Episode 8

1903 Words
Setelah pertemuannya dengan Renatta, dan kini sudah hampir satu bulan, Gabriel sudah mulai dekat dan mulai mengenal Renatta. Gabriel memang tidak salah menilai Renatta. Renatta perempuan yang cantik, selain cantik parasnya, cantik juga hatinya. Renatta juga guru yang sangat penyayang dan penyabar, dia menyayangi dan memperlakukan murid-muridnya layaknya anak sendiri. Walaupun mereka terkadang nakal dan tidak mau menuruti perintah Renatta, Renatta tetap sabar menghadapi mereka. Karena menurutnya, semua anak kecil pasti nakal, tinggal bagaimana kita berusaha agar bisa menasehatinya dengan baik-baik. Hampir satu bulan ini Gabriel sering kali pergi ke sekolah tempat Renatta mengajar. Seperti sekarang, Gabriel tengah menunggu Renatta untuk menjemputnya pulang. Setelah semua murid keluar dari kelas, Gabriel memutuskan untuk masuk dan melihat Renatta. Gabriel kini berdiri tepat di depan pintu, dia melihat Renatta tengah membereskan barang-barangnya. Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Renatta lalu bersiap untuk keluar. Namun Renatta terkejut saat melihat Gabriel, "Gabriel? Sejak kapan kamu berdiri disana?" "Sejak tadi." Gabriel lalu berjalan mendekat, "Kamu perlu bantuan?" Renatta menggeleng, "Nggak perlu, aku udah selesai." "Gabriel, untuk apa kamu datang kesini? Kalo mau jemput Arlan Arlin, mereka udah pulang dari tadi sama ibunya." "Aku bukan mau jemput Arlan Arlin, tapi mau jemput ibu gurunya Arlan Arlin." Gabriel tersenyum jail. "Maksud kamu, kamu mau jemput saya?" Gabriel mengangguk, Renatta yang merasa tidak enak hati langsung menolaknya, "Kamu tidak perlu jemput saya, saya bisa pulang sendiri." "Gimanapun juga aku udah sampai disini, jadi kamu harus mau aku jemput." "Tapi Gabriel..." Gabriel mengambil buku yang Renatta pegang, "Ayo, kita pulang sekarang." Gabriel lalu keluar lebih dulu, Renatta berdecak pelan, dia lalu pergi menyusul Gabriel. ******* Renatta mengerutkan dahi saat Gabriel bukan membawanya pulang ke rumah, tapi tidak tau kemana Gabriel pergi. "Gabriel, ini bukan jalan ke rumah saya. Kamu mau bawa saya kemana?" "Kita makan siang dulu, setelah itu aku antar kamu pulang." "Tapi saya tidak lapar, saya makan di rumah saja nanti." Gabriel tidak mendengarkan ucapan Renatta, dia tetap menjalankan mobilnya ke arah lain. Renatta hanya bisa menghela nafas, Gabriel selalu saja seperti ini membuat Renatta terkadang merasa risih. Mereka lalu sampai di sebuah Cafe. Gabriel turun lalu membukakan pintu untuk Renatta. Setelah itu mereka masuk ke dalam. Mereka duduk di kursi, Gabriel lalu bertanya,"Kamu mau pesan apa?" "Apa aja." Gabriel lalu memesan makanan untuk Renatta, disamakan dengan makanan yang Gabriel pesan. Selesai memesan makanan, tak lama makanan pun datang dan sudah tersaji di meja. Mereka baru saja mau makan, tapi tiba-tiba seseorang datang. "Gabriel?" Seorang perempuan datang mendekati Gabriel. Gabriel menoleh, "Chelsea? Lo disini?" "Iya." Chelsea melihat Renatta, lalu bertanya pada Gabriel, "Gabriel, cewek ini siapa?" "Renatta, dia guru Arlan dan Arlin." "Jadi dia yang namanya Bu Renatta?" Ucap Chelsea seraya ikut duduk bersama mereka. "Lo kenal sama Renatta?" "Digo, keponakan gue sering cerita soal Bu Renatta, katanya dia orangnya cantik dan baik." Bahkan anak kecil saja