Bagi seorang Haura yang memiliki masa lalu menyakitkan, hal yang paling dibutuhkannya hanyalah pelukan. Pelukan yang lebih pelukan dari pelukan.
Haura melangkahkan kakinya ke toilet dengan gontai, dia beruntung karena laki-laki itu tidak melihat keberadaannya, namun tetap saja, dia tidak merasa beruntung satu sekolah dengan laki-laki yang berhasil menghancurkan dirinya. Menjatuhkannya sampai ke dalam-dalamnya.
Kenapa ada dia di sekolah ini sih? – batinnya.
Keringet dingin masih dia rasakan. Dia merasa bingung harus berbuat apa. Namun, satu yang harus dia lakukan. Dia harus mengatakan kepada orang tuanya kalau dia ingin pindah sekolah lagi.
Haura membasuh wajahnya hingga pinggiran rambut di wajahnya terasa begitu basah, dia merasa ketakutan saat ini.
Lalu, Haura pun langsung berjalan menuju kantor guru. Dia ingin mengadukan laki-laki itu. Dia ingin membuat laki-laki yang telah membuat hidupnya hancur segera dikeluarkan oleh sekolah.
Haura melangkahkan kakinya hingga dia sampai di depan wali kelasnya. Dia tidak mengenal banyak guru, namun dia sangat mengenal wali kelasnya, jadi dia berharap kalau wali kelasnya mau membantu dirinya.
“Bu Nur …” panggil Haura sambil meremas tangannya.
“Ada apa, Haura?” tanya Bu Nur, wali kelas Haura.
Haura semakin meremas tangannya. Dia mulai bingung dengan apa yang hendak dikatakannya. Dia berpikir kalau dirinya sampai mengatakan hal yang sebenarnya kepada wali kelasnya itu, sama saja dengan membuka luka lama.
“Apa kamu sakit, Nak?” tanya Bu Nur yang melihat Haura berkeringat.
Haura menganggukkan kepalanya, “Boleh saya izin pulang, Bu?” tanya Haura.
Apa yang dilontarkannya tersebut tentu sangat berbeda dengan apa yang ada di dalam kepalanya.
Bu Nur memegangi dahi Haura dan memegang tangan Haura yang berkeringat, lalu beliau pun menganggukkan kepala mengizinkan Haura untuk pulang. “Iya, tidak apa-apa. Kamu pulang naik apa, Nak?” tanya Bu Nur dengan sangat perhatian.
“Naik ojek online, Bu,” jawab Haura.
“Biar ibu antar,” kata Bu Nur.
“Tidak udah, Bu. Saya bisa sendiri,” kata Haura.
“Kamu serius?” tanya Bu Nur.
Haura mengangukkan kepalanya dengan perasaan yang sangat yakin, “Iya, Bu,” kata Haura.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bu Nur.
“Terima kasih, Bu,” jawab Haura.
Bu Nur hanya bisa menganggukkan kepalanya. Dan membuatkan surat izin untuk Haura karena kebetulan pada hari itu, orang yang tengah piket adalah beliau jadi beliau memutuskan untuk membuat surat izin sendiri.
Haura memutuskan untuk berjalan menuju gerbang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, takut kalau laki-laki itu melihat dirinya. Semakin dia memikirkan pertemuannya itu, dia semakin ketakutan, tangannya dingin, dan kakinya tak terasa menjadi cepat.
Haura memberikan surat izin itu kepada security dan security pun mengizinkan Haura untuk keluar gerbang.
Sesampainya di luar gerbang, Haura hampir saja terjatuh kalau saja dia menyanggahkan tangannya di tembok.
“Lo nggakpapa?” tanya seseorang yang tiba-tiba datang.
Haura mendongak dan mendapati wajah laki-laki yang sejak awal masuk sekolah cukup menyita perhatiannya. Laki-laki itu sendirian.
“Nggakpapa,” kata Haura.
Haura pun langsung meninggalkan laki-laki tersebut, dan laki-laki tersebut hanya bisa memandangi Haura dengan tatapan bingung.
Setelah menjauh dari sekolahnya, dia pun langsung mengambil ponselnya dan langsung memesan ojek online. Lalu setelah menunggu, tak lama kemudian, ojek online tersebut pun datang, lalu Haura pun langsung naik.
Sesampainya di rumah, Haura langsung pergi ke kamar dan mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Hal ini membuat ibunya Haura merasa khawatir.
***
Di dalam kamar, Haura menangis sendirian, dia merasa semua yang dilakukannya sia-sia. Usahanya untuk mengubur dalam-dalam kejadian paling menyesakkan itu benar-benar memberikan cubitan pada mentalnya yang rapuh.
Malam pun datang, sejak Haura datang, ibunya sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar Haura menanyakan keadaan Haura dan mengajak Haura untuk makan namun Haura tidak mau menyambut apa yang dikatakan oleh ibunya. Dia terus menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.
Gue harus minta pindah dari sekolah itu. -batinnya.
Setelah pergulatan panjang dirinya melawan dirinya sendiri, akhirnya Haura memutuskan untuk keluar dari kamar dan mencari kedua orang tuanya untuk mengatakan maksudnya untuk meminta pindah sekolah.
“Pa, Mama sangat khawatir dengan Haura,” kata Ibunya.
Haura merapatkan dirinya ke tembok tangga dan mencoba mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Ibu dan Ayahnya. Dia merasa penasaran dengan obrolan kedua orang tuanya itu.
“Khawatir bagaimana?” tanya Ayahnya Haura yang baru saja pulang dari kantor.
“Dia tadi siang pulang, Pa. Dia terlihat menangis dan masuk kamar dan sampai saat ini dia belum keluar dari kamarnya,” kata Ibunya.
“Dia ada masalah?” tanya Ayahnya Haura.
“Sepertinya seperti itu, Pa. Mama jadi takut. Apa sebaiknya dia kita pindahkan ke sekolah lain?” tanya Ibunya Haura.
Haura menahan nafas sebentar, apa yang hendak dikatakannya ternyata sudah sampai di telinga ibunya meski dia tidak mengatakannya secara langsung.
“Ma, mama tau kan bagaimana sulitnya Papa cari sekolah untuk dia? Semua sekolah tidak mau menerimanya. Hanya sekolah itu saja yang kebetulan mau menerima anak kita karena kepala sekolahnya teman papa,” kata Ayahnya Haura.
Haura yang mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya langsung meremas jarinya. Dia tidak tahu kalau ternyata perjuangn ayahnya bisa sebegitu besarnya untuk mencarikan dirinya sekolah. Sekolah-sekolah tidak ada yang mau menerima siswa yang bermasalah.
“Hampir semua sekolah sudah papa datangi, Ma. Kita tidak bisa memindahkan Haura,” kata Ayahnya Haura.
“Mama benar-benar tidak tega melihat dia menangis, Pa,” kata Ibunya Haura.
“Baiklah, nanti papa akan mencarikan sekolah untuk Haura bila memang Haura ingin meminta pindah sekolah,” kata Ayahnya Haura.
“Iya, Pa. Itu adalah pilihan terbaik,” kata Ibunya Haura.
“Apa pindah sekolah akan membuat dia berubah, Ma? Bagaimana kalau dia tidak bisa menyesuaikan diri di sekolah barunya lagi?” tanya Ayah Haura.
Ibunya Haura terdiam. Beliau juga cukup bingung dengan keadaan ini. Beliau tentu tidak bisa menjamin kalau anaknya tidak akan melakukan hal serupa.
“Apa sebaiknya anak kita tidak usah sekolah saja, Pa?” tanya Ibunya Haura.
Haura mendongak dan mengintip raut wajah ibunya. Dia memang tidak betah di sekolahnya yang baru namun dia masih ingin terus sekolah, dia ingin meraih cita-citanya. Dunia benar-benar kejam kepada Haura, dia tidak tahu apa yang telah dia perbuat hingga dia merasa tengah dihancurkan kembali oleh laki-laki itu.
“Bagaimana dengan masa depannya, Ma?” tanya Ayahnya Haura.
“Ntahlah, dia anak perempuan, jadi mama rasa tidak masalah kalau dia tidak sekolah,” kata Ibunya Haura.
Tidak mama … tidak seperti itu. -batin Haura.
“Mungkin sekarang kita masih bisa berada di sampingnya, tapi kita tidak bisa berada di sisinya untuk selamanya, Ma. Papa hanya ingin dia bisa survive kedepannya. Dengan atau tanpa papa,” kata Ayahnya Haura.
“Papa, kenapa papa bicara seperti itu?” tanya Ibunya Haura.
“Mama tau kan bagaimana penyakit yang papa derita? Papa merasa tidak yakin dengan umur papa sendiri,” kata ayahnya.
Haura pun langsung memutuskan untuk berlari ke atas menuju kamarnya. Dia tidak menyangka ternyata selama ini ayahnya memiliki penyakit yang dia sendiri tidak mengetahui apa. Namun, jika mendengar peercakapan antara ayah dan ibunya, Haura merasa kalau penyakit itu tidak main-main. Haura merasa menyesal saat ini, dia menyesal karena selama ini dia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang tuanya.
Haura merasakan dirinya merasakan perasaan bersalah yang begitu besar. Dia menganggap kalau dirinya hanyalah seoarng anak egois yang selalu membuat orang tuanya menderita. Dia bahkan merasa kalau hidupnya tidak berguna dan selalu menyusahkan.
Apa yang harus aku lakukan? -batinnya.
Gejolak perasaan sedih menyeruak dalam dadanya hingga membuat dadanya merasakan sakit yang luar biasa.
Haura terus memikirkan tentang keinginannya untuk pindah dari sekolah. Dia pun kini merasa kalau dirinya tidak bisa menghindar dan tidak bisa lari dari kenyataan. Sebab, waktu seakan menunjukkan kepada dirinya bahwa semakin dia lari, dia akan semakin dihantui oleh masa lalu.
Kalau Haura sampai memutuskan untuk pindah sekolah, Haura merasa kalau dirinya kalah dan semua yang dia dan orang tuanya perjuangkan akan sia-sia saja.
Aku harus bangkit. Aku tidak bisa lari begitu saja dari dunia yang menyebalkan ini. - Batin Haura.
Haura pun masuk ke kamar mandi dan mencuci wajahnya agar terlihat lebih segar. Lalu, dia memandangi wajahnya sebentar di cermin lalu dia langsung pergi ke ruang keluarga.
"Mama ... Papa ..." sapa Haura.
Haura sudah membulatkan tekadnya untuk mengatasi masalahnya sendiri. Dia tidak mau lagi menyusahkan orang tuanya yang sudah berjuang masti-matian untuk mencarikan tempat untuk dia bersekolah.
"Nak ..." sapa Ayah dan Ibu Haura. Mereka bahkan sampai berdiri dan berjalan menghampiri Haura.
Ayah Haura memeluk anaknya dengan perasaan sayang, sedangkan ibunya hanya bisa tersenyum dan binar matanya mulai terlihat sempurna. Pasalnya, sebelum ini beliau sangat memikirkan anaknya yang pulang sekolah lebih awal dan tidak mau keluar kamar sejak pulang sekolah.
Ibu Haura sebenarnya bisa saja meminta bantuan dari tetangga agar bisa membuka pintu Haura secara paksa, namun beliau sangat ingat pesan dari dokter yang menangani Haura.
Anaknya bukan lagi seperti yang dulu. Anaknya sudah mulai sedikit berubah dan ketika itu terjadi, beliau tidak diperkenankan untuk langsung panik dan membuat anaknya menjadi tidka tenang. Terkadang anaknya perlu waktu untuk sekadar menenangkan diri.
"Ada apa, nak? Kata mama kamu menangis seharian di kamar?" tanya Ayah Haura hati-hati.
Haura tersenyum dan menggelengkan kepalnya, "Aku tidak menangis, Papa. Aku hanya merasa pusing sehingga aku meminta kepada wali kelas untuk pulang. Aku takut dimarahi mama jadi aku memutuskan untuk mengunci pintu di dalam kamar." kata Haura sambil nyengir lebar.
Ibunya Haura yang mendengar anaknya mengatakan hal tersebut hanya terkekeh, beliau memilih untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh anaknya. Walaupun sebenarnya, naluri keibuan yang ada di dalam kepalanya terus menyangkal dan menganggap kalau Haura tengah menutupi sesuatu.
"Apa mama segalak itu?" tanya Ayah Haura.
Haura menganggukkan kepalanya.
"Ayolah, Pa. Jika dilihat dari bagaimana anakmu tersenyum saja dia tengah mengada-ada." kata Ibunya Haura tidak terima.
Haura terkekeh geli mendengar ibunya yang tidak mau disalahkan. "Aku bercanda, Papa." kata Haura.
Lalu Ayah dan Ibu Haura pun tertawa, Haura pun ikut tertawa setelah melihat kedua orang tuanya tertawa.
"Sekarang ayo kita makan malam bersama. Papa dan Haura pasti lapar kan? Mama sudah memasak banyak masakan hari ini." kata Ibunya Haura.
"Asyik!" seru Haura.
Haura dan kedua orang tuanya pun langsung pergi ke ruang makan dan makan bersama. Haura dengan mudah menyembunyikan rasa sedihnya. Dia benar-benar pandai dalam menyembunyikan perasaannya. Hingga setelah selesai makan, orang tua Haura kembali menanyakan mengenai apa yang terjadi.
“Sebenarnya ada apa, Nak?” tanya Ayahnya.
“Nggakpapa, Ma. Mungkin aku hanya butuh penyesuaian di sekolah baru,” jawab Haura
“Apa ada yang ganggu Haura di sekolah?” tanya Ayah Haura.
Haura tesenyum dan menggeleng, “Nggak ada kok, Pa. Papa tenang aja ya,” kata Haura.
“Kalau memang kamu tidak betah di sekolah yang baru, kami tidak keberatan untuk mencari sekolah yang baru,” kata Ayahnya.
Haura tersenyum. Dia merasa sangat beruntung karena memiliki orang tua yang begitu menyayanginya. Haura menggeleng lagi, “Nggakpapa, Papa. Kalau aku mau pindah aku akan bilang sendiri sama Papa dan Mama yaaa,” kata Haura.
Ayah dan Ibu Haura pun merasa lega setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Haura.
Seusai makan malam, Haura pun kembali ke kamarnya dan mulai bergulat kembali dengan pikiran-pikirannya, lalu untuk mengalihkan apa yang ada di dalam kepalanya, akhirnya Haura memilih untuk mengambil ponselnya.
Beberapa pesan masuk di sana dan semua pesan berasal dari temen-teman kelasnya. Ntahlah, padahal dia baru memberikan nomor ponselnya kepada Indah saja.
Haura, lo di mana? Kelas mau mulai
Haura, gue cari-cari kok gak ada?
Haura, kata Bu Nur lo sakit ya? Kok gak bilang gue? Guekan bisa nganterin.
Haura, cepet sembuh ya. Gue khawatir.
Haura, lo udah sampe rumah belum?
Haura rumah lo di mana? Besok gue mau jengukin lo.
Semua pesan-pesan itu dari indah, teman sebangkunya. Haura pun tersenyum setelah melihat Indah yang begitu perhatian kepada dirinya, setidaknya meski dia harus bertemu dengan serpihan kisah lalunya membuat kepalanya sakit namun dia tetap memiliki teman yang sangat baik kepada dirinya.
Haura pun langsung mengetikkan sesuatu. Rasanya tidak adil jika dia hanya membaca pesan tersebut dan menyampingkan rasa khawatir yang ada pada diri Indah.
Maaf ya tadi gue pusing banget, jadi gue gak bisa ngabarin lo. Besok gue masuk kok. Tunggu gue di sekolah ya. Makasih udah nanyain.
Haura pun mengirim pesan itu. Lalu membalas pesan dari beberapa teman-temannya yang juga menanyakan kabarnya.
Mereka perhatian banget sama gue. -batin Haura.
Kini dia merasa mantap untuk melanjutkan sekolahnya. Dia merasa keberadaannya memang di hargai dan banyak yang menyayanginya. Meski hanya sebuah pertanyaan sederhana mengenai kabar Haura. Namun, tanpa sadar, pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat Haura menjadi semangat dalam menjalani hidupnya.
“Gue nggak boleh ngehindar lagi. Gue harus hadepin semua itu. Gue gak mau terpuruk sama masa lalu,” gumam Haura.
Dia menghembuskan nafasnya untuk menetralkan dirinya. Kini tekatnya sudah bulat dan dia tidak ragu lagi untuk datang ke sekolah.