Mansion

1112 Words
Esok paginya, Megan mengerjapkan matanya melihat cahaya masuk ke kamarnya, karena tirai sudah terbuka lebar, Megan menoleh dan tak melihat Mark kini berbaring di sampingnya. Lelaki itu hanya datang mengambil jatah dan pergi tanpa diketahui. Megan menghela napas panjang, lalu melangkah ke kamar mandi, ia harus membersihkan tubuhnya setelah bercinta semalaman dengan lelaki yang selalu saja melakukan semua hal seenak jidatnya. Sedangkan di sisi lain, Mark sedang membaca majalah bisnis yang memuat artikel tentangnya, artikel yang selalu menuliskan kebaikan hatinya dan kesetiaannya kepada istrinya. Meski ada artikel yang tak ia sukai, menikah selama 7 tahun dan belum di karuniai keturunan. Jhony sudah berdiri di samping atasannya dengan setia. "Tuan, semalam Nyonya menelpon saya, dan menanyakan anda," kata Jhony. Mark terlihat santai. "Lalu apa katamu?" "Saya tidak tahu Tuan di sini, jadi saya mengatakan bahwa anda sudah pulang lebih awal dan tidak menyewa gadis manapun," jawab Jhony, menundukkan kepala. Ia takut salah, karena Mark akan menamparnya jika ia melakukan kesalahan. "Kerja bagus," puji Mark pada Jhony. Sesaat kemudian Nawa menghadap dari arah barat. Membungkukkan badan kepada Mark yang kini sedang membaca majalah. "Tuan, sarapan sudah siap," kata Nawa. Mark menganggukkan kepala. Sepuluh menit kemudian seorang gadis keluar dari lift, terlihat pakaian yang sederhana, dan tas selempang yang kini ia kenakan. Gadis itu terkejut melihat sosok Mark masih ada di rumah ini. "Kamu belum pergi?" tanya Megan. "Kamu mau kemana? Mau pergi tanpa izinku?" Mark menatap Megan penuh intimidasi. "Kau mau mengurung diriku di kamar saja? Aku harus kuliah. Tentu saja aku harus pergi," jawab Megan, tak suka. "Oh. Jadi kamu akan kuliah?" "Ya." "Kita sarapan dulu, lalu aku akan mengantarmu," kata Mark beranjak dari duduknya, dan menatap Megan. "Tidak perlu mengantarku. Aku masih naik taksi," tolak Megan. "Tidak usah menolak!" tekan Mark, berhasil membuat Megan terdiam. "Ayo sarapan." Mark berjalan didepan Megan, dan terpaksa gadis itu mengikuti langkah kaki sang empunya. "Duduk," pintah Mark, pada Megan. Megan duduk di salah satu kursi yang dekat dengan kursi kebesaran Mark. Nawa dan Bella berdiri di sudut, menunggu majikan mereka selesai makan, seperti ini lah mereka memperlakukan majikan mereka. "Makan yang banyak agar kau tak terlalu kecil," sindir Mark membuat Megan menautkan alis. Lalu sekilas melihat Bella dan Megan yang tersenyum mendengarkan. "Aku terlalu kecil? Kau jangan salah." Megan menggelengkan kepala, dan memilih roti irisan, ia memang tak suka makan berat di pagi hari, selera yang sama dengan Mark yang juga memilih roti bakar dengan selai di dalamnya. "Aku kecil begini, tapi ini ideal loh," jawab Megan. "Ideal? Dasar!" gumam Mark. Tiga menit kemudian, Mark dan Megan selesai sarapan, mobil pun melaju meninggalkan pelataran parkir rumah, di mana ada sopir dan Jhony yang kini duduk didepan. "Rapat untuk hari ini sudah kau beritahu Qiel?" tanya Mark pada Jhony. "Sudah, Tuan, beliau akan menghadiri," jawab Jhony. "Baiklah." Mark sesaat menoleh dan menatap wajah Megan yang kini tengah menyusuri jalan dengan matanya, sudah lama sekali ia tak keluar rumah, dan merasakan kebebasan. Ia sudah beberapa hari di tawan di rumah, entah sampai kapan semua itu berakhir, Megan harap secepatnya. Sampai di depan kampus, Megan hendak turun dari mobil, namun genggaman tangan Mark menghentikannya, di sisi lain semua mahasiswa yang melintasi mobil tersebut dan yang melihat dari kejauhan, keheranan melihat mobil mewah parkir tepat didepan gedung kampus. "Ada apa lagi?" tanya Megan. "Aku akan menjemputmu pulang kuliah nanti, dan jangan pernah mengabaikan telponku. Kau harus mengangkat telponku," pesan Mark, membuat Megan terdiam, ia