sudah berkata seperti itu, itu berarti Gabriel memang tidak salah memilih perempuan untuk dia dekati. "Terima kasih." Ucap Renatta. "Ngapain lo duduk disini?" Tanya Gabriel dengan nada tidak suka. Ya, Gabriel tidak suka jika ada orang yang mengganggu acaranya. "Emangnya gue nggak boleh duduk disini? Inikan tempat umum, siapapun boleh duduk disini Gab." "Lo nggak liat? Gue sama Renatta yang lebih dulu nempatin tempat ini, jadi gue berhak nentuin siapa yang gue ijinin untuk duduk disini." Gabriel lalu mengusir Chelsea dari sana, "Mending lo pergi dari sini!" Chelsea menggelengkan kepalanya, tetap keras kepala tidak mau pindah, "Nggak, gue nggak bakal pergi dari sini." "Kalo lo nggak mau pergi, biar gue sama Renatta pergi dari sini." Renatta mulai tidak nyaman karena dua orang itu masih saja berdebat. Renatta lalu mencoba untuk melerai keduanya, "Gabriel, biarin Chelsea duduk disini, lagipula kursinya kosong kan?" "Tuh, Bu Renatta aja nggak ngelarang gue." Ucap Chelsea, lalu dia mulai memesan makanan. Gabriel berdecak, Chelsea benar-benar sudah mengganggu rencananya. Ya, sebenarnya hari ini Gabriel ingin membicarakan hal penting dengan Renatta. Gabriel ingin menyatakan rasa cintanya pada Renatta, tapi Chelsea sudah membuat semuanya berantakan. Gabriel sangat percaya diri untuk mengungkapkan perasaanya pada Renatta karena Gabriel sudah sangat yakin kalau Renatta lah perempuan yang selama ini dia inginkan. Grace sudah mengatakan padanya untuk membuka hatinya untuk perempuan, dan sekarang Gabriel akan berusaha untuk menuruti kata-kata ibunya itu. "Gab, gue sengaja pesen makanan kesukaan lo, cobain deh! Rasanya enak tau.." Chelsea ingin menyuapi Gabriel tapi Gabriel menolaknya, "Lo makan sendiri aja." "Ini enak banget sumpah, ayo cobain dong, sekali aja." Gabriel tetap tidak mau, Chelsea mengerucutkan bibirnya kesal. Sedangkan Renatta hanya diam menyaksikan keduanya. Dasar ABG! Ucap Renatta dalam hati. Akhirnya, mereka selesai makan. Mereka bersiap-siap untuk pulang. "Gab, gue ikut lo pulang ya?" "Lo kesini sendiri kan? Ya udah lo pulang sendiri." Gabriel menggandeng tangan Renatta, Renatta nampak kaget, "Ayo, kita pulang." Gabriel membawa Renatta keluar, Chelsea mengikutinya dari belakang, "Gabriel, tunggu!" "Kenapa lagi?!" "Gue ikut lo." Chelsea benar-benar sudah menguji kesabaran Gabriel . Gabriel semakin tidak menyukai perempuan itu, namun Gabriel tetap berusaha untuk tidak emosi mengingat Renatta ada disana. "Chelsea, gue udah biarin lo duduk sama gue dan Renatta, tapi sekarang gue mohon, lo pulang sendiri, bisa kan? Gue sama Renatta masih ada urusan." Setelah memohon pada Chelsea, Gabriel kembali menggandeng tangan Renatta dan membawanya pergi dari sana. Renatta menatap tangan Gabriel yang menggandengnya, dia merasa ada sesuatu yang menyentil hatinya. Setelah masuk ke dalam mobil, Gabriel mengantarkan Renatta pulang. "Renatta, aku minta maaf soal tadi di Cafe." "Hm? Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak salah." "Kedatangan Chelsea tadi mungkin udah buat kamu nggak nyaman. Aku nggak tau kenapa tiba-tiba dia ada disana, kalo dari awal aku liat dia ada disana, aku pasti nggak bakal ajak kamu makan siang disana." "Kamu nggak perlu minta maaf, saya tidak masalah kalau dia makan sama kita." "Yang saya lihat, Chelsea itu suka sama kamu kan? Tapi kenapa kamu kelihatan cuek sama dia?" Tanya Renatta yang sedari tadi penasaran hubungan Gabriel dengan Chelsea. Kenapa Gabriel terlihat tidak menyukai Chelsea, sikap Gabriel pada Chelsea juga dingin dan cuek, padahal Chelsea terlihat menyukai Gabriel. "Chelsea itu teman aku di kampus. Chelsea emang suka sama aku, tapi aku nggak suka sama dia." "Kenapa? Chelsea itu cantik." "Aku nggak suka sama cewek yang agresif. Chelsea selalu gangguin aku, menurut kamu siapa cowok yang nggak ilfeel sama cewek yang selalu ngejar-ngejar dia padahal cewek itu tau kalo cowok itu nggak suka sama dia. Seperti Chelsea, dia tau kalo aku nggak suka sama dia, tapi dia selalu ganggu aku. Dan aku ngerasa risih dan nggak nyaman." Renatta mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali bertanya, "Terus, kamu lebih suka sama perempuan seperti apa?" Gabriel tersenyum, "Kamu yakin mau tau tipe cewek yang aku suka?" "Hm." "Menurut kamu, aku lebih suka sama cewek yang kaya gimana?" Renatta berpikir, lalu kemudian dia mengendikkan bahunya. Mungkin tipe perempuan yang Gabriel suka itu yang perfeksionis, tapi Renatta juga tidak tau. "Aku lebih suka sama cewek yang sederhana dan apa adanya. Selain itu, dia juga orangnya tulus dan penyabar, dan yang paling penting, dia sangat peduli dan menyayangi anak kecil." Ucap Gabriel seraya melirik Renatta. Gabriel sebenarnya memberikan kode pada Renatta bahwa perempuan yang dia suka adalah Renatta sendiri. Renatta sedikit kaget mendengarnya, ternyata apa yang Renatta pikirkan berbanding terbalik dengan apa yang Gabriel katakan. Tapi sayang, Renatta tidak tau kalau hal tersebut menunjuk padanya karena dia pikir banyak perempuan disana yang mungkin mempunyai kriteria seperti itu. Lagipula Renatta tidak berpikir kalau Gabriel akan menyukainya. Renatta merasa kalo dia bukan tipe Gabriel, Gabriel pasti lebih suka dengan perempuan yang seumuran dengannya, sedangkan Renatta 4 tahun lebih tua dari Gabriel. "Di tempat kamu kuliah pasti banyak perempuan seperti itu, kamu pasti bakal nemuin salah satu dari mereka sesuai apa yang kamu inginkan." Gabriel tersenyum tipis, rupanya Renatta tidak menyadarinya. Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Renatta. Renatta membuka seabeltnya, setelah itu dia berkata, "Gabriel, bisa aku minta satu hal sama kamu?" "Apa?" "Lain kali kamu nggak perlu antar aku berangkat kerja, atau jemput aku di sekolah." "Emangnya kenapa? Kamu nggak suka?" "Bukan gitu, aku tau maksud kamu baik, tapi aku nggak bisa selalu berangkat atau pulang sama kamu. Aku nggak mau dianggap nggak tau diri karena memanfaatkan kebaikan kamu." Gabriel menggeleng, "Tapi aku nggak pernah nganggap kamu seperti itu." "Aku tau, tapi aku merasa nggak nyaman. Please, turutin mau aku kali ini." Gabriel mengernyit, dia merasa ada sesuatu yang sudah terjadi pada Renatta, "Apa ada orang yang buat kamu berpikir seperti itu?" Renatta menggeleng, "Nggak, ini semua karena pikiran aku sendiri." Gabriel lalu mengangguk, walaupun sebenarnya Gabriel tetap ingin melakukan itu, tapi dia tidak boleh egois. Gabriel juga tidak mau membuat Renatta tidak nyaman, Gabriel khawatir Renatta justru akan menjauhinya jika dia tidak menuruti permintaan Renatta. Gabriel akhirnya mengangguk, "Oke, aku nggak akan sering