Accident
BRAAAK!!
Sebuah kecelakaan berjarak sekitar sepuluh meter, terjadi tepat di depan matannya. Sontak membuat lamunanya buyar, sikap santai mengendarai sepeda motor, sembari sesekali menghirup harum aroma hujan yang masih membekas, dengan jalanan masih terlihat menggenang basah karena guyurannya, menenangkan otaknya pagi ini dalam mengendarai motornya sembari berdendang ceria. Wajahnya berubah tegang, dengan mata terbelak lebar, dengan suara tersekat di tenggorokan dan tangan menggigil, hingga memaksanya mengurangi kecepatan laju motornya
Ketakutan terlukis dengan jelas di wajah cantiknya, hingga akhirnya reflex naluri manusianya bekerja dengan baik, meski takut tapi dirinya tak dapat membiarkan korban kecelakaan pagi itu tergeleak begitu saja di tepi jalan, tanpa ada seorangpun yang tergerak hatinya untuk menepikan kendaraan mereka dan menolong. Entah mungkin karena hari masih pagi, sehingga mereka mengejar waktu untuk segera memasuki kantor,atau memang akhir-akhir ini jiwa kemanusiaan telah mulai berkurang, rasa empaty telah pergi yang ada hanyalah ego diri, merasa mampu melakukan semuanya sendiri hingga tak membutuhkan orang lain, sehingga timbul niat hati membatasi dalam berinteraksi, atau memang nasib korban kecelakaan yang memang sedang tak berpihak padanya? Terbukti mobil yang menabrak telah melesat jauh, meninggalkan korban dengan tanpa peduli, akankah korban masih dapat tertolong atau memang harus menghembuskan nafasnya dan menjadi tanda berakhir nyawa dan kehidupannya di dunia. Miris, tapi begitulah sebagian sikap orang dengan moral tipis dan kehilangan tanggung jawab terlebih rasa berdosanya di hadapan Tuhan.
Vania menepikan motornya lalu meraih kunci, dia bergegas berjalan kearah pria yang tergelepar di pinggir jalan.
Degg!
Jantungnya berdegub kencang manakala Vania menatap dari dekat korban kecelakaan yang tergeletak dengan darah segar mengalir dari pelipis mata pria itu, matanya mendadak gelap sejenak, hingga akhirnya kembali mampu mengusai diri, dan segera mengecek korban yang sudah tak sadarkan diri.
Tak ingin usahanya sia-sia, dia segera merogoh tas dan meraih ponsel, tangannya dengan jeli mencari informasi nomor telpon kepolisian melalui Google. Setelah menghubungi polisi dirinya segera mengecek keadaan korban, setelah memastikan korban masih memiliki denyut nadi dan bernafas, dirinya langsung berdiri dan mencari taxi.
Karena aktivitas pagi yang tergolong sibuk, mencari taxi lumayan sulit, beberapa taxi terbukti mengabaikan lambaian tangannya, hingga akhirnya sebuah taxi bersedia menepikan taxinya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Vania segera bernegoisasi kepada supir taxi, agar sag supir bersedia membantunya mengantar korban kecelakaan tersebut.
“ Benedict Hospital ya pak, kita ketemu disana, saya menitipkan sepeda korban dulu...” Ujar Vania kepada supir taxi yang mengangguk dan terburu-buru melajukan taxinya menuju alamat rumah sakit yang di sebutkan Vania, kebetulan alamat tersebut tidak jauh dari lokasi kejadian.
Sepeninggal taxi itu, Vania segera menitipkan sepeda kepada warung di pinggir jalan, lalu melajukan sepeda motornya menuju Benedict Hospital tempat pria itu di bawa.
Sesampainya di Benedict Hospital, Vania menemui supir taxi yang sudah menungguu kedatangannya. Dia membayar ongkos taxi dan kemudian bertanya kepada supir taxi dimana pasien, dengan ramah supir taxi itu menunjukkan dimana pasien di bawa dan di tangani.
Tak ingin membuang waktu, setelah mengucapkan terimakasih, Vania segera menuju ke ruang IGD dimana terlihat petugas medis sibuk dengan pasiennya masing-masing pagi itu.
Vania mengedarkan pandangan mencari sekeliling bed, dimana pria yang telah di tolongnya, hingga akhirnya dirinya menyerah dan bertanya pada petugas medis yang berjaga, karena beberapa bed dengan gorden tertutup.
Setelah menjelaskan desskripsi korban, Vania akhirnya berjalan menuju bed paling ujung sesuai dengan petunjuk sang petugas. Dirinya berharap bahwa korban dapat di selamatkan.
Setelah melihat dokter selesai memeriksa korban, Vania memberanikan diri bertanya
“ Dok, gimana kondisi pasien? Apakah pasien dapat di selamatkan? “
Dokter menoleh dan memperhatikan Vania, lalu senyum mengembang di wajah sang dokter
“ Syukurnya pasien segera di bawa ke rumah sakit, walaupun memiliki kehilangan banyak darah, setidaknya pasien dapat di selamatkan tepat waktu.
Vania menghela nafas lega, sembari tersenyum “ Syukurlah kalau begitu dok, apakah pasien sudah bisa di tinggal?” Tanya Vania sembari melirik jam di pergelang tangannya.
“ Tunggu sebentar lagi, pasien akan siuman, untungnya luka luar tidak banyak, mba nya bisa langsung urus administrasi terlebih dahulu, agar pasien segera di tangani lebih lanjut, untuk pertolongan pertama sudah kami lakukan, sebaiknya jangan berlama-lama mba, silahkan ke bagian admiistrasi segera...”
Mendengar perintah sang dokter Vania menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu kakinya melangkah mencari bagian administrasi.
Sesampainya di petugas administrasi, Vania mencoba berdiskusi dengan petugas administrasi, hingga sang petugas menyarankan agar dirinya mencoba memeriksa apakah pasien membawa dompet atau ponsel agar menghubungi keluarganya.
Vania tersenyum, merutuki kebodohan dirinya, mengapa dirinya tak memeriksa identitas pria itu terlebih dahulu dan menghubungi pihak keluarga, siapa dirinya hingga dengan berani akan mengambil keputusan menyangkut nyawa orang lain.
Dirinya bergegas memasuki ruang IGD dimana pria itu terbaring, sesampainya di hadapan pasien, dia termenung sejenak, merasa kasihan melihat mata cekung pria brewokan itu terlihat dari wajahnya pria itu tengah depresi, sontak dirinya bersyukur atas apa yang di alaminya, setidaknya selain hutang, dirinya tak memiliki beban lain.
Keraguan menyelimuti hatinya, haruskah dirinya memberanikan diri mengecek ponsel dalam saku pria itu, Vania menggelengkan kepalanya, sembari memejamkan matanya dia meraba training olahraga dengan bercak darah.
Perlahan tangannya meraba badannya dan mencari saku dengan mata terpejam untuk memastikan apa yang ia cari. Tapi ia tak menemukan apa yang tengah ia cari, Hingga akhirnya ia mengecek bagian celana olahraga tersebut, Vania membuka matanya karena merasakan ada saku disana, dia merogoh saku tersebut lalu dahinya berkerut karena ia tak menemukan apapun disana.
Diiringi helaan nafas berat, Vania berfikir keras karena ia bingung harus bagaimana, karena si pasien harus segera mendapat tindakan medis lebih lanjut. Ia duduk termenung dan menatap langit – langit ruang IGD, pikiran nya berkecamuk
‘ Bagaimana jika ia telat menghubungi keluarga pasien dan terjadi sesuatu terhadap pasien ini? Haruskah aku yang menanggung jawabi semuanya sampai pihak keluarganya datang, tapi darimana uangku? Haruskah aku minjam ke kantor atau ke Jessica? Ahh aku harus gimana. Nyawa orang lain tergantung padaku saat ini, apa yang harus aku lakukan TUHAN? ‘ Bisik Vania dalam hati.
Dia tak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan di tengah kesulitan yang ia hadapi saat ini, dan lamunannya buyar ketika ada jari jemari halus menyentuhnya dengan lembut, dan dengan suara lemah seorang pria yang membuat jantung nya hampir melompat.
“ Terimakasih sudah membawa saya kesini..” Vania menyadari arah suara dan sentuhan itu berasal dari seorang pria yang kini terbaring dengan lemah di hadapannya laly ia menoleh menatap pria berwajah brewok dan berkumis itu seraya mengangguk dan tersenyum.
“ Tdak apa-apa pak, ebetulan saja saya lewat tadi. Oh, ya pak. Apakah ada keluarga bapak yang bisa saya hubungi saat ini untuk mengurus semua nya? “ Tanya Vania dengan suara dibuat selembut mungkin.