tak menyangka lelaki didepannya saat ini perhatian padanya yang bukan siapa-siapa. Megan harus menangisi hidupnya, namun tak ada salahnya untuk bangkit dan kembali seperti biasa, meski ia bergelar seorang simpanan saat ini. Arley sudah menghancurkan kehidupannya. Menghancurkan segala harapannya. Ia membenci lelaki itu, dan mulai pasrah akan hidup yang ia jalani saat ini. "Meng, siapa dia?" tanya Helena, ketika melihat mobil mewah meninggalkan pelataran halaman kampus. "Oh. Dia—" "Pacarmu, ya?" tanya Jessie, menyikut lengan Megan. "Bukan. Dia bukan pacarku. Kalian jangan sembarangan," sergah Megan, membuat kedua temannya saling bertukar pandangan karena Megan terlihat gugup. "Benaran? Lalu siapa donk?" "Bukan siapa-siapa." "Udah ah. Megan 'kan sudah punya pacar," sambung Helena. "Tapi seingatku Arley tidak punya mobil semewah itu," kata Jessie. "Udah ah. Kita masuk ruangan saja," ajak Megan, mencoba mengalihkan perhatian teman-temannya, ketika melihat mobil mewah terparkir didepan gedung sekolah. *** Sebelum ke kantor, Mark sengaja mampir ke mansion untuk mengambil sesuatu, ia mencoba mengabaikan tatapan mata Katie yang kini sedang bersedekap. "Semalaman kamu kemana?" tanya Katie, namun Mark malah sibuk mencari dokumen di atas meja kerjanya. "Kamu tidak mendengarku? Aku tanyan semalam kamu kemana dan tidur dimana?" Mark membanting salah satu dokumen di atas meja kerjanya, membuat Katie membulatkan mata terkejut. "Apa urusanmu aku dimana dan tidur dimana? Bukannya kau sendiri sudah tahu aku seperti apa?" Mark menatap manik mata Katie. Selama ini, Katie mengetahui segala tingkah dan sepak terjang suaminya, namun sebagai istri yang menginginkan nama dan pengakuan, ia selalu mencoba menerima skandal suaminya meski sakit. "Mulai sekarang, aku akan jarang tinggal di rumah, mungkin akan pulang sesekali, namun tidak untuk menginap," kata Mark kembali mencari dokumennya dan memilih dari tumpukan dokumen. Mark sudah terlalu memuja Megan, merasa bahwa ia lebih hidup di samping perempuan itu. Sedangkan pada istrinya sendiri, Mark seperti patung dan tak berekspresi. "Apa kau memiliki simpanan?" tanya Katie memicingkan mata menatap suaminya. "Kau mungkin pikir bahwa aku ini hanya istri dan pernikahan kita hanya nama, namun aku tak akan terima jika kau memiliki simpanan dan memilih simpananmu itu daripada aku istrimu, bukankah itu tak adil?" "Sudahlah. Aku kemari tidak ingin berdebat denganmu." "Jadi, sewaktu kau pergi ke Hawaii, kau bertemu perempuan itu? Kau bukan tipe lelaki yang menyukai satu wanita, aku tidak yakin kau mau tidur hanya dengan satu wanita setiap hari." Mark menyunggingkan senyum seakan ia tak masalah sama sekali, jika istrinya itu tahu tentang simpanannya. Ia sudah terlanjur muak pada Katie. Bahkan tidur di samping Katie saja tidak membuatnya nyaman. Mark berada dekat di depan istrinya, di mata itu sudah tidak ada cinta seperti dulu. Entah bagaimana caranya agar Mark mau kembali padanya dan meninggalkan kebiasaannya bersama perempuan lain.. "Bukankah kau menikah denganku karena hanya ingin pengakuan? Jika seperti itu, kau pasti sudah tahu bahwa aku tidak suka di urusi, terserah padaku. Aku bersama berapa wanita bahkan memiliki simpanan, itu bukan urusanmu!" tekan Mark, menatap manik mata istrinya. "Sebenarnya ada apa denganmu, Sayang? Kenapa kau berubah seperti ini?" tanya Katie, hendak menyentuh d**a bidang suaminya, namun Mark malah menghindarinya. "Kau tidak perlu tahu. Ingat saja. Bahwa urusanku tak perlu kau usik," kata Mark, menghampiri meja kerjanya dan mengambil dokumen yang sudah ia pisahkan, lalu berjalan melintasi istrinya tanpa menoleh menatapnya. Dulu, hanya ada cinta diantara mereka, namun kali ini tatapan mata Mark seperti akan membunuhnya. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD