My Soul Is You - 10

2146 Words
Calya tersentak, gadis itu mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk menatap layar ponsel. Saat suara derit kursi yang ditarik, tertangkap pendengaran. Merengut masam, Calya tampak kecewa, karena sosok yang menempati kursi kosong di seberangnya—bukan seseorang yang dicarinya sejak tadi. "Kak Ar?" Mengernyitkan kening, Calya memencet hidung, "nyengat amat parfumnya? Mana kayak menyan baunya. Kak Ar pake parfum disemprot sampe setengah botol?" Arya mencebik, mengendus ketek kanan-kirinya, juga kerah kemeja untuk mencari aroma menyengat yang diributkan Calya. "Kagak, gue kalau pake parfum langsung diguyur sebadan-badan. Lo kok jadi titisan Bastian sih sekarang? Jadi nyebelin kayak Kakak lo yang dulu durjana sekarang tobat dan jadi pria bucin." Memutar mata, Calya memilih sibuk pada isi piringnya yang sejak tadi terabaikan. Hingga makanan yang dipesan menjadi dingin. "Nyari Hasta ya?" Calya baru saja melilitkan spaghetti pada garpu, saat pertanyaan yang Arya lontarkan membuatnya meletakkan atensi pada pria itu lagi. Berdeham, Calya berusaha menampilkan raut tak tertarik, "orang mau makan siang. Lagian, nggak selalu, alasan aku ke sini karena Kak Hasta." "Oh ... Begicukah? Baiklah, Hasta juga lagi santai kayaknya, kencan sama—" Arya tak bisa menyelesaikan ucapannya, saat Calya yang sebelumnya duduk berseberangan, tiba-tiba bangkit dan berpindah duduk di sampingnya. Mengabaikan makan siangnya untuk kesekian kali. "Kak Hasta kencan buta lagi? Disuruh Mamanya yang ngebet minta Kak Hasta kawin ya?" "Katanya nggak tertarik?" "Kak Ar! Kasih tau, di mana lokasinya?" Mengorek telinga dengan jari kelingking, Arya menikmati raut panik yang kini menghiasi wajah Calya. "Kak Ar!" "Jangan teriak-teriak, Cal. Nanti kita diusir dari sini, karena ganggu kenyamanan tamu lain." "Ya makanya bilang!" "Bilang apaan?" "Soal Kak Hasta." "Emang Hasta kenapa?" Arya benar-benar menikmati kegiatannya yang tengah mengusili adik sahabatnya itu. "Tadi bilangannya lagi kencan kan? Di mana?" "Ngapain perlu tau? Kan lo ke sini mau makan siang. Yaudah, lanjutin aja. Ngapain urusin Hasta?" Calya menelan kesal yang saat ini menumpuk di dad*. Kalau saja tak ingat, jika pria menyebalkan di sampingnya adalah sahabat sang Kakak, sudah sejak tadi ia jambak dengan bar-bar. Tak tega melihat raut frustasi yang Calya perlihatkan. Arya meringis, menggaruk belakang lehernya, pria itu akhirnya berkata jujur, "kagak Cal, gue bercanda. Hasta nggak lagi kencan kok. Mamanya masih cari-cari kandidat yang di rasa tepat. Gue kesini juga mau ketemu Hasta. Dari tadi gue telepon nggak diangkat, kirim pesan dibaca doang. Asem banget emang, itu anak." Calya tak membalas celotehan Arya. Kembali berdiri, gadis itu tak melanjutkan makan siangnya. Alih-alih duduk di tempat semula, Calya meraih tas dan mencangkokkan pada bahu kiri, sebelum kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Arya yang hanya bisa mengerjap tak percaya. "Waduh, ngambek?" Saat akhirnya sadar dari rasa terkejutnya. Dengan sikap Calya yang tak menghiraukan ucapannya dan segera berlalu pergi. Arya mencoba menyusul keluar. Sayang, sosok adik dari sahabatnya itu sudah lebih dulu naik ke mobil dan berlalu, tanpa bisa Arya kejar. "Duh, ini gimana? Calya ngambek. Padahal tadi itu, gue cuma becanda doang." Menggaruk-garuk kepala, Arya menatap arah kepergian mobil yang Calya kendarai, dan sekarang, tak lagi tertangkap penglihatannya. "Ck! Ini lagi, si curut Hasta. Kemana sih dia? Susah banget mau ketemu doang! Hei ... Anda bukan artis papan cucian—eh, papan atas maksudnya. Masa mau ketemu aja susah banget!" **** Sosok yang Arya cari, kini tengah membukakan pintu mobil, untuk seorang wanita yang tampak tertatih saat berjalan. "Apa masih sakit?" Usai menutup pintu mobilnya, Hasta segera memapah Rena, wanita itu nyaris jatuh terjerembap karena kehilangan keseimbangan. "Tidak terlalu, Mas. Hanya sedikit ngilu saat bergerak—astaga!" Rena terkesiap, dan segera melingkarkan kedua tangannya ke leher Hasta sebagai pegangan. Tubuhnya tiba-tiba melayang, dan sekarang, sudah berada digendongan pria itu. "Maaf, seharusnya saya izin dulu. Tapi kaki kamu bisa semakin sakit jika dipaksakan terlalu banyak bergerak. Aku gendong saja ya?" Bukannya menjawab, Rena justru tertawa, membuat Hasta menatap bingung wanita yang masih dalam gendongannya. "Kenapa? Apa ada yang lucu dari ucapan saya tadi?" Berdeham, berusaha menghilangkan sisa-sisa tawanya, Rena menggelengkan kepala, "maaf Mas, tidak bermaksud mentertawakan. Tapi rasanya jadi lucu, Mas minta izin untuk gendong saya, setelah tubuh saya berada digendongan Mas Hasta." Meringis, Hasta menggumamkan permintaan maaf. Dia benar-benar spontan tadi. Merasa cemas melihat Rena yang berjalan tertatih dengan raut kesakitan. "Kamu tidak keberatan kan?" Rena menggeleng, "saya sih tidak keberatan, karena Mas yang pasti keberatan harus menggendong saya seperti ini." "Tidak, kamu nggak berat sama sekali. Sepertinya harus perbanyak makan agar lebih berisi." Mencebik, Rena menatap Hasta yang kembali meringis, tapi kali ini karena alasan lain, "Mas, nggak boleh mengatakan hal-hal yang sensitif untuk perempuan. Seperti usia, berat badan, dan jerawat yang lagi nongkrong di muka. Itu benar-benar menjatuhkan mood." "Baiklah, saya benar-benar minta maaf, tidak bermaksud mengatai atau menyinggung." "Di maafkan, karena Masnya tampan—eh, maksudnya baik." Berdeham untuk mengendapkan rasa gugupnya, Hasta kemudian berjalan menuju sebuah rumah sederhana yang Rena tempati seorang diri. Wanita itu mengaku sudah tiga bulan mengontrak di sana. Sebenarnya, dia bisa saja tinggal di rumah majikannya sewaktu masih bekerja di sana. Jauh lebih praktis dan tak perlu mengeluarkan uang untuk biaya sewa. Tapi Rena akhirnya memilih keluar dari rumah majikannya dan mencari kontrakan untuk ia tinggali. Tak apa harus berangkat pagi-pagi, dan pulang cukup malam setiap harinya. Itu jauh lebih baik, daripada merasa cemas karena majikan prianya kadang menyatroni kamarnya pada tengah malam. Meski sudah dikunci, tapi ada satu waktu, di mana pria itu rupanya memiliki kunci cadangan dan mengendap masuk ke kamarnya bermodal kunci cadangan tersebut. Beruntung, Rena masih terjaga. Karena tiba-tiba, firasatnya merasa tak tenang. Di tengah rasa takutnya menghadapi pria yang telah lancang masuk ke kamarnya malam-malam, tak peduli pria itu adalah majikannya sendiri. Rena mengancam akan berteriak jika berbuat yang tidak-tidak padanya. Alih-alih gentar, majikannya justru terbahak-bahak dengan nada mencemooh. Sebelum bertindak kurang ajar, Rena meraih raket nyamuk dan menjadikan benda itu sebagai senjata. Cukup berhasil membuat majikan prianya kewalahan dan akhirnya memilih keluar. Setelah kejadian itu, diam-diam, Rena mencari tempat tinggal yang lain. Dia tak akan bisa memejamkan mata dengan tenang karena terus dihantui rasa was-was, jika mungkin saja, majikan prianya kembali nekat menyantroni kamarnya. Hasta sudah berada di dalam kontrakan sederhana yang ditinggali Rena. Mendengarkan kisah wanita itu yang membuatnya geram. Jika saja bisa, ingin sekali memberi pelajaran pada pria brengs*k itu. "Apa saya sudah boleh kerja di tempat Mas Hasta?" Mengerjap, lamunan Hasta akhirnya koyak setelah suara Rena tertangkap pendengaran. "Kamu masih sakit, nanti jika sudah membaik, kapan pun bisa bekerja di tempat saya." Menggigit bibir bawahnya, Rena mencoba memberikan senyuman—yang di mata Hasta, tampak dipaksakan. "Ada apa?" Tanyanya yang penasaran. Sepertinya, ada sesuatu