“ Ponsel saya mungkin tercecer mba, atau boleh saya pinjam ponsel mba nya? “ Dengan sigap Vania memberikan ponsel nya kepada pria brewokan yang bersuara lemah tak berdaya itu.
Kemudian terlihat pria itu menghubungi seseorang dan tak lama kemudian ia menyerahkan ponsel ke tangan Vania dengan sedikit gemetar.
“ Terimakasih atas semua bantuannya mba...” Ada rasa iba di hati Vania melihat raut wajah dan kondisi badan pria itu. Bagaimana tidak? Pria itu terlihat kurus dengan bibir pecah – pecah dan rambut tidak terawat, sekilas terlihat seperti orang yang sedang putus asa.
“ Jangan di pikirkan pak, Pulsa itu tak seberapa yang terpenting bapak sembuh dulu, dan segera bertemy dengan keluarga agar keluarga bapak tidak kecarian...”
Tak lama kemudian datang 2 orang polisi yang menemui Vana beserta korban kecelakaan itu. Petugas kepolisian mengintrogasi Vania dan kemudian pasien brewokan itu secara bergantian guna mendapatkan keterangan lebih lanjut mengenai Laka Lantas yang di alami korban yang tengah berbaring ini. Sebelum di lanjutkan lebih panjang, si brewok meminta Vania meninggalkan nya sebentar, tanpa perlawanan Vania menruti apa yang di perintahkan, ia berjalan menuju kursi yang ada di lobi yang tak jauh dari ruangan IGD tadi.
Tak lama berselang kedua orang petugas kepolisian itu menghampiri Vania dan berpamitan, Tak lupa ia mengucapkan terimakasih karena Vania telah peduli dan sigap terhadap korban lakalantas itu dengan menghubungi pihak kepolisian dan segera melarikan sang pasien kerumah sakit guna mendapat pertolongan pertama dari petugas medis. Vania menyambut ramah sikap baik sang polisi dan menatap kepergian kedua petugas kepolisian yang telah sigap menanggapi laporan pengaduannya.
Setelah petugas kepolisian itu menghilang dari pandangannya, lalu Vania kembali menemui si brewok ke bed pasien paling ujung dan hendak berpamitan karena si korba telah menghubungi pihak keluarga jadi ia berfikir dirinya tak lagi perlu berada disana berlama – lama, dimana saat ini jam juga telah menunjukkan pukul 08.45 menit sedangkan dirinya masuk pukul 09.00 WIB.
Dengan tersenyum manis Vania berkata “ Apakah keluarga bapak sudah menuju kerumah sakit? “ Vania menatap pria brewokan itu.
“ Masih adakah terasa pusing atau keluhan lain? Biar saya panggilkan dokter sebelum saya pergi pak “ Lanjut Vania lagi seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Si Brewok dengan suara lemah dan ekspresi wajah memelas berkata “ Bisakah kamu menemani saya sebentar sampai teman saya datang? Karena saya harus pindah ke kamar perawatan, jadi mohon bantu saya sampai itu semua selesai..”
Sorot mata pria itu memelas menatap Vania yang berfikir sejenak ‘ Apa teman? Mengapa teman? Keluarganya dimana? Ataukah pria ini jauh dari keluarganya? Haruskah ku korbankan kerjaku? Ahh kan hanya sebentar, baiklah aku harus berbuat baik setidaknya kepada sesama manusia’ Bisik Vania dalam hati. Lalu dengan tegas ia menjawab permintaan si brewok tadi.
“ Baiklah pak, tapi saya harus menghubungi kantor saya dulu untuk meminta izin karena keterlambatan saya masuk kantor..” Si brewok mengangguk perlahan seraya senyum mengembang di sudut bibirnya yang di penuhi oleh kumis. Vania berjalan menjauh untuk menghubungi pihak kantor agar mereka mengetahui keterlambatannya hadir ke kantor.
Tak lama berselang setelah Vania kembali ke bed dimana pasien korban kecelakaan itu terbaring, Terlihat petugas rumah sakit mendekat kearah pasien itu dan mengangguk hormat kepada si brewok dan memindahkan si brewok menuju kearah keluar membuat Vania mengerutkan dahi dan sedikit panik karena ia takut terjadi sesuatu terhadap pasien yang sudah di tolongnya itu, ternyata pihak rumah sakit membawanya ke lantai 15 rumah sakit, menuju ruangan presiden suite.