antar jemput kamu. Tapi kita masih bisa bertemu kan?" Renatta mengangguk, "Kamu tenang aja, kita masih bisa berteman. Lain kali kita bisa bertemu di tempat lain." Gabriel mengulurkan jari kelingkingnya, "Janji?" Renatta tersenyum, dia lalu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Gabriel, "Saya janji." Mereka saling tersenyum satu sama lain, Gabriel sangat menikmati senyuman manis Renatta. Senyum Renatta memang sudah menjadi candu baginya. Senyum yang manis dan terkesan tulus. Renatta melepaskan kelingkingnya, dia membuka pintu mobil. Saat Renatta akan turun, Gabriel lebih dulu berkata, "Terima kasih buat hari ini." Renatta mengangguk seraya tersenyum tipis, setelah itu dia turun dari mobil. Gabriel menghembuskan nafasnya kasar, dia bahagia tapi juga kesal karena tiba-tiba Chelsea datang dan mengacaukan semua rencananya. Mungkin lain kali, Gabriel harus menyiapkan momen yang lebih romantis. Momen yang membuat Renatta terkejut tidak bisa melupakan momen tersebut. Gabriel tinggal menunggu waktu yang tepat. ****** Gabriel sampai di rumahnya, dia lalu melihat mobil ayahnya sudah terparkir di depan rumahnya. Masih sore, tapi ayahnya sudah pulang Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan ibunya! Seketika Gabriel panik, dia keluar dari mobil, lalu buru-buru masuk ke dalam rumah. Gabriel langsung berlari menuju kamar ibunya. Gabriel membuka pintu dengan tidak sabar, namun Gabriel melihat ayahnya tengah duduk menyuapi ibunya. Grace, terlihat baik-baik saja. Gabriel bernafas lega, lalu menyapa ayahnya, "Papa?" "Gabriel, kamu udah pulang?" Tanya Grace. Gabriel mengangguk, dia berjalan mendekat, "Papa kenapa udah pulang? Biasanya papa nggak pernah pulang sore, papa selalu pulang malam." "Apa papa baru sadar kalo selama ini mama butuh papa?" Tanya Gabriel sarkas. "Gabriel, kenapa kamu bilang seperti itu, hm?" Ucap Grace. "Gabriel bener ma, selama ini papa nggak pernah peduli sama mama, papa selalu mikirin pekerjaannya aja. Tapi nggak tau ada angin dari mana, tiba-tiba aja papa pulang lebih awal seakan-akan dia udah mulai peduli sama mama." "Gabriel cukup! Kamu nggak boleh ngomong gitu sama papa kamu sendiri." "Tapi ma---" "Gabriel, lebih baik kamu pergi ke kamar kamu dan bersih-bersih. Kamu habis main sama temen-temen kamu kan?" Gabriel menatap sinis Revan, setelah itu dia pergi. Setelah Gabriel pergi, Grace berkata pada Revan, "Gabriel pasti lagi ada masalah, makanya dia berbicara seperti itu sama kamu." Revan menggeleng lemah, "Gabriel benar mah, selama ini papa nggak punya waktu buat mama, karena itu Gabriel bersikap seperti itu sama papa. Papa minta maaf sama kamu dan juga Gabriel." "Nggak pah, mama ngerti kalau papa sibuk kerja untuk mama sama Gabriel juga, supaya kami hidup kami bisa tercukupi. Papa nggak perlu merasa bersalah." "Terima kasih sayang, kamu udah mau ngertiin papa." Tanpa mereka tau, Gabriel masih berada di depam kamar mereka. Gabriel mendengar semua percakapan mereka. Gabriel mengepalkan tangannya, wajahnya memancarkan amarah. Ayahnya sangat pintar mengambil hati ibunya, karena itu ibunya begitu mempercayai ayahnya. Tapi Gabriel tidak bisa dibodohi begitu saja, Gabriel tetap tidak menerima perlakukan ayahnya selama ini pada dia dan ibunya. ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD