"Astaga!" Hasta nyaris terjengkang, jika saja tak berpegangan pada pintu kamar mandinya yang baru saja dibuka.
Awalnya, pria itu berniat untuk membersihkan tubuh terlebih dahulu. Apalagi, sebelumnya baru dari rumah sakit dan mengantri cukup lama di swalayan hingga badannya penuh peluh.
Tapi, apa yang dia temukan sekarang?
Sesosok makhluk yang dengan santai, mengkudeta bathtub miliknya. Yang sekarang, dipenuhi air s**u dengan tebaran kelopak bunga mawar yang mengambang.
"Baru balik?"
Mendengkus, Hasta bersedekap tangan, menatap tamu tak diundang yang merusuh di kamar mandinya.
Dengan kemeja yang seluruh kancingnya telah terbuka, Hasta sebelumnya sudah bersiap menanggalkan pakaian dan menuju shower. Ya, itu niat awalnya, sebelum menemukan penampakan.
"Lo ngapain, Ar?"
"Mancing," masih sibuk menggosok lengannya dengan air penuh kelopak bunga, Arya tak memedulikan pemilik kamar mandi yang menahan dongkol karena ulahnya.
"Mancing keributan maksud lo?"
Menyugar rambut basahnya, Arya menumpukkan kedua lengan di pinggir bathtub, sebelum kemudian, meletakkan dagu di sana, sembari menatap Hasta dengan mata memicing, "kenapa lo dari pagi susah dihubungi? Kelayapan kemana lo? Kafe lagi rame, Bosnya malah hilang entah kemana?"
"Ck! Kan yang penting nggak ada masalah sama Kafe. Lagian, gue lagi ada keperluan."
"Dan itu, adalah?"
"Nggak usah kepo!" Hasta tak berminat menceritakan soal Rena pada Arya.
Bukan, Hasta bukannya takut jika Arya tebar pesona pada Rena. Dia hanya malas direcoki.
"Gue kira lagi kencan buta."
"Nggak, untuk sementara masih aman. Nyonya Amel belum ada hubungi gue buat kasih jadwal kencan buta."
Arya terkekeh mendengar Hasta yang memanggil Mamanya dengan cara tak biasa.
"Ar," mengela napas panjang, Hasta berusaha mengais kesabaran, "lo nggak bisa apa, mandi di tempat lo sendiri?"
Mengedikkan bahu tak acuh, Arya kembali sibuk menggosok-gosok betisnya, "males harus pulang. Kalau mandi di sini lebih praktis, ngapain repot-repot balik ke apartemen?"
"Terus, dari mana lo dapat bunga sama s**u buat mandi? Sengaja bawa?"
"Kagak," melempar cengiran mencurigakan di mata Hasta, Arya terkekeh kaku, "hm ... Itu, sebelum gue jawab, mau tanya sesuatu dulu."
"Apaan?"
"Bohong itu dosa kan?"
"Ya iyalah!" Jawab Hasta langsung, dengan nada kesal. Lagipula, untuk apa menanyakan hal yang jawabannya sudah Arya tau sendiri?
"Nyuri juga dosa ya?"
"Astaga Ar, bocah juga tau, kalau yang namanya perbuatan buruk itu bisa bikin dapat dosa."
Menggaruk dagu, Arya tampak ragu. Hingga terjeda sejenak, sebelum akhirnya kembali bicara saat mendapat protes dari Hasta yang menungguinya.
"Bohong sama nyuri kan dosa. Semisal jujur, apa bisa dapat potongan dosanya?" Tanya Arya dengan raut serius.
Mengerjap, Hasta terserang kebingungan. Sebenarnya, apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu?
"Ar, gue mana tau soal dosa dan pahala. Kan cuma manusia biasa."
"Ish! Kan gue minta pendapat, Has!"
"Ya, masalahnya, gue emang nggak tau. Intinya aja deh, maksud ucapan lo yang bikin kepala pening itu apa?"
"Tapi lo harus ikhlas ya, Has. Janji loh! Siapa tau, dosa gue nggak banyak-banyak amat, bisa dapat keringanan karena jujur."
"Ck! Dibilangin, gue mana tau soal dosa manusia. Cepetan, lo mau ngomong apa sebenarnya? Abis itu out dari kamar mandi, gue juga mau bersih-bersih. Ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan."
"Makanya, jangan kelayapan. Keteteran kan jadinya kerjaan lo?"
"Ar, tolong ngaca! Lo anggep gue kelayapan di jam kerja. Terus lo apa? Bukannya di kantor, malah di sini, sibuk mandi s**u campur kembang."
Merengut, Arya mengambil salah satu kelompok bunga yang mengambang di depannya, lalu menggigitnya dengan kesal, sebelum kemudian ia lepehkan, "lagi nggak mood di kantor."
Menebalkan kesabaran, Hasta mengacak rambut hitamnya dengan gerakan pasrah, "jadi, intinya, apaan? Muter-muter mulu omongan lo."
Arya cengengesan, sebelum kemudian berdeham, "jadi ... Ini—" tunjuknya pada isi bathtub, "—susunya gue ambil dari gudang penyimpanan kafe lo, ng—nggak banyak kok Has," Arya berucap dengan gagap, saat Hasta tiba-tiba melangkah maju, "c—cuma dua puluh kotak aja, kan lo ada berdus-dus, jadi dua puluh kotak nggak ada apa-apanya kan? O—oke! Oke! itu cukup banyak! Nanti gue ganti kalau ingat!"
Kedua kaki Hasta sudah terpentok sisi bathtub, membuatnya menatap Arya yang masih tergagap karena gugup dengan datar, "terus, itu bunga mawar, lo dapat dari mana?"
"O—oh, ini? I—ini, dari ... Depan kafe lo—astaga! Has!" Arya tak bisa menyelesaikan ucapannya karena Hasta tiba-tiba mendorong kepalanya ke dalam air s**u yang memenuhi bathtub.
Dengan napas tersengal-sengal, Arya berusaha meraup udara dengan rakus, setelah kepalanya muncul, sebelum melempar tatapan sengit, "Lo mau bun*h gue?! Sahabat lo yang paling tampan, hanya karena sus* dan kembang?"
Mendengkus, Hasta mengabaikan Arya yang mulai mendrama, "lima menit, gue tunggu lo kelarin semua ini. Jangan lupa beresin semuanya lagi. Gue nggak mau kamar mandi lengket penuh sus* dan berantakan penuh kelopak bunga." Tak menunggu jawaban dari Arya, Hasta melenggang keluar dari kamar mandi.
Sementara di belakangnya, Arya merengut sembari misuh-misuh.
Mendudukkan diri di sofa yang berada di kamarnya, Hasta mengela napas panjang. Memijit pelipis dengan kepala yang terdongak ke atas, menatap langit-langit kamar.
Menyamankan duduknya, Hasta mengintip penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir dua menit. Kalau sampai Arya masih belum keluar juga setelah lima menit, waktu yang ia berikan untuk pria itu membereskan semua kekacauan, dia benar-benar akan menyeretnya.
Suara ponsel menginterupsi fokus Hasta tentang sahabatnya yang selalu membuat ulah. Meraih benda pipih yang ia letakkan di atas meja depannya, Hasta segera membuka sebuah pesan yang seseorang kirimkan.
Ah, tak hanya deretan kata. Tapi juga foto yang memperlihatkan sebuah meja makan, dipenuhi berbagai lauk yang tampak lezat. Di bawahnya, ada pesan yang sosok itu sampaikan.
'Makasih banyak ya, Mas. Berkat Mas Hasta, isi perutku hari ini berpesta ^ ^ '
Bibir Hasta membentuk senyuman usai membacanya.
Dengan segera, Hasta membalas pesan yang Rena kirimkan.
'Sama-sama. Dan jangan sungkan untuk meminta bantuan pada saya.'
Usai mengirimkan pesan tersebut, tak butuh waktu lama bagi Hasta mendapat pesan balasan.
'Mas Hasta kok senang direpotkan?'
Tersenyum geli, kedua ibu jarinya kembali mengetikkan balasan dengan lincah.
'Saya sedang banyak waktu luang. Anggap saja sebagai kegiatan yang mengisi waktu luang saya. Jadi, tak masalah kamu repotkan.'
Lagi, balasan dari Rena datang dengan cepat.
'Ini saya harus bersyukur atau terbebani ya, Mas?'
Kali ini, senyumnya sedikit meluruh, dengan kening yang tampak mengernyit.
'kenapa terbebani?'
Rena membalas setelahnya.
'Berasa hutang budi. Pake apa saya bayarnya?'
Mendengkus, dengan senyuman yang kembali terbit, Hasta membalas.
'Tidak perlu membalas pakai apa pun, anggap saja, saya sedang menabung pahala.'
'Baiklah, saya akan bekerja dengan giat saat nanti telah resmi jadi pegawai Mas Hasta.'
'Fokus pada kesembuhan dulu. Kalau kamu nekat datang, buat kerja di saat belum pulih sepenuhnya. Akan saya pulangkan lagi ke kontrakan.'
'Siap Pak Bos ಠ﹏ಠ '
Hasta terkekeh geli melihat balasan dari Rena. Sebelum kemudian, pria itu merasa ada yang janggal.
"Astaga!" Ponsel ditangan Hasta nyaris jatuh. Jika saja tak segera ia tangkap.
Sejak kapan Arya duduk di sebelahnya? Melongokkan kepala dengan wajah kepo kearah ponselnya?
"Chatting sama siapa?" Tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Mengerutkan kening, Hasta segera menutup ruang chatting bersama Rena.
"Udah? Balik sana!" Hasta baru saja akan bangkit dari duduknya, berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tapi Arya tak mau melepasnya begitu saja. Jiwa kepo pria itu pasti tengah meronta-ronta, dan tak akan membiarkan Hasta melenggang santai sebelum memberi penjelasan.
"Ck! Apalagi?"
"Chatting sama siapa?" Ulang Arya, karena pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya pada Hasta, diabaikan begitu saja.
Menyipitkan mata, Arya masih memasang wajah curiga. Membuat risih Hasta. Karena pria itu bersikap, layaknya kekasih yang tengah menyelidiki sewaktu pasangannya terindikasi melakukan perselingkuhan.
"Ini pertama kalinya lo cengengesan pas chatting sama orang."
"Penting banget lo tau?" Tanya Hasta yang diangguki penuh semangat oleh Arya.
"Jadi, dia siapa?"
"Manusia."
"Ck! Ya iyalah! Masa umbi-umbian?"
"Yaudah kalau lo tau."
"Has! Astaga ... Pengen gue kecup ubun-ubun lo biar paham."
"Nggak penting Ar, udah sana, gue mau mandi. Itu sus* sama bunga nggak ada lagi kan?"
Merengut, Arya mengangguk, "pelit banget sih, Has. Bisik-bisik dong, tadi lo chatting sama siapa? Tega lo, bikin gue nggak bisa tidur gara-gara penasaran?"
"Masih aja bahas soal itu. Bukan siapa-siapa, cuma temen."
"Temen yang mana? Temen lo itu masih bisa dihitung pake jari. Dan rata-rata, semuanya gue kenal. Jadi, siapa yang tadi chatting sama lo?"
Tak mengindahkan rengekan Arya, Hasta memilih berderap menuju kamar mandi, tapi rupanya, Arya justru mengekori.
"Has ...." Mengentak-entakan kaki dengan wajah memelas, Arya berdiri di depan pintu kamar mandi. Menghalangi Hasta yang ingin masuk ke sana.
"Minggir, Ar. Gue mau mandi, astaga ...."
"Bilang dulu, biar gue bisa bobo nyenyak dengan tenang."
Menggaruk kepalanya gemas, Hasta berkacak pinggang, mulai lelah menghadapi kekeras kepalaan sahabatnya.
"Namanya Rena, puas?!" Sebelum Arya buka suara untuk melempar tanya selanjutnya. Hasta sudah lebih dulu mendorong tubuh sahabatnya agar segera menyingkir dari depan pintu kamar mandi.
BRAK!
"Has! Oy! Rena-Rena itu siapa? Kok namanya asing sih? Gue belum kenal ya? Dia temen baru lo? Kok gue nggak tau? Dia temen sepesial? Lo senyam-senyum pas chatting sama si Rena-Rena! Hasta, jawab! Ini suara merdu gue jangan lo abaikan!" Terengah, Arya menggaplok pintu kamar mandi di depannya yang tertutup. Kesal karena semua rentetan pertanyaan yang dilontarkannya untuk Hasta, tak ada satu pun yang terjawab.
Berbalik, Arya menyandarkan punggung pada pintu kamar mandi sembari bersedekap tangan.
Rena?
Arya yakin, jika sebelumnya, ia tak pernah mendengar nama itu dari Hasta. Dan ini adalah pertama kalinya. Berarti, wanita itu—siapa pun dia, belum dikenalnya.
"Gue benci penasaran!" Keluh Arya sembari berdecak sebal.
***
"Rena?"
Arya menganggukkan kepala penuh semangat. Usai tragedi pengusiran yang dialaminya di tempat Hasta, ia akhirnya mendarat di rumah Bastian.
Saat menelpon dan mengetahui Bastian tengah berada di rumah karena kurang enak badan, jadi tak masuk kerja. Arya segera meluncur ke sana. Dia tak bisa menunggu, digerogoti rasa penasaran itu benar-benar menyebalkan.
Jika dia tak tau tentang Rena-nya Hasta, mungkin saja, Bastian lebih tau dan ia bisa mengulik informasi dari sahabatnya itu.
Sayangnya, harapan yang sempat membuncah perlahan meredup, saat gelengan kepala dari Bastian yang Arya dapatkan.
"Serius lo nggak tau?"
"Ck! Gue aja baru tau gara-gara lo nanya tadi, soal Rina—"
"Rena!" Koreksi Arya cepat dengan bibir mencebik.
"Iya, Rena maksudnya. Gue tuh suka nggak hafal nama perempuan. Kecuali Wening Sukma Pramana." Tergelak, Bastian menatap puas melihat Arya yang memberi gerakan seolah-olah ingin muntah.
"Dasar bucin!"
Mengedikkan bahu tak acuh, Bastian menyandarkan punggung pada sandaran sofa yang berada di belakangnya, "mungkin cuma rekan kerja. Lagian kenapa sih, lo yang ribet? Biarin aja, kalau pun ternyata bukan rekan kerja, tapi sosok yang spesial. Bukannya bagus kalau Hasta akhirnya deket sama perempuan? Kan, lo sendiri yang bilang, Tante Amel makin gencar buat jodohin Hasta. Nggak sabar pengen gendong cucu dari anak semata wayangnya. Sungkan kalau terus-terusan culik anak gue."
Merengut, Arya bersedekap tangan, "gue nggak ada maksud apa-apa. Cuma kepo aja. Kok tumben Hasta nggak cerita apa pun sama lo atau gue, kalau dia lagi deket sama perempuan? Pas dia dipaksa buat kencan buta sama Tante Amel aja kasih tau, bahkan minta bantuan gue."
Menggeleng samar, Bastian menatap Arya yang masih dilingkupi penasaran akan wanita bernama Rena, yang di curigai tengah dekat dengan sahabat mereka.
"Ar, kita memang sahabatan. Tapi, ada kalanya nggak semua hal bisa dibagi. Mungkin, itu yang Hasta lakukan sekarang. Dia pilih buat sembunyikan dulu soal wanita bernama Rena itu dari kita, atau bahkan semua orang. Dan, kalau waktunya dirasa sudah tepat, dia pasti cerita."
Kali ini, Arya tampak terdiam, mencerna ucapan yang baru saja Bastian lontarkan.
Baiklah, harus Arya akui, ucapan sahabatnya itu benar. Mungkin, Hasta masih belum mau berbagi soal kedekatannya dengan perempuan bernama Rena itu. Dia harusnya bersabar dan tak terlalu memaksakan kehendak hanya untuk memuask*n rasa penasarannya.
Kedatangan Wening yang membawakan minuman membuat obrolan kedua pria itu terinterupsi.
"Di sini aja," Bastian meraih pergelangan tangan sang istri yang hendak kembali pergi. Memintanya untuk duduk di sampingnya.
Melihat raut sungkan yang Wening perlihatkan, Arya mengulum senyum, "santai Ning, lo nggak ganggu kok. Gabung aja sama kita. Cuma lagi ngobrol random aja. Oya, sorry, bikin istirahat laki lo keganggu gara-gara kedatangan gue."
Menyerah, Wening akhirnya ikut bergabung di sana. Mendudukkan diri di samping suaminya yang langsung merangkulkan tangannya dibahu dan memberi kecupan di pipi. Hal yang membuatnya merasa malu, apalagi Arya memberi dengkusan untuk Bastian yang membalas dengan wajah sombong menyebalkan.
"Cari yang bisa dirangkul sama cium juga sana. Tapi harus berlebel halal kayak gue."
"Ning, laki lo kalau nggak ngeselin bisulan ya?" Tanya Arya yang membuat Bastian memelotot kesal. Wening sendiri hanya bisa meringis.
"Kata orang, iri tanda tak mampu."
"Gue bukan iri, tapi gedeg liat lo sok ngumbar kemesraan. Sisi jomlo gue merasa terluka." Mengabaikan kelakuan sahabatnya, Arya kemudian mencari keberadaan gadis lucu yang sejak tadi belum tertangkap penglihatannya, "calon istri masa depan gue mana? Kok dari tadi nggak nemu? Lagi tidur siang?"
Berdecak, Bastian mencebik kesal, "gue nggak sudi punya mantu kayak lo! Bisa bolak-balik rumah sakit karena tertekan. Apalagi pas Nana dewasa, berarti lo udah bangkotan!"
"Ish! Suka gitu deh, calon papa mertua."
"Ar, jangan sampe gue lempar lo ke kolam piranha ya?"
"Emang lo punya?"
"Belum, tapi tiba-tiba pengen bikin. Jadi kalau lo mulai ngeselin, tinggal gue lelepin di sana."
"Tuh, Ning, laki lo kembali durjana!"
Wening sudah terbiasa melihat perdebatan dua orang itu, "Tiana lagi diajak sama Tantenya keluar."
"Calya maksudnya?" Tanya Arya yang diangguki Wening.
Mendengar nama itu, Arya jadi teringat lagi, jika adik sahabatnya itu tengah ngambek karena dia usili.
"Udah, lo pokonya jangan ganggu Hasta dulu. Kita do'akan aja ada kabar baik. Kali aja kan, dia beneran jadi sama si Rena-Rena itu."
Ucapan Bastian membuat lamunan Arya koyak. Wening sendiri mengerutkan kening tak mengerti. Dia yang baru bergabung, belum tau apa yang tengah di bahas. Dan Rena? Siapa dia?
Wening baru saja berniat bertanya, tapi seseorang sudah lebih dulu mewakilinya.
"Siapa Rena?"
Sontak, ketiganya menolehkan kepala secara serentak pada sosok yang entah sejak kapan, sudah berdiri di sana? Sembari menggendong Tiana yang fokus pada lollipopnya. Tak memedulikan ketegangan yang melingkupi sekitarnya.