BAB 3
Acara lamaran pun usai. Rombongan keluarga Juragan meninggalkan kediaman Paman Nursam. Bi Lela dan Paman Nursam mengantar rombongan hingga ke depan. Mereka menyalami semua orang yang ikut, kecuali Juragan Arga. Dia tak mau bersentuhan dengan siapa pun, termasuk dengan Paman Nursam.
“Yah ... juragan teh sombong gitu, ya?” bisik Bi Lela ketika dua mobil mewah itu meninggalkan pekarangan rumahnya.
“Ya, namanya juga orang kaya, Bu. Yang penting sekarang, tuh, utang-utang kita sudah dianggap lunas oleh Juragan Arga!” Paman Nursam menggenggam jemari Bi Lela dengan pandangan berbinar.
“Alhamdulilah, Yah. Ringan hidup ibu. Ini semua gara-gara Ayah, sih, nurutin terus kemauan Nirina! Jadi kelilit utang sendiri!” bisik Bi Lela sambil melotot pada Paman Nursam.
“Ya, mau gimana atuh, Bu? Namanya juga sayang.” Paman Nursam menatap istrinya sambil menghirup udara yang banyak, lalu diembuskan kasar.
Nuria mengangkat wajah. Pikirannya kosong, ia sangat berharap semua ini hanya mimpi buruk. Usianya yang masih 18 tahun sudah harus dihadapkan dengan sebuah pernikahan. Andai itu pernikahan impian dengan orang yang dicintai dan suka sama suka, ini hanyalah pernikahan yang harus dia terima karena tak punya pilihan.
Air matanya meleleh begitu saja ketika melihat kilau berlian yang ada dijemarinya. Rupanya, benar orang bilang jika kebahagiaan tak selamanya bersumber dari harta benda. Nuria sama sekali tak merasakan kebahagiaan dengan semua barang mewah yang menempel pada tubuhnya.
Dia bangkit perlahan dan membawa kotak perhiasan itu di pelukannya. Bukan karena sayang, akan tetapi karena takut akan perkataan Suryadi yang seakan mengancamnya tadi. Semua barang ini hanya titipan.
Tiba di kamar, Nuria melepas kebaya yang membuatnya sesak dan tak bebas bergerak. Digantungnya perlahan dengan hanger yang ada di sana. Dia gegas berganti dengan piyama lusuh miliknya, lalu duduk memeluk lutut di tepi tempat tidur yang sudah tak lagi empuk. Hanya sehelai kasur lantai dan satu buah bantal tempatnya melepas lelah di sana.
“Ibu … kapan pulang? Aku takut, Bu. Aku takut ….”
Nuria memejamkan mata. Ia menghela napas panjang untuk melepaskan beban yang terasa berat menggelayuti pundaknya.
“Ayaaah … kenapa kamu harus pergi? Kenapa biarin aku sama ibu jadi seperti ini? Andai masih ada, mungkin ayahlah lelaki yang akan membelaku dan membiarkanku lepas memilih masa depan, bukan berakhir dalam perjodohan yang tak kuinginkan. Aku takut, Yah.” Nuria mulai terisak. Bahunya bergetar. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Tak berdaya, sedih dan hampa. Andai sejak kecil tak ditanamkan rasa iman, mungkin mengakhiri hidup akan menjadi pilihan. Namun, beruntung, setitik kesadaran masih menetap dalam benaknya. Dia masih berharap bertemu san ibu, perempuan yang merelakan dirinya untuk pergi mencari rejeki ke luar negeri, demi masa depan. Masa depan yang akhirnya harus kandas begitu cepat karena pernikahan yang tak diinginkan.
Nuria membiarkan dirinya menumpahkan air mata. Setidaknya, sesak akan itu sedikit berkurang.
Derit daun pintu kamar yang ditempatinya terdengar. Bersamaan dengan itu, terdengar suara Bi Lela.