yang menggangu pikiran wanita itu. "Tidak ada, Mas. Hm ... Maaf ya, tidak bisa saya suguhi minuman. Hanya ada air putih. Gula, kopi, atau teh, sedang habis." "Tidak apa-apa, lagipula saya tidak haus." Terdiam sejenak, tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepala Hasta, "tunggu sebentar, saya akan kembali ke sini." Tanpa menunggu jawaban dari Rena, Hasta bangkit dari duduknya pada sebuah kursi anyaman rotan yang telah usang. "Mas Hasta mau kemana?" Rena merasa penasaran, karena Hasta tiba-tiba saja tampak tergesa keluar dari kontrakannya. Berdiri di ambang pintu, Hasta menatap Rena yang kebingungan, "nanti saya jelaskan jika sudah kembali ke sini. Untuk sekarang, saya pamit pergi dulu." Usai mengucap salam, Hasta berderap cepat. Meninggalkan Rena yang menjawab salamnya dengan kening mengernyit, menggaruk pipi, wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. Mengela napas, Rena berusaha untuk tak lagi pusing memikirkan Hasta. Pria itu pasti sibuk dan memiliki banyak keperluan lain. Bukan sekadar mengurusinya yang sudah menyusahkan. Semua biaya perawatannya telah dibayar Hasta, pria itu bahkan bersikeras mengantarkannya pulang. Padahal, Rena berniat mencari angkutan umum. Tak ingin berdebat dan mencuri perhatian orang-orang yang berada di sekitar mereka, terlebih keduanya masih di rumah sakit. Rena akhirnya menyerah, dan mengikuti kemauan Hasta yang bersikeras mengantarnya. Ya, Rena benar-benar beruntung. Karena Hasta yang ia tabrak. Jika orang lain, bisa saja mengabaikan, atau yang paling menyeramkan, dia dimintai ganti rugi karena telah menabrak mobilnya. Menahan rasa sakit dari kakinya yang terkilir, Rena bangkit dari tempat duduk. Dia harus membereskan rumah yang masih berantakan. Tak bisa hanya ongkang-ongkang kaki, karena sapu tak mungkin membersihkan lantai kontrakannya sendiri, atau tumpukan baju kering, yang juga tak mungkin terlipat sendiri dan masuk ke dalam lemari dengan tertib dan rapi. Semua itu, harus Rena kerjakan sendiri. Setelah bersusah-payah membereskan kontrakannya, Rena memilih mandi. Tubuhnya terasa lengket karena dipenuhi keringat, usai beres-beres. Berkutat beberapa lama di kamar mandi, Rena keluar dengan pakaian yang telah berganti. Rambutnya yang masih setengah basah telah tersisir rapi. Wanita itu hendak berjalan menuju dapur. Mencari tau, apakah di sana, ada bahan makanan yang masih bisa di olahnya? Sewaktu di rumah sakit, Rena hanya makan sedikit. Dan sekarang, ia baru sadar, jika perutnya merengek minta di isi. Rena meringis, saat hanya menemukan ikan asin dan satu butir telur ayam. Baiklah, setidaknya, ada dua macam lauk yang bisa dinikmatinya hari ini. Rena baru saja hendak memecahkan telur dan memasukannya ke dalam mangkuk plastik, saat teringat sesuatu yang cukup penting. Tertatih, wanita itu berjalan mendekati rice cooker, membukanya dan mengela napas, saat melihat nasi yang sudah menguning dan menguarkan aroma yang menusuk penciumannya. Dia harus memasak nasi yang baru. Biarlah yang ini dikumpulkan. Nanti bisa dijual pada pria pemilik ayam yang tak jauh dari kontrakannya. Lumayan, meski tak seberapa, masih bisa untuk menambah isi dompetnya yang kian menyedihkan. Suara ketukan pintu menginterupsi kegiatan Rena di dapur. Mengernyitkan kening, wanita itu memegang centong nasinya dengan erat. Tampak was-was, jika seseorang yang berada di luar sana, adalah sosok yang tak ingin ditemuinya. Tapi rasanya tak mungkin. Dia tak tau tempat tinggal Rena yang baru. Ketukan pintu kian kembali terdengar. Kali ini lebih intens. Seolah—siapa pun tamu di luar sana, begitu tak sabaran menunggu dibukakan pintu olehnya. Masih dengan centong nasi di genggaman, Rena akhirnya memilih menyeret langkahnya yang tertatih-tatih menuju pintu depan. Ck! Seharusnya tadi bawa pisa* sebagai senjat*. Hanya untuk berjaga-jaga. Kenapa centong nasi yang Rena bawa? Apa bisa dijadikan senjat*? Tapi jika harus memutar langkah. Rasanya terlalu lama. Apalagi kakinya yang—sejujurnya masih berdenyut-denyut setiap kali digerakkan, karena memang belum sembuh total. Hanya akan memperparah keadaan. Jadi, bermodal nekat. Rena tetap melanjutkan langkahnya menuju pintu depan, yang masih diketuk-ketuk seseorang di luar sana. Rena tak lekas membukanya. Wanita itu mengintip lebih dulu dari tirai gorden yang disibaknya. Dia tak mau ambil risiko. Tapi kemudian, wanita itu mengejap-ngejapkan mata tak percaya. Menemukan sosok yang tak diduganya berdiri di sana. Bergegas beralih ke depan pintu. Rena mengela napas panjang, sebelum kemudian membuka kunci, meraih kenop dan mendorongnya perlahan hingga daun pintu yang sebelumnya tertutup rapat, terbuka lebar. Membuat Rena kian jelas, melihat sesosok pria yang tersenyum canggung padanya. "Apa saya mengganggu?" Tanya Hasta, sembari melihat penampilan Rena yang tampak lebih segar. "Maaf menganggu. Tapi saya sudah berjanji akan kembali. Sayangnya cukup lama tertahan di swalayan karena cukup banyak orang." Swalayan? Rena menurunkan pandangan. Dan mulutnya nyaris ternganga—saat sadar, ada begitu banyak kantong plastik berisi bahan makanan yang berada di sekitar Hasta. "Saya sedikit berbelanja untuk kamu. Karena, pasti sulit dengan keadaan yang sekarang." Sedikit, pria itu bilang? Padahal, yang Rena temukan sekarang, adalah berkantong-kantong plastik berisi berbagai bahan makanan, bumbu, dan lainnya. "Mas, tidak perlu seperti ini." Rena merasa tak enak pada Hasta. Sudah cukup dia menyusahkan pria baik hati itu. "Saya sudah terlanjur membeli. Apa sebaiknya di buang? Karena kamu menolaknya?" "Apa?!" Mengerjap, Rena tak percaya dengan ucapan santai dari Hasta. Mana mungkin dia membiarkan pria itu membuang semua ini? Kalau pun tak diterima olehnya dengan alasan sungkan. Bukankah lebih baik diberikan kepada orang lain yang juga membutuhkan? "Kenapa dibuang? Ini belinya pakai uang. Dan sekarang, yang namanya uang itu, susah dicari. Mas nggak boleh bertindak seenaknya. Ya ... Meksipun itu semua dibeli pakai uang Mas Hasta. Berarti Mas buang-buang hasil keringatnya dengan sia-sia." Hasta menggeleng mendengar celotehan Rena. Pria itu kemudian mengangkat beberapa kantong plastik yang sebelumnya tergeletak di dekat kakinya, "awas, saya mau masuk." Seperti terhipnotis, Rena—tanpa membantah, menggeser posisi tubuhnya yang sejak tadi berdiri di ambang pintu. Membiarkan Hasta masuk dan bolak-balik beberapa kali, untuk memasukkan kantong-kantong plastik berisi belanjaan. Setelah semua selesai, dengan Rena yang masih sibuk mencerna semuanya hingga tak sempat membantu Hasta memindahkan belanjaan tadi. Pria itu berdiri di depan Rena yang bersiap mengatakan sesuatu, tapi urung. Saat Hasta menarik pelan tangan kanannya, membaliknya, hingga telapak tangan yang kini terlihat. "Mas!" Rena nyaris menjerit, saat Hasta meletakkan sejumlah uang yang semuanya pecahan seratus ribuan di atas telapak tangannya. Tunggu! Rena jadi serasa mengikuti sebuah acara reality show yang cukup sering di saksikannya di tv. "Anggap saja, itu DP buat kamu. Karena nanti akan bekerja di kafe saya. Dan, tidak boleh ada penolakan. Ini perintah langsung dari calon Bos kamu." Menepuk-nepuk pundak Rena, Hasta mengulum senyum melihat wajah wanita di depannya yang terbengong dengan ekspresi lucu, "saya pamit, harus kembali ke kafe. Jika ada sesuatu yang penting atau mendesak. Jangan sungkan menghubungi saya dengan segera." Tanpa menunggu jawaban dari Rena yang tengah kesulitan berkata-kata, Hasta melenggang santai, keluar dari kontrakan wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD