Michelle menghela napas panjang pertanda pasrah. Ia penasaran dengan kekuatan yang dimaksud Birk, tapi ia enggan untuk masuk ke dalam air dalam cuaca dingin seperti itu. Michelle masih merasa ragu untuk melakukannya kalau ia tidak berpikir ada pohon yang bisa berbicara berarti memang ada kekuatan yang tersembunyi di hutan ini.
Pelan-pelan, Michelle melepaskan ranselnya dan meletakkannya di samping Birk. Dilepaskannya mantel dan syalnya juga. Sepatunya pun semua diletakkan di samping pohon itu. Kini, Michelle telah bertelanjang kaki dengan hanya memakai kaos tipis dan celana jeans panjang. Ia melangkahkan kakinya menuju kolam itu. Disentuhkannya ujung jari kakinya ke kolam itu. Terasa dingin membekukan. Dengan cepat, Michelle menarik kembali kakinya. Ia menoleh pada Birk dengan memelas. Birk hanya membalasnya dengan menunjuk kolam itu terus. Michelle pasrah dan memberanikan dirinya untuk mencelupkan sebelah kakinya ke kolam hitam itu. Terlalu dingin sampai Michelle merasa ia hampir mati rasa. Dipaksakannya sekali lagi untuk mencelupkan sebelah kakinya lagi hingga kedua kakinya telah berada di dalam kolam yang menurun itu. Michelle dapat merasakan lendir dan daun-daun yang melembek di dalam air. Tanah yang diinjaknya terasa begitu lunak hingga hampir tenggelam. Michelle maju selangkah demi selangkah hingga air telah sampai hingga dadanya. Ia mulai merasa sedikit sesak karena air dingin itu membekukan jantungnya.
“Um...Birk, bagaimana ini ? Bagian yang kuinjak sepertinya ujung tanahnya. Ada lubang yang lebih dalam di depannya,” Michelle berhenti dan mematung sesaat. Wajahnya pucat karena kedinginan luar biasa.
“Masuklah ke dalam. Menyelamlah,” jawab Birk enteng.
“Apa ??? Kau gila, Birk ! Kau benar-benar menyuruhku mati kalau begini !” protes Michelle.
“Percayalah padaku. Lakukan saja apa yang kukatakan,” kata Birk dengan sangat meyakinkan.
Michelle mencoba untuk mempercayai Birk dan menarik napasnya dalam-dalam. Ia langsung menyelam ke dasar setelah menjatuhkan kakinya ke lubang itu. Lumayan sempit untuk ukuran gadis remaja sepertinya hingga Michelle harus melipat kedua tangannya agar dapat masuk lebih dalam. Jika tanah di atasnya longsor dan menutup lubang itu, maka sudah pasti ia akan mati terkubur di dalam air, pikir Michelle. Kolam itu tidak sedangkal yang dipikirkan Michelle dari luar.
Ia sudah masuk sepenuhnya ke dalam lubang itu dan berusaha membuka kedua matanya di dalam air. Dedaunan kering yang telah tenggelam di sekelilingnya seperti dinding. Michelle langsung menunduk memandang ke bawah mencari barang yang diperintahkan Birk. Terlalu gelap hingga ia harus menundukkan lebih dalam lagi tubuhnya. Napasnya berjuang untuk bertahan di dalam dinginnya air dan kedalaman itu. Michelle masih belum ingin mati konyol di kolam itu.
Kini posisinya telah terbalik hingga kepalanya dengan leluasa mencari ke dasar. Michelle menyapukan beberapa tumpukan daun-daun kekuningan itu untuk melihat tanah di bawahnya. Dengan cepat, Michelle memutari bagian dasar lubang itu yang berbentuk bulat. Tangannya yang semakin menegang dan kaku, berusaha untuk menyapukan semua dedaunan di dasarnya. Michelle berlomba dengan waktu karena napasnya semakin sesak dan ia telah membuang separuh udara di dalam paru-parunya.
Jari-jari Michelle menyentuh sesuatu yang keras. Ia berusaha membuka matanya lebih lebar. Papan kayu kecil berwarna cokelat mengilap yang berhasil dilihatnya. Ia menggaruk tepian papan kayu itu agar ia dapat mengangkatnya. Ternyata sebuah kotak kecil. Michelle langsung menarik kotak itu dan berhasil mendapatkannya. Ia dengan terburu-buru berenang kembali ke atas. Tiba-tiba, Michelle merasa ada sesuatu yang menghambatnya untuk naik ke atas. Diliriknya kakinya dan ternyata ia tersangkut ranting-ranting hingga kesulitan untuk melepaskan diri. Saat Michelle berusaha melepaskan ranting-ranting itu tanpa menjatuhkan kotak kayu yang dibawanya, ia tersentak karena mendengar kembali suara yang memanggilnya ke dalam hutan sebelumnya.
“Kau mendapatkannya ! Larilah ! Kembali cepat sebelum terlambat !” suara gadis misterius itu bergema di dalam air itu.
Michelle langsung menghentakkan kakinya dengan kaku dan berhasil lepas. Ia menengadah ke atas dan melihat bahwa tanah-tanah di sekelilingnya telah berubah menjadi lebih lunak dan mulai berjatuhan. Ia akan terkubur di dalam kolam jika tidak dapat keluar dengan cepat ! Michelle menghentakkan kakinya lebih keras untuk membawanya naik ke atas. Beberapa tanah menggumpal mengenai wajahnya hingga ia dengan mata tertutup rapat berusaha naik.
Lubang yang sebelumnya dilaluinya, semakin tertutup oleh beberapa bongkahan tanah lunak. Michelle sampai harus menggali dengan beringas agar dapat menyingkirkan bongkahan itu hingga ia bisa naik. Gelembung-gelembung udara semakin banyak keluar dari paru-parunya. Ia berhasil membongkar bongkahan itu dan dengan cepat berenang naik melewati lubang yang semakin sempit itu. Lengannya tergores disana-sini oleh ranting-ranting di sekitar lubang. Michelle sudah tidak memperdulikan rasa sakitnya lagi dan tetap berusaha keluar dari kolam itu.
Gadis itu telah sampai di permukaan kolam. Ia menghirup napas dalam-dalam setelah bertahan di dalam air begitu lama. Birk mencondongkan tubuhnya dengan bersemangat untuk melihat Michelle.
“Kau berhasil mendapatkannya ?” tanyanya cepat. Michelle tidak menjawab pertanyaan Birk dan berenang ke tepi kolam. Ia menggigil kedinginan setelah keluar dari dalam air. Giginya bergemeletuk karena angin dingin langsung menerpanya.
“Astaga, Michelle. Kau jadi mengerikan,” komentar Birk setelah melihat Michelle yang keluar dari kolam. Pakaiannya sedikit sobek pada bagian lengan dan banyak bekas tanah. Tangannya tergores dimana-mana. Kakinya penuh dengan lumpur. Michelle langsung mendelik padanya.
“Gara-gara kau ! Aku tidak akan menyangka kalau aku harus berjuang keluar dari lubang itu untuk mengambil kotak ini !” katanya sewot dengan mengacungkan kotak kayu kecil yang dibawanya. Mata Birk semakin membesar memandang kotak itu.
“Aku hampir mati terkubur di dalam sana tahu !” Michelle dengan sebal meraih ranselnya dan mengambil mantel panjang untuk membungkus tubuhnya yang kedinginan.
“Kau berhasil mendapatkannya ???” Birk tidak melepaskan pandangannya dari kotak kayu itu dengan pandangan takjub.
“Tentu saja. Dengan susah payah,” jawab Michelle ketus. Ia masih sibuk berusaha mengeringkan rambutnya dengan syal.
“Bukalah kotak itu. Itu milikmu sekarang,” kata Birk dengan tenang.
“Kau bilang isinya sangat berharga, bukan ? Kalau ternyata tidak demikian, bersiap saja aku akan menebangmu, Birk,” ancam Michelle.
Gadis itu mengambil kotak kayu itu dari tanah dan mengamati sekelilingnya sebelum membukanya. Birk hanya mengamati apa yang dilakukan Michelle tanpa berusaha menginterupsinya.
“Ini tidak berbahaya, 'kan ?” tanya Michelle dengan ragu-ragu. Birk hanya menggeleng pasti.
Pelan-pelan, Michelle membuka kaitnya yang terbuat dari kuningan. Sebuah sinar yang sangat menyilaukan mata membuat Michelle harus mengalihkan pandangannya dari kotak itu. Ia berpikir mungkin saja itu kilau dari permata dan mencoba untuk melihat cahaya itu kembali. Tiba-tiba, cahaya itu berpendar keluar dari kotak itu dan terbang mengelilingi Birk. Birk tampak tidak terkejut sama sekali. Ia dengan tenang hanya mengawasi cahaya itu. Michelle mengernyitkan keningnya dan berusaha melihat ke mana cahaya itu terbang ke sana kemari.
“Sudah lama tidak bertemu, Birk.” sebuah suara mungil berasal dari cahaya itu hingga Michelle harus menajamkan pendengarannya untuk meyakinkan dirinya bahwa cahaya itu bisa berbicara.
“Ya. Hello Lady Fixy. Sudah terlalu lama kau terkurung di dalam sana, bukan ?” tanya Birk.
“Satu abad. Aku sudah terlalu lama menunggu di dalam kolam itu.” jawab cahaya yang bernama Lady Fixy. “Ah, sebelum kita melanjutkan pembicaraan kita, akan lebih sopan kalau kau menunjukkan wujudmu pada tamu kita. 'Yang Terpilih' telah datang.” kata Birk mengingatkan.
“Oh, maafkan aku.” Fixy langsung terbang kembali ke arah Michelle.
Secercah cahaya berpendar berwarna-warni meletup dari arah Fixy. Michelle sampai harus melebarkan bola matanya untuk melihat lebih jelas. Cahaya tadi meredup dan Michelle dapat melihat seorang gadis kecil dengan sayap seperti peri kecil. Fixy mengenakan pakaian terusan yang indah berwarna merah hati dengan selendang berwarna emas. Rambutnya tergulung rapi dan berwarna senada dengan selendangnya. Ia mengerjapkan bulu matanya yang lentik pada Michelle.
“Perkenalkan. Fixy the Lady of Wind.” katanya dengan anggun sambil mengangkat sedikit gaunnya dan menunduk hormat. Michelle semakin mengernyit memandang peri kecil itu. Matanya hampir juling sekarang karena Fixy terbang di antara kedua matanya.
“Lady of Wind ?” herannya. Lady Fixy mengangguk dengan tersenyum. Michelle langsung memandang Birk. Ia berjalan ke arah Birk masih dengan pandangan keheranan.
“Apa gadis kecil seperti itu bisa dikatakan 'lady' ?” bisiknya pada Birk. Birk tertawa keras.
“Lady Fixy, Michelle meragukan apakah anda layak dipanggil 'lady' dengan ukuran anda yang seperti itu.” kata Birk tanpa berbasa-basi pada Fixy hingga Michelle memelototi Birk karena tidak percaya bahwa Birk akan menanyakannya secara langsung.
Lady Fixy sama sekali tidak tersinggung dengan pertanyaan itu. Ia tersenyum manis dan memejamkan mata. Cahaya berpendar kembali mengitarinya hingga mereka sulit untuk melihat Fixy. Cahaya itu semakin lama semakin besar dan semakin menyilaukan. Dalam kilauan terakhir, cahaya itu menghilang dan tercenganglah Michelle melihat apa yang ada di depannya.
Seorang gadis yang sangat cantik jelita dengan pakaian yang lebih mewah dari yang dikenakan Fixy sebelumnya, melayang di depan Michelle. Rambutnya tidak tergulung seperti Fixy, melainkan tergerai halus dan berkilauan. Michelle sampai terpana karena tidak pernah melihat wanita secantik itu. Sebagai seorang remaja perempuan, Michelle mengakui bahwa ia sangat iri dengan keanggunan dan kecantikan Lady Fixy. Mulutnya sampai terganga melihat Lady Fixy.
“Ada apa nona ?” tanyanya dengan halus. Suaranya juga sudah tidak sama dengan peri kecil tadi. Melainkan suara yang didengarnya saat di hutan tadi.
“Ja...jadi itu adalah anda ? Yang memanggilku saat di dalam hutan adalah anda ?” kaget Michelle. Lady Fixy tersenyum dan mengangguk. “Aku sudah menunggu anda lumayan lama.” katanya. Birk berdeham keras hingga Michelle terlonjak kaget dan menoleh ke belakang.
“Kurasa Lady Fixy dapat menjelaskan padamu tentang kekuatan yang akan kau dapatkan.” Birk mengingatkan mereka hingga Michelle tersentak dan sadar kembali tujuannya kemari.