BAB 7
“Nur, aku yakin, Juragan Arga itu orang jahat! Buktinya Radit meninggal!” tukas Nirina.
Alis Nuria saling bertaut. Matanya memicing, menatap sepupunya yang seolah mengetahui sesuatu. “Kenapa kamu bilang gitu? Apa hubungannya meninggalnya Radit dengan Juragan Arga?” Nuria menatap lekat pada wajah Nirina yang tampak sedikit pucat.
“Hm ... gak ad. Gak ada, kok!” Dia pun gegas bangkit dan meninggalkan Nuria sendirian.
Nuria memejamkan mata. Sebetulnya, hatinya dilliputi rasa takut dan suasana terasa mencekam. Bahkan, bayangan Radit dan setiap perlakuannya masih membekaskan rasa trauma dalam d**a. Kini, ditambah kabar meninggalnya Radit yang begitu mendadak.
Kepalanya berdenyut nyeri. Nuria pun memilih merebahkan tubuhnya lalu melepas semua kepenatan itu perlahan, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Ia harap, semua tanda merah yang menjejak ditubuhnya besok sudah hilang lenyap.
***
Keesokan harinya, Nirina mengetuk pintu kamar itu pagi sekali. Nuria baru saja selesai melakukan dua rakaat duha.
“Nur, ada temannya Rudi di depan!” tukasnya dengan tersenyum manis.
“Mau ngapain?” Nuria menatap heran.
“Hmm .... Kamu ingat Felix, gak? Dia pernah naksir kamu katanya!” bisik Nirina.
“Lalu?” Nuria menautkan alis.
“Ini yang aku bilang kemarin ke kamu. Misal kamu punya pacar, mungkin bisa batalin pernikahan kamu dengan Juragan Arga. Sepertinya dia itu manusia berdarah dingin. Emang kamu gak takut?” Nirina berbicara dengan nada berbisik.
“Kenapa kamu baik sama aku sekarang? Bukankah kemarin-kemarin kamu yang menyodorkanku buat gantiin lamaran Juragan Arga buat kamu?” Nuria yang merasa curiga pada Nirina tak lekas tergoda. Aneh rasanya dengan perubahan sikap sepupunya yang mendadak begitu.
“Aku cuma—”
“Sudahlah, Rin. Gak usah urusi hidup aku.” Nuria memangkas kalimat yang akan Nirina ucap.
“Nur ....”
“Suruh dia pergi saja. Aku gak berminat bertemu siapa pun.” Nuria beranjak, lalu menyimpan mukena yang sudah dia lipat ke tempat semula.
Nirina masih bergeming. Rencananya tak boleh gagal. Dia tak rela kehidupan Nuria lebih baik daripada dirinya, tetapi dia pun tak mau jika harus menikahi lelaki seusia ayahnya itu.
Hari itu, Nirina mengabarkan pada Felix kalau sepupunya tidak enak badan. Akhirnya Felix pulang, padahal sudah senang akan segera mendapat mainan baru. Apalagi Nirina bilang itu adalah Nuria, gadis yang waktu SMA begitu susah didekatinya.
Nuria yang merasakan lelah, gegas berganti pakaian. Dia hendak berziarah ke makam almarhum ayahnya yang tak terlalu jauh dari sana. Lima belas menit, pemakaman itu sudah bisa ditempuhnya dengan jalan kaki.
Nuria memasuki area pemakaman, lalu bersimpuh di atas sebuah pusara yang tanahnya sudah ditumbuhi rerumputan. Dia pun mencabutinya. Ada rasa sedih dan perih ketika mengingat nasib yang tak berpihak padanya. Kehidupannya tak pernah menenangkan. Namun, kemunculan dua orang lelaki berpakaian hitam membuat Nuria sedikit tersentak. Dia masih ingat wajah itu, mereka yang menolongnya dari Radit malam tadi.
“Permisi, Nyonya!” tukas mereka berdua seraya ikut berjongkok, lalu mencabuti rerumputan di sekitar makam.
Nuria terpana. Rasa terkejutnya berubah menjadi heran. Apa dua orang itu benar-benar gak ada kerjaan, malah sibuk mencabuti rereumputan?
“Pak, kalian gak ada kerjaan, ya? Kayaknya, Bapak yang orang tadi malem nolongin saya, ya?” Nuria bertanya pada kedua orang itu.
“Justru, kami sedang bekerja.” Salah satu dari mereka menjawab.
“Bekerja?” Kedua alis Nuria saling bertaut.
Tak ada jawaban lagi terlontar. Mereka melakukannya dengan cepat. Setelah memastikan tak ada lagi yang dibutuhkan, mereka bergegas menjauh. Hal itu membuat Nuria menarik napas panjang.
“Apa bisa aku hidup, jika belum menjadi istrinya saja sudah menjadi seperti buronan?” Helaan napas kasar dia embuskan.
Doa-doa dilangitkan. Nuria bersimpuh dan terisak seraya mengirimkan untaian kebaikan untuk almarhum Haidar—ayahnya yang sudah dengan tenang di alam sana. Dia khusyuk sekali, sampai-sampai tak sadar jika sejak tadi ada sepasang mata yang memandangnya dengan tatapan datar.
“Nuria! Saya mau bicara!”
Suara itu tiba-tiba muncul membuat Nuria kaget. Rupanya, ada ibunya Radit di sana. Ada sekeranjang bunga dijadikan tentengan. Sepertinya dia sudah ziarah.
“Tante? Oh iya, maaf kemarin gak bisa takziah.” Nuria melempar senyum dan basa-basi.
Wajah di hadapannya masih sama. Dingin dan pancaran ketusnya yang luar biasa. “Gak usah basa-basi. Saya cuma mau tanya, tadi malam ada orang yang melihat Radit mengunjungi kamu. Apakah itu benar?”
Glek!
Tiba-tiba bayangan itu berlarian kembali. Keringat dingin bermunculan di dahi Nuria. Namun, tak urung kepalanya mengangguk membenarkan. Ingin rasanya menyangkal, tetapi takutnya akan menjadi hal mencurigakan.
“Kematian Radit gak wajar! Saya sedang mengurusnya ke kantor kepolisian. Dari hasil visum, kematian Radit disebabkan menenggak racun. Wajahnya juga babak belur. Jika ada polisi yang datang ke rumah kamu, tolong kerja samanya. Saya hanya ingin mengungkap siapa pembunuh putra saya. Pembunuh itu harus mendapati balasan yang setimpal! Karena berdasarkan saksi mata, kamu adalah orang terakhir yang ditemuinya sebelum dia meninggal.”
Ibu Radit berbicara panjang lebar, bahkan Nuria tak memiliki ruang untuk menjelaskan terkait apa yang sudah Radit lakukan. Misalkan dia pun menjelaskan, apakah itu akan semakin membuat dugaan bahwa dirinya malah memiliki motif untuk melakukan itu. Entah kenapa, ada rasa takut jika dirinya nanti dianggap terlibat.
Perempuan itu berjalan menjauh setelah memindai Nuria dari atas ke bawah.
“P-polisi?” Nuria terbata seraya menyeka keringatnya.
Dia pun gegas pulang dengan lunglai. Di saat hidupnya tengah dirundung masalah, kenapa juga harus bertambah dengan kasus seperti sekarang ini?
Jarak masih menyisakkan beberapa langkah lagi sebelum memasuki pekarangan rumah. Namun, tampak sebuah mobil polisi sudah terparkir di depan rumah Paman Nursam. Lelaki berseragam itu menatap ketika Nuria datang dan mengucap salam.
“Mengingat kematian Saudara Radit tak wajar dan berdasarkan beberapa orang saksi, kamu adalah orang terakhir yang bertemu dengannya, kami akan meminta beberapa keterangan!” jelas salah satu anggota seraya menunjukkan surat tugasnya.
Nuria menghela napas kasar. Harus seperti apa dia bilang? Bagaimana kalau memang Radit dibunuh oleh dua lelaki berpakaiauan hitam itu? Apakah Juragan Arga nanti akan jadi tersangka ataukah dirinya juga akan dilibatkan?
Pikirannya bertali, kusut semrawut dan tak bisa terurai. Nuria hanya mengangguk pasrah. Dia menoleh dan mengedarkan pandangan. Pada saat seperti ini, sangat berharap dua orang mata-mata itu menampakkan diri dan memberikan pertolongan.