Vania masih berfikir keras ketika memasuki kamar rumah sakit yang lebih mirip dengan kamar hotel tersebut, karena seingatnya ia belum sempat registrasi.
Lamunannya buyar seketika, setelah sebuah suara menegurnya.
“ Apa yang kamu lamunkan,hmm? “
Vania tersenyum dan menjawab “ Ahh. Tidak.! Saya sedang mikir, seinget saya tadi, saya belum sempat registrasi mengapa sudah dibawa keruangan ini? “
Melihat mimik kebingungan Vania membuat si brewok justru tersenyum dan memilih tak menjawab pertanyaan Vania dia justru meminta berkenalan dengan sang penolongnya itu
“ Ohh, ya! kita belum sempat berkenalan. Saya Dendi Sanjaya...” Ujarnya seraya mengulurkan tangannya kearah Vania yang terlihat sedikit ragu untuk menerima uluran tangan sang korban.
“ Vania Anggia...” Jawab Vania seraya menyodorkan tangan mungilnya yang terdapat noda darah disana.
Sejenak pria itu tertegun melihat Vania yang sampai lupa mencuci tangannya karena terlalu fokus kepadanya, sehingga masih meninggalkan bercak darah.
“ Umur kamu berapa Van. Aku panggil nama saja ya, anggap kita sudah akrab, lagian kamu Dewi penolongku...” Dendi tak henti – hentinya menatap Vania yang terlihat masih sedikit kurang nyaman dengan situasi itu.
Dari sana Dendi menyadari bahwa Vania tidak terbiasa intens dengan pria, dan Dendi memastikan bahwa Vania adalah wanita baik-baik hingga membuatnya memiliki rasa penasaran terhadap wanita penolong di hadapannya itu.
“ Hmm...berapa yah? “ Vania menjawab seraya menatap langit- langit kamar mewah rumah sakit itu seraya menghitung jari dan berkomat kamit.
“ 33 tahun tepatnya..” Lanjut Vania dengan mimik menggemaskan karena ekspresinya, membuat Dendi ternganga karena tak percaya jika wanita muda di hadapannya ini telah memiliki umur berkepala tiga.
“ Masak sih kamu sudah kepala 3 Van. Aku kira kamu baru tamat kuliah malah. Coba tebak umurku berapa kalau kamu tahu? “
Gelak tawa Dendi seolah lupa bahwa ia sedang sakit dan menjadi korban kecelakaan lalu lintas beberapa jam yang lalu.
“ Hmm. Berapa yah. Aku gak bisa nebak...”
Vania terlihat bingung hendak menebak umur Dendi karena dia takut jawabannya salah dan membuat orang yang baru di kenalnya tersinggung karena jawabannya.
Dia menggigit jari kukunya seperti anak kecil yang salah menjawab pertanyaan dari guru, sungguh terlihat sangat menggemaskan hingga membuat Dendi tak mampu menahan gelak tawa.
“ Kamu pasti takut menebaknya kan? Agkhhhhhh...... “ Tawanya di sertai rintihan menahan sakit.
Sontak membuat Vania terkejut dan langsung berdiri mendekat kearah Dendi dan bertanya “ Apa yang sakit?” tanya Vania panik.
“ Ohh, tidak. Aku tidak apa-apa Van..” Jawab Dendi seraya memegang dadanya yang terasa nyeri sembari menggernyitkan dahi.
Dia bertanya-tanya dalam hati mengapa dia tiba-tiba merasa akrab dengan Vania yang notabene orang baru baginya, bahkan bertemu pun baru pertama kali, tapi entah mengapa untuk pertama kalinya dia merasa nyaman dengan orang baru, bahkan sampai ia tadi sempat tertawa terbahak – bahak.
Hal ini berbeda dengan Dendi yang kemarin adalah dia yang kehilangan arah setelah kematian sang istri tercinta, sehingga dia melampiaskannya kebanyak wanita untuk menepis rasa sepi dan sakitnya kehilangan setelah di tinggal orang yang paling dia cintai.
Hmm, mungkinkah ini adalah bagian dari rasa hutang budi atau bersyukur pada sosok Vania karena telah menyelamatkannya dari maut, begitulah pikirnya.
Ditengah lamunanya tiba-tiba pintu terbuka, Seorang wanita cantik nan sexi berlari kencang menuju dimana Dendi terbaring lalu memeluknya dengan erat seraya menangis sesenggukan.
“ Syukurlah kamu masih hidup sayang. Kalau tidak apa jadinya aku tanpamu, Kenapa kamu tidak menghubungi aku sayang? Aku justru tahu kabar kamu dari Kevin...” Ujarnya memeluk Dendi dengan suara histeris walau air mata tampak sedikit mengalir di pipi mulusnya dibanding suara raungannya yang memenuhi ruangan presiden suite itu.
Dendi melepaskan pelukan itu karena merasa nyeri dan tidak enak terhadap Vania yang kebetulan berada di ruangan itu.
“ Sudah. Yang terpenting aku sudah selamat, lepaskan. Aku kesakitan ketimpa tubuhmu Della...”
Della terlihat cemberut dengan sikap Dendi terhadapnya, lalu mengalihkan pandangannya, menatap tajam kearah Vania yang tengah duduk terdiam memandangi lantai kamar rumah sakit. Merasa kaku diantara kemesraan orang lain.
“ Siapa kamu?! Kenapa kamu ada disini dampingi Dendi, bahkan sebelum aku? ada hubungan apa kalian!!“ Ucapnya dengan nada sengit seraya berkacak pinggang menghadap Vania yang terkejut terhadap suara wanita yang tidak disangka ternyata segalak itu, sangat berbeda dengan paras cantiknya yang terlihat anggun dan berkelas.
Dengan suara bergetar Vania menjawab “ S-sa..saya Vania. Yang membawa pak Dendi kerumah sakit ini bu. Mma..maaf bu, saya masih disini menunggu keluarga bapak datang. Tapi karena ibu sudah disini, saya permisi dulu pak,bu, karena saya harus bekerja. Semoga bapak lekas sembuh ya...” Ujar Vania seraya membungkuk lalu melangkahkan kaki menjauh dari bed dimana Dendi terbaring menuju pintu keluar kamar mewah bak kamar hotel bintang 5 itu.
Tapi belum sampai 5 langkah rambutnya sudah di tarik oleh Della, dengan mata melotot dan suara lantang Della berteriak “ Hehh!! Kamu mau bohongi saya ya? Kamu pikir saya bodoh apa? Jangan – jangan kamu yang sudah nabrak mas Dendi dan sekarang berlagak jadi malaikat penolong bawain mas Dendi kerumah sakit dan sekarang mau melarikan diri?! Tampang murahan seperti kamu mana mungkin mau menolong orang tanoa ada niat jahat.! Ngaku kamu. Mau duit berapa kamu wanita murahan..!!! “
PLAAAAAK..!!!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Vania, dengan menahan air mata yang hendak meluap di kelopak matanya Vana memegang pipinya, ia menggigit bibirnya perih hatinya mendapat perlakukan kasar meski posisinya adalah seorang penolong.
Sontak Vania di kejutakan dengan suara yang masih terdengar lemah namun sangat tegas. Ia melihat Dendi Sanjaya berdiri di lantai samping bed pasien lalu menarik tangan Della hingga wanita cantik berkulit mulus dan bertubuh sintal itu jatuh ke lantai “ Apa yang kamu lakukan Della.??!! Berani nya kamu menyentuhnya.!! “ Teriak Dendi sembari menahan nyeri di dadanya.
Della pun menangis sesenggukan, dan Dendi menjadi salah tingkah karena merasa bersalah. Hanya saja di hati kecilnya ia tak membenarkan perbuatan Della yang sangat menjatuhkan harga diri Vania yang sudah jelas merupakan Dewi penolong baginya.
Disaat Dendi merasa putus asa menghadapi Della, disaat bersamaan Vania berpamitan sambil terus menahan air mata yang sedari tadi sudah menumpuk di pelupuk matanya. Ada rasa sedih di hati Vania ia merasa apakah nasib janda miskin selamanya seperti ini? Apakah sehina itu hidupnya sehingga membuat seorang wanita yang baru di temuinya bahkan mengatakan jika dirinya adalah w************n. Ohh TUHAN kuatkan aku..... rintihnya dalam hati.
Lalu Vania mengepalkan kedua tangannya seraya menarik nafas menguatkan hati dan menatap Dendi dengan sendu sembari berkata “ Pak Dendi. Saya mohon pamit dulu, maat sebelumnya “Ucapnya seraya berlari menuju pintu ruangan yang tiba – tiba bak neraka baginya. Dan Dendi pun hendak mencegahnya, akan tetapi Vania berlari sangat kencang. Sedangkan Dendi tertath – tatih selangkah demi selangkah, karena kondisi sebenarnya harus istirahat total sampai menunggu pemeriksaan lebih lanjut. “ Van. Vaniaaaa....tunggu.!! “ Kejar Dendi sambil menahan sakit di seluruh badannya dan dadanya semakin nyeri. Tak terasa darah telah mengucur dari balutan perban d kakinya. Tetapi Vania yang sudah terlanjut menaiki lift yang membawanya turun menuju parkiran sehingga tidak terkejar oleh Dendi. Dan Dendi memutuskan untuk memanggil perawan jaga dengan memencet bel yang ada di dekat kepala nya.
Tak lama berselang perawat dan seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan Dendi. Mereka terlihat mengganti perban yang sudah berdarah.
Disaat bersamaan Vania yang sudah sampai di parkiran rumah sakit bergegas mencari keberadaan motornya tadi. Setelah melihat motornya terparkir Vania segera menaiki dan melajukan motor yamaha mio berwarna putih kesayangannya itu.
Setelah sampai di jalan raya, tangisnya langsung meledak hingga tersedu – sedu dan bahunya bergoyang, ia tak lagi menghiraukan tatapan aneh pengendara lain.
Sesampainya di kantor, ia sesegera mungkin memarkirkan kendaraan satu – satunya yang belum tergadai. Ia terus berjalan menuju lanta 5 ruangannya menggunakan lift.
Jam menunjuukan pukul 13.30 WIB, dan karyawan lainnya baru saja pulang dari istirahat makan siang di luar kantor. Sedangkan Vania bahkan sarapan pun belum sempat, karena ia biasa sarapan di kantornya dengan menyeduh teh panas dan roti tawar yang ia buat sendiri dengan menggunakan mesin pemanggang yang tersedia di pantry kantor tempatnya bekerja.
Vania langsung menghidupkan komputer di meja nya dan mulai melakukan aktivitasnya tanpa menghiraukan perutnya yang butuh perhatian.