun, Nuria berhenti sejenak ketika melihat Bi Lela dan Paman Nursam sedang duduk santai di ruang tengah. Semua masih rapi seperti ketika belum ada kejadian tadi. Bekas pecahan gelas yang tadi berserak pun sudah tak ada. Meskipun heran, Nuria tak bisa menanyakan apa pun. Hanya dia yang tahu kejadian tadi. Namun, ketika berjalan menuju dapur, dia berpapasan dengan Nirina yang tengah membawakan kopi untuk Rudi. Dia menatap Nuria yang matanya tampak sedikit sembab. “Nur, tadi ada yang datang ke sini, gak?” tanyanya, tanpa Nuria sangka. “Yang datang? Maksudnya?” Nuria berhenti, lalu menatap Nirina yang tampak menautkan alisnya. “Ada tamu, gitu?” Nirina mengulang pertanyaanya. “Tamu? Gak ada.” Nuria akhirnya memilih tak bicara. Lagipula, kenapa Nirina tahu jika akan ada tamu? Apakah kedatangan Radit ada hubungannya dengan pertanyaan Nirina? “Aneh!” gumaman pelan dari Nirina seiring dengan langkahnya yang menjauh terdengar. Nuria tak ambil pusing. Dia gegas mengambil wudu lalu kembali ke kamarnya. Paman Nursam dan Bi Lela tampak tengah menikmati kue yang dia bawa sepulang kondangan tadi. Seperti biasa, Nuria selalu dianggap tak ada. Sudah biasa. Di sana dia diperlakukan seperti bukan anggota keluarga. Empat rakaat dia jalankan. Nuria memanjatkan doa dan kembali menangis, mengucap syukur atas dirinya yang masih selamat dari sosok lelaki yang hendak melecehkannya. Sedih, kesal dan sesak memenuhi dadanya. Kenapa Radit malah membuatnya kecewa? Dulu, memang benar Radit memintanya menjadi pacar, tetapi Nuria tak menerimanya karena dia ingin lelaki yang datang itu langsung melamarnya. Radit, yang pada masa itu baru saja hendak menyelesaikan sekolah kelas tiga SMA, tak memiliki keberanian senekat itu. Dia masih harus kuliah dan mencari kehidupan yang mapan sebelum melamar Nuria. Memang, Radit memintanya menunggu, meski tak ada ikatan di antara mereka. Tiba-tiba dia mendengar jika gadis pujaan hatinya akan menikah. Hati Radit sakit, remuk, redam. Namun dia pun tak bisa berkutik. Uang kuliah saja masih dibayarkan orang tuanya, mana mungkin ibunya akan memberikan restu ketika dirinya bilang akan menikah muda. Akhirnya, hal yang membuat Nuria terlukalah yang lelaki itu ambil. Dia sama-sama putus asa sebetulnya. “Dit, kenapa kamu buat aku kecewa?” Nuria memejamkan mata seraya melipat mukena. Bayangan tadi terlintas lagi, membuatnya bergidik. Bahkan, beberapa tanda merah sempat tersemat pada beberapa bagian tubuhnya, membuat rasa simpatiknya pada Radit berubah menjadi kecewa. Derit pintu kamar yang didodorng Nirina membuatnya menoleh. Sepupunya itu berjalan dan duduk pada kasur lantai yang terhampar. Dia menatap Nuria dalam-dalam. “Nur, aku kasihan lihat kamu, tertekan banget, ya, sama pernikahan ini? Maafin aku, ya,” ucap Nirina dengan wajah tampak merasa bersalah. Nuria mendongak, kedua alisnya saling bertaut. Rasanya aneh mendengar Nirina berkata baik padanya. “Gak apa, Rin. Mungkin emang begini takdir aku.” Nuria menjawab lemah. “Aku ada solusi biar kamu bisa lepas dari pernikahan ini. Kamu mau aku bantu, gak?” Nirina menatap Nuria. Demi menebus rasa tak relanya melihat Nuria memiliki keberlimpahan yang lebih, dia bersikap baik pada Nuria dan berharap rencananya akan lancar dan pernikahan itu akan gagal. Tiba-tiba saja Nuria teringat kembali pada kejadian tadi. Kejadian yang ternyata tak diketahui siapa pun. Hanya dirinya, Radit dan dua orang berpakaian hitam itu saja yang tahu. Dari itu Nuria sadar, jika Juragan Arga mengirim orang untuk mengawasinya. Nuria masih sibuk dengan pemikirannya ketika tiba-tiba Nirina memekik kaget sambil menatap gawainya. “Apa? Radit meninggal?!” pekiknya seraya matanya tertuju pada layar gawai. Nuria tersentak. Apakah orang suruhan juragan yang membunuhnya? Ketakutan pun melanda. Sebenarnya sosok seperti apa yang akan dinikahinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD