Episode 9

1918 Words
Sudah hampir satu minggu setelah Renatta memintanya untuk tidak menemuinya di sekolah, Gabriel dan Renatta benar-benar tidak pernah bertemu sejak hari itu. Renatta mengatakan pada Gabriel, walapun Gabriel tidak bisa menemuinya di sekolah, Gabriel bisa menemuinya di tempat lain. Tapi nyatanya, sampai sekarang Renatta tidak ada kabar sama sekali. Gabriel sudah sering mengirim pesan dan menelepon Renatta, tapi nomor Renatta tidak bisa dihubungi terus. Gabriel sudah menuruti permintaan Renatta, tapi Renatta sendiri mengingkari janjinya. Gabriel merasa tidak melakukan hal yang membuat Renatta sampai marah, tapi Renatta seakan tengah menghindarinya. Jika Gabriel menemuinya di sekolah, Gabriel khawatir Renatta tidak akan menyukai tindakannya. Tapi jika Gabriel diam saja, Gabriel tidak bisa bertemu dengan Renatta. Gabriel bingung harus melakukan apa, dia sudah sangat merindukan Renatta. Grace, ibunya sendiri juga heran dengan sikap Gabriel akhir-akhir ini. Gabriel menjadi pendiam, tidak banyak bicara. Seperti saat ini, Grace datang membawa teh manis hangat untuk Gabriel. "Gabriel?" Sapa Grace seraya meletakkan teh manis di meja. "Mama?" Grace lalu duduk di samping Gabriel, "Kenapa ngelamun sendirian disini? Kalo ada masalah, cerita aja sama mama." "Renatta, sampai hari ini dia nggak ada kabar." "Kamu udah kirim pesan atau telepon dia?" "Udah, tapi nomornya selalu nggak aktif." "Mungkin Renatta sibuk, jadi dia nggak sempet kabarin kamu." Gabriel menggeleng pelan, "Gabriel juga nggak tau ma, Gabriel jadi khawatir." "Kenapa kamu nggak datang ke sekolah? Kata kamu, Renatta ngajar di sekolah Arlan Arlin." "Gabriel juga mikir gitu, tapi Gabriel udah janji sama Renatta untuk nggak nemuin dia di sekolah. Gabriel takut Renatta bakal marah sama Gabriel, yang ada nanti Renatta nggak mau lagi ketemu sama Gabriel." Baru kali ini Grace melihat Gabriel seperti ini dan Grace cukup kaget karena Gabriel tidak pernah seperti ini sebelumnya. Gabriel selalu menceritakan perempuan yang dekat dengannya, tapi hanya Renatta lah yang membuat Gabriel seperti menjadi laki-laki yang tidak bisa hidup tanpa Renatta. Grace juga heran kenapa Gabriel lebih tertarik dengan perempuan dewasa seperti Renatta? Padahal masih banyak perempuan yang seumuran dengannya. Grace tidak masalah jika nanti Gabriel dan Renatta menjalin hubungan, karena cinta tidak memandang usia. Walaupun Grace belum pernah bertemu dengan Renatta, tapi Grace yakin bahwa Renatta adalah perempuan baik. Karena kalau tidak, Gabriel tidak akan menyukai Renatta. Grace juga sudah banyak mendengar cerita dari Gabriel tentang Renatta, hanya mendengarnya saja Grace sudah percaya. Grace berharap Renatta bisa membawa Gabriel ke jalan yang lebih baik. "Kalo menurut mama, lebih baik kamu temui dia Gab. Emangnya kamu mau diam terus kaya gini, hm? Kamu harus coba dulu, kalo nanti Renatta marah, kamu coba jelasin sama dia kenapa kamu sampai nekat nemuin Renatta di sekolah. Mama yakin kok, Renatta pasti ngerti." Gabriel kemudian berpikir, mamanya benar. Tidak ada salahnya mencoba, Gabriel juga tidak bisa diam terus. Gabriel harus menemui Renatta. Gabriel tersenyum memeluk Grace, Grace ikut tersenyum. Grace bahagia saat melihat anaknya bahagia. Dan Grace tidak pernah melihat Gabriel sebahagia ini dengan perempuan. ****** Gabriel kini tengah menunggu Renatta keluar dari kelas. Gabriel benar-benar sudab tidak sabar untuk bertemu dengan Renatta. Beberapa menit kemudian, Renatta keluar dari kelas. Renatta terkejut saat melihat Gabriel sudah berada di samping pintu. "Gabriel? Bagaimana kamu bisa disini? Aku sudah bilang kan, jangan temui aku di sekolah." "Terus aku harus nemui kamu dimana? Aku chat kamu, telepon kamu, tapi nomor kamu nggak aktif. Terus gimana caranya kita bisa ketemu kalo kamu aja nggak bisa dihubungi." "Karena itu, aku nekat nemuin kamu disini. Aku nggak ada pilihan lain lagi." Ucap Gabriel menjelaskan. Renatta melihat sekelilingnya, dia khawatir semua guru melihatnya bersama dengan Gabriel. Renatta lalu menarik tangan Gabriel, "Ayo, kita pergi dari sini. Kita bicara di tempat lain aja." "Emangnya kenapa kalo kita bicara disini? Apa ada yang ngelarang?" "Kita pergi aja, ayo!" Renatta terus menarik tangan Gabriel, Gabriel pasrah. Tapi saat mereka berjalan bersama, satu persatu guru keluar dari kelas dan melihat Renatta menarik tangan Gabriel. Refleks, Renatta melepaskan tangan Gabriel. Mereka lalu saling berbisik-bisik membicarakan Gabriel dan Renatta. "Oh jadi itu laki-laki yang deket sama Bu Renatta?" "Iya. Mereka itu deket banget, lakinya juga sering antar jemput Bu Renatta." "Apa mereka pacaran." "Mungkin aja, orang deket banget gitu." "Bu Renatta ternyata seleranya berondong ya.. padahal dia udah dewasa." Dan masih ada lagi obrolan mereka yang menyindir Renatta. Dan hal itu bukan terjadi satu kali saja, tapi semenjak Gabriel dekat dengan Renatta, para guru sudah menggunjingnya. Namun Renatta berusaha untuk mengabaikan mereka. Renatta tidak peduli anggapan mereka tentangnya. Gabriel melihat Renatta tiba-tiba diam, "Renatta, kamu nggak papa kan?" Renatta menggeleng, "Saya nggak papa, lebih baik kamu pulang Gabriel, dan jangan temui saya lagi disini!" "Kamu kenapa jadi gini Renatta? Jelasin sama aku, apa yang terjadi? Kenapa kamu seolah menghindar dari aku." Renatta hanya diam, Gabriel lalu melihat ke arah guru-guru yang tengah melihat mereka. Gabriel juga mendengar apa yang mereka katakan tentang Renatta. "Renatta, apa karena orang-orang itu, kamu nggak mau kalo aku ketemu kamu disini?" Renatta menggeleng, "Bukan, saya... saya cuma---" "Jawab jujur, kamu pasti ngerasa nggak nyaman sama orang-orang yang udah ngomongin kamu. Iya kan?" "Udahlah Gabriel, lebih baik kamu pergi dari sini." "Nggak, aku nggak bakal pergi sebelum kamu jawab jujur." Renatta menghela nafas berat, "Gabriel, saya itu bukan pacar kamu yang harus jawab semua pertanyaan kamu, yang saya sendiri nggak mau jawab!" Gabriel tertegun, Renatta memang benar, tapi Gabriel hanya ingin tau alasan Renatta. "Kalau mulai sekarang kamu jadi pacar aku, apa kamu mau jawab pertanyaan aku?" "Maksud kamu apa?" Gabriel memegang kedua tangan Renatta, lalu berkata dengan lembut, "Aku sayang sama kamu Renatta, kamu mau kan jadi pacar aku?" Renatta speechlees, tapi kemudian dia mengangguk. Gabriel tersenyum bahagia lalu memeluk Renatta. "Gabriel?!" "Gabriel?!" "Apa kamu dengar saya?!" Seketika Gabriel tersadar dari lamunannya. Gabriel tadi sempat membayangkan bagaimana kalau dia menembak Renatta sekarang, dan itu berakhir dengan indah. Tapi sayangnya, itu hanya imajinasinya saja. "Gabriel, lebih baik kamu pergi dari sini. Saya mau pulang." Renatta lalu berjalan pulang lebih dulu. "Renatta tunggu!" Setelah keluar dari gerbang sekolah, Gabriel menarik tangan Renatta, "Renatta, dengerin aku dulu." "Gabriel lepasin tangan saya! Saya tidak mau ada orang yang liat kita. Kamu liat sendiri kan, gimana reaksi mereka waktu liat kita? Saya nggak mau sampai mereka ngomongin saya di belakang." "Jadi bener kan dugaan aku, alasan kamu hindarin aku karena hal ini." Gabriel lalu memegang kedua bahu Renatta, "Renatta, jangan dengerin mereka. Hanya kamu yang tau diri kamu sendiri, kamu bukan perempuan seperti apa yang mereka omongin. Nggak ada salahnya berteman sama laki-laki atau perempuan yang lebih tua atau lebih muda dari kita, nggak ada larangannya juga." "Biarin aja kalo mereka ngomongin kamu di belakang. Kamu nggak salah, jadi kamu nggak perlu takut. Justru yang salah itu mereka, ngomongin orang lain seolah-olah mereka orang yang paling bener." Renatta menatap dalam Gabriel, mungkin karena ini pertama kalinya Renatta melihat sendiri bagaimana orang-orang membicarakannya dari belakang, membuat Renatta merasa tidak nyaman. Renatta tidak salah, berteman dengan laki-laki yang lebih muda darinya juga bukan hal terlarang. Lalu kenapa Renatta harus menjauhi Gabriel, sedangkan Gabriel tidak melakukan kesalahan. Renatta sendiri yang terlalu banyak berpikir. Ya, Renatta menyadari bahwa selama ini dia lah yang melakukan kesalahan. "Gabriel, saya minta maaf. Waktu itu saya bingung, jadi saya tidak mau kamu menemui saya." "Renatta, jangan lakuin ini lagi. Kamu boleh minta aku untuk nggak nemuin kamu disekolah, tapi jangan minta aku untuk jauh dari kamu. Untuk yang satu itu, aku nggak bisa." Ucap Gabriel menatap Renatta dengan tatapan memohon. "Aku nggak sanggup untuk kehilangan kamu, Renatta." Lanjutnya di dalam hati. Renatta mengangguk, Gabriel tersenyum, lalu menarik pelan tangan Renatta, "Ayo, aku anterin kamu pulang." "Tapi saya mau langsung pulang, jangan bawa saya ke Cafe atau restoran seperti biasa." Ucap Renatta yang sudah tau kebiasaan Gabriel setelah menjempunya dari sekolah. "Oke." Mereka lalu pergi bersama-sama. ****** "Ayo masuk." Untuk yang pertama kalinya, Gabriel menginjakkan kakinya di rumah Renatta. Kesan pertama yang Gabriel liat setelah melihat isi rumah Renatta adalah, sepi. Selama ini Renatta tidak menceritakan, dia tinggal bersama siapa, punya saudara atau tidak, karena Gabriel pun tidak bertanya. "Renatta, apa di rumah ini kamu tinggal sendirian? Kenapa sepi banget?" "Saya tinggal sama Ibu dan adik." "Lalu, Ibu dan adik kamu dimana?" "Ibu dan adik aku lagi kerja, sore nanti mereka baru pulang." Renatta lalu berjalan ke arah dapur, setelah itu dia kembali dengan membawa minuman untuk Gabriel. "Ini minuman buat kamu, kamu pasti lelah kan?" "Lelah karena terus nunggu kabar dari kamu, karena kamu nggak ada kabar sama sekali." Renatta hanya tersenyum tipis, "Kamu nunggu disini sendirian nggak papa kan? Soalnya saya mau masak." Gabriel mengangguk, Renatta lalu kembali ke dapur. Setelah Renatta tidak terlihat, Gabriel tak sengaja melihat bingkai foto berukuran sedang yang berdiri di atas meja. Gabriel lalu berjalan untuk mengambil foto itu, dahinya mengernyit saat melihat dua orang perempuan yang ada dalam foto tersebut. "Renatta sama adiknya? Jadi, Renatta punya kembaran?" Gabriel cukup terkejut saat tau Renatta ternyata punya kembaran. Wajah mereka sangat mirip, bahkan Gabriel tidak bisa membedakan mana Renatta, mana adik Renatta. Gabriel tidak menemukan perbedaan disana. Gabriel meletakkan kembali bingkai foto itu lalu menyusul Renatta di dapur. Renatta yang tengah memasak kaget melihat Gabriel masuk ke dapur, "Gabriel? Ngapain kamu disini? Apa ada sesuatu?" "Nggak, aku cuma mau bantuin kamu masak. Kali aja kamu perlu bantuan aku." "Memangnya kamu bisa masak?" "Aku emang nggak bisa masak, tapi aku bisa bantuin kamu kupas-kupas bawang atau mengiris sayuran. Jadi, kerjaan kamu bisa cepet." Gabriel kini berdiri di samping Renatta, "Jadi, tugas aku ngapain?" Renatta memberikan bawang merah dan pisau pada Gabriel, "Ini bawang, dan ini pisau buat ngupas bawang." Gabriel mengangguk, dia lalu mulai mengupas bawang, sedangkan Renatta mengiris sayuran dan memotong-motong ayam. Baru saja mengupas bawang, Gabriel sudah banjir air mata, namun Gabriel tetap melanjutkan. Renatta yang melihatnya langsung mendekat, "Gabriel, kamu nggak papa?" "Aku nggak papa, kamu lanjutin aja kerjaan kamu." "Yakin?" "Iya." Renatta menatap melas Gabriel, Gabriel menangis karena mengupas bawang. Gabriel terlihat lucu, tapi juga kasihan. Renatta lalu melihat Gabriel menghapus air matanya dengan tangan yang terkena bawang. Renatta langsung menarik tangan Gabriel, "Jangan sentuh wajah kamu pakai tangan, nanti tambah perih." Renatta membawa Gabriel ke wastafel, dia membasahi tangannya dan mengusap pelan mata Gabriel dengan air. "Gimana? Udah nggak perih kan?" Gabriel mengangguk seraya mengerjapkan matanya, "Lumayan, udah nggak perih banget kaya tadi." Renatta mengambil kain bersih lalu mengusapkannya pada wajah Gabriel, lalu berkata,"Lain kali kalo ngupas bawang, tangan jangan nyentuh wajah, nanti tambah perih. Kaya anak kecil aja." Gabriel memegang tangan Renatta, mereka saling bertatapan selama beberapa detik, tapi kemudian mereka tersadar. "Kamu motong-motong daging aja, biar saya yang ngiris bawang." Renatta terlihat gugup, mereka lalu bertukar tugas. Renatta menstabilkan jantungnya yang sempat berdetak cepat tadi. Sedangkan Gabriel diam-diam tersenyum, karena bisa merasakan sentuhan lembut dan juga perhatian dari Renatta. Gabriel teringat dengan foto itu, dia lalu bertanya pada Renatta, "Renatta, apa kamu punya kembaran?" "Kamu tau dari mana?" "Tadi, aku nggak sengaja liat foto kamu sama kembaran kamu." "Iya, dia kembaran saya, namanya Renitta. Dia kerja di pabrik." "Kamu dan adik kamu mirip banget, sampai aku aja nggak bisa bedain." Renatta tersenyum tipis, "Bukan cuma kamu aja yang bilang gitu, banyak juga orang yang bilang, aku sama Renitta nggak ada bedanya." "Wajah kalian emang sama, tapi aku yakin sifat kalian beda. Iya kan?" "Kamu bener. Kamu tau nggak? Kadang kita emang nggak bisa bedain wajah orang yang sangat mirip, tapi kalo kita liat lebih detail lagi, kita pasti bisa liat perbedaan itu." Gabriel menatap Renatta yang tengah mengiris bawang dari arah samping. Sungguh, Gabriel begitu tertarik dengan perempuan di sampingnya ini, menurutnya Renatta adalah perempuan yang sempurna. Sangat sempurna, sampai Gabriel tidak bisa melihat kekurangan Renatta. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD