BAB 5
“Oh gitu, Bi?” Nuria tersenyum simpul. Dia masa bodoh sebetul. Rasanya semangat Nuria sudah tergadai dengan semua keadaan ini.
“Iya, Nur. Bibi berangkat dulu, ya. Bibi mau pergi kondangan!” Bi Lela tersenyum seraya menepuk pundak Nuria. Satu paper bag yang dia incar sudah beralih ke tangannya, set alat make up lengkap yang akan digunakan olehnya.
Nuria hanya mengangguk, lalu menutup pintu kamar setelah Bi Lela meninggalkannya. Lagi-lagi, dia hanya menghabiskan waktu dengan duduk bengong dan memeluk lutut di dalam kamarnya. Semua barang mewah yang Juragan Arga kirimkan tak bisa membeli kebahagiaannya.
Setengah jam berlalu, Nuria hanya tepekur sendirian. Suara ketukan pada daun pintu diiringi orang yang mengucap salam terdengar. Meskipun enggan, Nuria tetap berjalan menuju ruang tengah dan membukakan pintu.
“Assalamualaikum, Nur!”
Sejenak Nuria bergeming, menyeka kedua matanya karena tak percaya pada apa yang dia lihat. Sesosok tubuh jangkung dengan kumis tipis yang menjadi ciri khasnya. Sorot mata itu, mata itu masih sama seperti ketika dia berjanji akan kembali datang dan menghalalkannya setelah sukses nanti.
“Hey, jawab salamku, dong. Kok, malah bengong?” Raditya Pramudita mengulangkan tangannya di depan wajah Nuria.
“Wa-waalaikumsalam, Dit. Mari duduk.” Nuria mempersilakan tamunya untuk duduk di teras. Ada dua kursi di sana yang biasa dipakai Paman Nursam menghabiskan waktu.
“Makasih, Nur.” Lelaki itu menjatuhkan bokongnya pada satu kursi kayu yang terhalang meja.
Nuria berpamitan sebentar, hendak mengambilkan air minum untuk Radit. Tak berapa lama, dia kembali dengan segelas air putih. Lalu, dia pun duduk menunduk pada kursi yang berseberangan dengan tamunya.
Hening, tak ada obrolan selama beberapa saat. Nuri menatap ujung kakinya yang memakai sandal dan menempel pada lantai semen di bawahnya. Bagian luar rumah Paman Nursam hanya menggunakan lantai semen.
“Aku ganggu, ya?” Radit memulai percakapan.
Nuria mengangkat wajah sekilas, lalu menggeleng pelan. “Enggak, kok.” Dia hanya menjawab singkat.
“Nur, kamu masih ingat janji aku?” Radit menatap tajam pada Nuria yang ada di depannya.
“Sudahlah, Dit. Kamu tahu sendiri aku sekarang akan menikah.” Nuria mengangkat wajah dan menatap sekilas lelaki jangkung yang duduk di seberangnya.
“Bukannya kamu janji akan nunggu aku hingga aku sukses, Nur?” Suara Radit meninggi.
Nuria terdiam. Namun, tak berapa lama, dia berusaha menjelaskan. “Aku gak janji apa pun, Dit. Aku hanya bilang tak mau pacaran.” Nuria masih ingat apa yang dia katakan ketika Radit menyatakan perasaannya, menjelang akhir kelas tiga sekolah menengahnya.
“Iya, tapi kamu janji akan nerima aku jika nanti aku dan keluargaku datang dan melamarmu. Tapi, kenapa kamu malah menerima lamaran si tua bangka itu, Nur?” Suara Radit terdengar geram.
“Bukankah ibumu tak menyukaiku, Dit? Kata ibumu, kamu harus sukses dulu, kelarin kuliah S1, harus jadi PNS dulu. Dan pasti nanti ibu kamu juga bilang kalau dia berharap kamu dapetin perempuan yang sepadan. Aku ini apa? Hanya anak yatim yang miskin, Dit. Ibuku juga hanya seorang TKW yang bahkan gak pulang-pulang.” Nuria menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang bergelayut.
Terdengar helaan napas panjang dari Radit. Dia menatap perempuan yang disukainya dalam-dalam. “Apa kamu akan menolak lamaran lelaki tua itu, jika aku mengajak keluargaku untuk datang?” tanyanya.
Nuria menghela napas kasar, lalu menyeka sudut matanya. “Semua tak semudah itu, Dit. Asal kamu tahu, aku menerima lamaran Juragan Arga demi balas budi. Jika aku menikah dengannya, maka semua utang paman yang puluhan juta itu akan dianggap lunas.” Nuria mulai terisak.
“Nur! Itu bukan tanggung jawab kamu! Kita berhak bahagia, Nur!” Radit berdiri, lalu bersimpuh di depan Nuria. Dia mendongak menatap wajah yang tampak murung itu.
“Aku tahu, Dit, tapi aku gak punya pilihan. Hanya di sini rumah tinggalku. Aku gak punya siapa-siapa lagi selain Paman dan Bibi.” Nuria menjelaskan dengan d**a yang mulai terasa sesak.
“Katakan padaku, Nur! Apa kamu mencintai tua bangka itu, lelaki gak tahu malu yang masih doyan daun muda? Cih!” Radit hendak meraih tangan Nuria, tetapi gadis dengan kerudung instan itu menepisnya.
“Apa pun itu, aku bilang, aku gak punya pilihan.” Nuria terisak. Lalu, menyeka sudut matanya yang basah.
“Aku ada cara untuk membatalkan pernikahan kamu dengan lelaki tua bangka itu jika kamu mau, Nur. Kamu pun gak akan disalahkan akan hal ini.” Radit berucap dengan penuh penekanan.
Nuria menatap wajah Radit. Ingin sekali tahu, tetapi dia takut jika apa yang dikatakan Radit adalah hal yang akan menyulitkan. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk bertanya, “Gimana caranya?” Nuria bertanya dengan datar.
Radit bangkit lalu duduk kembali di kursinya yang tadi dia duduki. Dia meneguk air dalam gelasnya hingga tandas.
“Ngomong-ngomong, sepi banget rumah ini, Nur?” Dia belum menjawab pertanyaan Nuria, tetapi malah melemparkan pertanyaan lainnya.
“Paman, bibi sama Rina pergi kondangan, Dit.” Nuria menjelaskan sejujurnya.
Ada senyum mengembang pada bibir Radit, lalu dia menoleh pada Nuria. “Kamu beneran ingin tahu cara agar pernikahan kamu batal dengan Juragan tua itu dan kamu tak disalahkan, Nur?” tanyanya.
Nuria mengangguk.
“Tolong ambilkan dulu segelas air lagi untukku, Nur.” Radit mengangsurkan gelas kosong itu pada Nuria.
“Apa ada hubungannya dengan gelas ini, Dit?” Nuria merasa heran.
Radit terkekeh, lalu menggeleng. “Ambilkan saja. Nanti kamu akan tahu seperti apa rencananya.”
Nuria akhirnya menurut saja. Dia meninggalkan Radit menuju dapur untuk mengambilkan segelas air untuknya. Berharap lelaki itu benar-benar memberikan solusi agar dia terlepas dari pernikahan itu dan tak ada orang yang menyalahkan dirinya.
“Dit!”
Nuria sedikit kaget ketika dia kembali dari dapur dan mendapati Radit sudah berada di ruang tengah dan sedang mengunci pintu depan.
“Mari aku kasih tahu caranya, Nur. Pasti juragan tua itu gak akan menikahimu!” tukasnya seraya membuka pakaiannya, lalu melemparnya begitu saja. Dia mendekat ke arah Nuri dengan tatapan mendamba.
Nuria menggeleng, perasaannya sudah semakin tak karuan. Dia gegas berbalik, hendak melarikan diri melalui pintu dapur. Namun, sayang, gerakannya kalah cepat. Kedua tangan Radit berhasil merengkuhnya dari belakang.