“Nur, kamu itu harusnya bersyukur . Dilamar orang kaya, kok, malah nangis? Lagian, siapa juga yang mau sama kamu, kalau bukan Juragan Arga? Buktinya, sampai sekarang saja kamu gak punya pacar.” Bi Lela mendekat, lalu duduk di sampingnya.
Nuria menyeka air matanya yang masih berjatuhan.
“Tuh, lihat, cincin kamu ini harganya ratusan juta, Nur! Gelang-gelang ini juga. Kalung! Hidup kamu pasti bahagia sama Juragan Arga.” Bi Lela kembali lagi meyakinkan keponakannya itu.
“Iya, Bi.” Nuria hanya menjawab singkat, berharap Bi Lela meninggalkan kamarnya dan membiarkannya sendirian.
“Sudah, jangan nangis terus. Cincin sama gelangnya buka saja, simpan dulu. Bahaya kalau hilang. Kamu dengar sendiri tadi ajudan Juragan Arga bilang apa.” Bi Lela mengambil kotak perhiasan itu dan membawanya ke dekat Nuri.
“Iya, Bi.”
Nuria malas berdebat. Dia pun melepas cincin dan gelang yang tadi dipakaikan Bi Lela padanya. Perempuan itu juga membantu melepas kalung yang melingkar indah di leher Nuri.
“Nah, biar Bibi yang simpan, ya! Takutnya ada mata-mata maling yang tahu kalau di kamar kamu ada perhiasan. Nanti malah bahaya!” tukasnya seraya membawa kotak itu keluar kamar.
Nuria tak acuh. Lagipula, benda-benda itu tak lebih berharga daripada hidupnya. Memikirkan pernikahannya dengan Juragan Arga saja sudah membuatnya tak memiliki semangat hidup.
Gadis itu pun membaringkan diri, mencoba menepis rasa takut yang kian menjadi. Membayangkan hidup berdua di tengah keluarga asing yang tak diketahui banyak orang membuat pikiran Nuria benar-benar terkuras.
Bagaimana jika keluarga Juragan Arga yang sawahnya hektaran, tambaknya berjejer, dan katanya punya perkebunan teh di Bandung itu benar-benar bandar n*****a, lalu menikahinya untuk dijadikan tempat pencucian uang? Apalagi ada yang mengabarkan jika istri pertamanya itu bukan meninggal, melainkan menjadi gila dan disembunyikan. Jangan-jangan, dia gila karena menderita tekanan batin?
Begitulah hidup di kampung, desas-desus biasanya menjadi berita yang dibesar-besarkan. Apalagi Juragan Arga adalah salah satu pendatang yang tiba-tiba membangun sebuah rumah megah dengan pagar tinggi menjulang di kampung mereka. Tak ada yang tahu persis lelaki itu berasal dari mana. Mungkin saja buronan yang sedang menyamar.
Pikiran Nuria yang berlarian ke mana-mana akhirnya menghilang seiring dengan kantuk yang tiba-tiba menyerang.
Nuria mengerjap ketika terdengar suara tawa dari ruang tengah. Dia pun menyeka sudut mata dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Ia gegas bangkit dan membuka pintu. Niatnya hendak mencuci muka sebelum berkiprah di dapur, karena kini wajahnya masih mengenakan make up tebal.
Suara tawa itu tiba-tiba berhenti. Nuria memicing melihat Nirina—sepupunya—tiba-tiba menyembunyikan tangannya ke belakang. Dia memasang wajah datar ketika mata mereka bersirobok.
“Ngapain lihat-lihat? Kamu jangan nuduh aku, ya! Aku juga punya kalung modelan kayak gini, kok, dikasih Rudi! Jadi jangan berpikiran macam-macam!” ketusnya seraya bergegas meninggalkan ruang tengah.
Nuria menautkan alis. Padahal, dia tak memperhatikan apa pun tadi, tetapi karena Nirina bilang, jadinya dia melirik pada kalung yang melingkar di lehernya. Benar saja, kalung itu begitu mirip dengan yang diberikan Juragan Arga untuknya.