bc

Panggil Aku Aisyah

book_age16+
8
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Kala itu, kita masih bersama, dan kala itu juga kita masih tetap setia dalam menjalani persahabatan tanpa ada perselisihan sedikit pun. Kehadiranmu bagaikan matahari yang senantiasa menghangatkan tubuh ini di setiap waktu, senyummu bagaikan pelangi yang senantiasa mewarnai hari-hariku di saatku jenuh.

Namun, tak lama hal itu terjadi. Sejak kepergianku darimu, dunia telah merubah semuanya, menghancurkan setiap kemesraan, ketentraman dan menghapus semua tirai-tirai kenangan yang ada.

Hingga ketika diriku telah datang kembali di hidupmu setelah sepuluh tahun berlalu, seolah kau tak mau lagi untuk mengenali diriku. Kau hina diriku, kau acuhkan aku, dan kau tutup rapat pintu-pintu maafmu.

Apa yang telah telah terjadi pada dirimu Aisy? Apa yang sudah merasuki hidupmu sehingga kau tak pernah menganggapku kembali ada. Apakah ada kesalahan diantara kita. Dalam diam ini kumulai bertanya. Masih adakah sedikit kesempatan yang akan kauberikan untukku, Agar persahabatan kita tidaklah rapuh. Masih sudikah kau memberi ruang di hatiku, agar kudapat memperbaiki kesalahan demi kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu selama ini.

Aku siap menyerahkan dunia jika hal itu dapat mengembalikan masa-masa indah kita dulu agar kau dapat menerimaku kembali sebagai sahabatmu. Namun jika kehadiranku selalu kau anggap sebagai benalu, maka aku siap untuk menanggung luka atas pedihnya perpisahan.

chap-preview
Free preview
Masa di Pesantren
-Masa SD-           Dua belas tahun sudah aku telah menjalani masa-masa hidup, mulai dari taman kanak-kanak dan tak terasa kini sudah memasuki kelas enam SD. Setidaknya kuakan lebih banyak belajar dengan giat, jika dulu aku lebih banyak menggunakan waktu untuk banyak bermain, tapi untuk saat ini mulai kukurangi, karena aku menyadari bahwa sebentar lagi diriku akan lulus dari sekolah ini.           Sekarang sudah memasuki tahun 2007, dan tepatnya juga di saat ini kusudah memasuki semester dua, jadi kurang lebih sekitar enam bulan lagi aku harus terlepas dan lulus dari sekolah. Bagiku, sekolah ini adalah sekolah yang sangat luar biasa, karena telah banyak mengajarkanku menjadi seorang lelaki yang tangguh dan tahan baja. Seringkali aku selalu dihukum oleh guru-guru ketika tidak mengerjakan tugas, namun perlahan demi perlahan kumulai memiliki kesadaran penuh untuk menjadi seorang murid yang bertanggungjawab.           Semua ini juga karena ibu, ibu yang selalu mendidikku dengan baik, walaupun pada awalnya aku adalah anak yang bandel. Dan pada akhirnya aku cukup merasa senang berada di sekolah, karena diriku tidak hanya memiliki banyak teman, namun juga memiliki seorang sahabat yang tidak lain adalah perempuan itu.           Perempuan yang berseragam dengan rok panjang, serta berkerudung putih itu namanya Aisy, usianya lebih muda dariku, kurang lebih selisih enam bulanan. Sudah lama juga aku bersahabat dengannya, tepatnya sejak kita berdua sama-sama duduk di bangku TK. Menurutku, dia adalah teman yang paling baik, di saat jam istirahat sekolah tiba, seringkali dia menawarkan sebuah jajanan kepadaku, yaitu kue serabi dengan kuah yang super enak, wajar saja karena ibunya juga jualan kue serabi di rumahnya. Selama kita berteman, jarang sekali kita bertengkar walaupun itu hanyalah masalah sepele. Uniknya lagi, kita selalu bersama ke mana pun kita pergi, entah itu mengerjakan tugas PR, bermain petak umpet dengan teman-teman, ataupun mencuci baju di sungai Brantas. Aku dan Aisy memanglah satu kesatuan yang sangat erat dalam menjalin hubungan pertemanan, dan sudah sepantasnya jika dirinya telah kuanggap sebagai sahabatku sendiri.           “Ntar sore kita sholat di masjid bareng ya!!” seru Aisy padaku saat kita hendak pulang bersama dari sekolah.           “Yaa pastilah. Shalat berjamaah itukan pahalanya lebih besar daripada shalat sendirian di rumah.” Jawabku.          Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara adzan mulai berkumandang pada jam enam sore, menandakan bahwa diriku harus menjalani shalat Maghrib berjamaah. Setiap hari aku selalu berangkat bersama Aisy untuk menuju masjid terdekat, bukan hanya di waktu Maghrib melainkan juga di waktu Isya, lebih-lebih di waktu Ashar jika kita kebetulan bertemu. Orang tuaku dan orang tua Aisy memang orang tua yang hebat, karena sejak kita masih duduk di kelas satu SD sudah diajarkan dalam menjalani shalat lima waktu setiap hari.           Hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, diriku mulai kembali ke rumah. Saat aku mengucap salam, dan baru saja kaki ini kulangkahkan, ternyata bapak dan ibu telah menungguku di ruang tamu, karena ada sesuatu yang sepertinya ingin bapak bicarakan untukku.            “Aldi, duduk sini nak!” seru bapak.            “Baik pak.” Jawabku, lalu aku pun duduk disamping ayah dan ibu.           “Sebelumnya bapak dan ibu ingin meminta maaf sama kamu nak.” Ucapnya.           “Minta maaf untuk apa pak?” tanyaku.             Lalu bapak dan ibu terdiam sejenak, mungkin mereka merasa berat yang ingin mengatakan sesuatu.            “Bapak dan ibu belum bisa untuk mendaftarkan kamu masuk di SMP 3.” Terang bapak.            “Lohhh, kenapa pak, padahal kan itu sekolah favoritku, sejak kelas empat Aldi berharap agar bisa sekolah di situ yah.” Sontakku.            “Sekali lagi maafkan bapak nak.” Tukasnya.            “Terus kalau Aldi tidak sekolah di situ, lantas Aldi mau disekolahkan di mana pak.” Bantahku.            “Bapak dan ibu sebenarnya ingin mengatakkan hal ini sejak lama. Karena yang jelas bapak ingin memasukkanmu di pesantren nak.” Terang ayah.            “Betul Aldi, karena bapak dan ibuk ingin agar kamu kelak bisa menjadi anak yang saleh.” Tambah ibu.            “Ya nggak bisa begitu dong pak, Aldi itu paling takut dan tidak biasa hidup di pesantren.” Bantahku.            “Suatu saat kamu pasti akan menyadari nak, bahwa inilah jalan yang terbaik.” Terang bapak kembali.         Aku dan bapak mulai sedikit berdebat. Namun sebagai anak, aku tidaklah pantas untuk membantah. Biarlah, akan kuturuti saja apa kemauan bapak meski sebenarnya aku merasa sangat kecewa sekali, karena tidak bisa satu sekolah SMP dengan Aisy nantinya. -Pesantren Impian-           Selama diriku menjalani pendidikan di pesantren, banyak sekali kegiatan yang telah kuikuti, mulai dari sekolah, mengaji, atau mengikuti kegiatan keagamaan seperti acara shalawat’an. Tahun demi tahun telah kulewati, dan kumerasa sangat nyaman tinggal di pesantren ini, karena aku bisa memiliki banyak teman dan seorang sahabat sejati, dia bernama Rahma, sahabatku yang paling setia sejak diriku masih duduk di kelas satu SMP. Dan Rahma adalah sahabat yang selalu mengerti akan keadaanku serta bisa memahami segala kekuranganku, sehingga tanpa sadar kumulai memiliki perasaan dengan sangat dalam yang tak bisa kuungkapkan untuk saat ini. -Sepuluh tahun kemudian-          Sepuluh tahun sudah diriku menjalani pendidikan di pondok pesantren. Dan tak terasa juga besok aku harus menjalani wisuda sarjana, karena aku baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Islam Pontianak. Di sore ini juga akan menjadi hari terakhir bagiku untuk menjalani pendidikan di madrasah diniyah, karena seminggu lagi aku juga akan menjalani ujian kelulusan. Entah tak tahu bagaimana nasib ataupun rencana yang kan kulakukan nantinya, tentu sudah pasti akan kujalani hari demi hari ini dengan  baik.           “Baik murid-muridku semua. Ini adalah hari terakhir kalian mengikuti pembelajaran diniyah di sore hari ini, karena sebentar lagi kalian semua juga harus menjalani ujian akhir sebagai persiapan kelulusan.” Ucap salah seorang guru yang sedang mengajar di kelasku saat ini.        Pembelajaran pun telah usai. Kita semua dalam satu kelas mulai saling meminta maaf antar teman dan juga kepada guru-guru kita, karena sebentar lagi kita semua akan berpisah. Aku mulai keluar dari kelas, tanpa sengaja kusempat melihat Rahma yang juga baru keluar dari kelasnya, kucoba untuk menghampirinya, karena sebenarnya diriku juga ingin tahu mengenai rencana apakah yang akan dilakukan nantinya ketika kita sudah berpisah.            “Assalamualaikum Rahma.” Sapaku.            “Iya walaikum salam Aldi.” Jawabnya.            “Hmmm. Oh yaa Rahma, sebentar lagi usai lulusan kamu ada rencana apa?” tanyaku dengan iseng.            “Alhamdulillah, insya Allah saya mau menikah Aldi, karena ayah saya sudah mencarikan Rahma jodoh.” Jawabnya.            “Ohhh begitu yaa.” Jawabku dengan perasaan yang penuh kaget.            “Kalau kamu sendiri gimana Aldi?” tanyanya.            “Emm, aku masih belum ada rencana Rahma. Tapi insya Allah aku mau lanjut S2.” Jawabku.            “Ohhh begitu yaa. Bagus dong, ya sudah aku kembali ke pondok dulu yaa.” Imbuhnya.            “Iya Rahma, semangat terus ya.” Tambahku.                                                                   “Iya Aldi, kamu juga tetap semangat yaa.” Jawabnya kembali.         Rahma pun kembali berjalan menuju asramanya meninggalkanku sendiri. Aku masih tetap berdiri di sini sambil memandangi dirinya di saat melangkah pergi, dan saat itulah kumulai terdiam bercampur rasa sedih yang cukup menyiksa. Mengapa hati ini terasa perih di saat telinga ini baru saja mendengar kabar bahwa dirinya akan melangsungkan pernikahan. Aku dan dirinya sudah berteman selama sepuluh tahun, di saat itu juga kita sempat menjalin persahabatan sehingga tanpa sadar telah tumbuh sebuah rasa suka, kagum dan cinta yang selama ini kupendam dengan sangat dalam.         Aku terus merenungi akan hal itu hingga tanpa sadar mata ini mulai terbendung oleh air mata, kucoba tuk menahan, dan pada akhirnya terjatuh juga dalam membasahi bumi.           “Ya Allah, mengapa ini bisa terjadi padaku. Sudah sekian lama ku menginginkan dirinya, berharap di waktu yang tepat ini kubisa mengungkapkan rasa sekaligus melamarnya.” Batinku.           Namun apalah daya jika pada akhirnya dia akan bersanding dengan pria yang lain. Terpaksa aku harus mengikhlaskan semua itu, karena ini sudah menjadi kehendak Allah yang tak bisa aku tolak. Demi Allah, aku belum siap merelakan dirinya, karena dia sudah kuanggap sebagai matahari yang senantiasa menyinari hari-hariku di pesantren ini, demi Allah aku ikhlas.         Waktu di malam hari telah tiba, dan ini adalah waktu di mana di pondok akan menyelenggarakan acara sholawatan. Sudah menjadi rutinitas jika kegiatan ini dilakukan setiap satu bulan sekali, dan kebetulan juga aku mendapati jadwal untuk memberikan Mauidzah Hasanah atau ceramah terhadap seluruh santri, dan untuk kali ini ku akan memberikan ceramah dengan judul menggapai cinta sang Rasul dengan banyak bershalawat.           Syukurlah, topik ini sudah Aku siapkan sejak minggu kemarin, agar ku dapat menyampaikan secara baik dan juga maksimal. Setelah acara demi acara mulai terlewati, kini tiba saatnya waktuku untuk memasuki acara terakhir, yaitu ceramah yang akan kusampaikan. Di saat aku baru saja naik di atas panggung, kucoba untuk melirik ke sebelah utara, tentu barisan para santri akhwat. Dengan perlahan, aku mulai menyampaikan dengan baik dari materi yang akan kusampaikan. Tanpa sengaja, aku sempat melihat wajah Rahma di mana dia telah terduduk di barisan paling depan. Dengan hati yang cukup gembira, dia mulai tersenyum ke arah wajahku, begitu juga sebaliknya. Bisa jadi ini adalah malam yang terakhir aku bisa menampilkan diri kepadanya, maka dari itu, aku akan persembahkan momen ini dengan sebaik-baiknya, mengingat sebentar lagi kita juga akan berpisah dan dirinya juga akan menikah.         Kumulai membuka mata ini dan terbangun dari tidurku. Suara adzan belum terdengar karena waktu masih menunjukkan jam tiga pagi. Segera kubasuh tubuh ini dengan air wudhu, serta bersiap diri untuk menjalani Qiyamullail. Kumulai membasuh diri ini, namun entah kenapa tiba-tiba kuteringat dengan ayah dan ibu di rumah, sepertinya aku merindukan mereka. Dalam waktu tiga tahun, hanya dalam sebulan aku bisa menikmati kebersamaan dengan mereka, mungkinkah aku harus segera kembali sedangkan diriku masih ingin menetap di pesantren untuk dua tahun ke depan. Sudahlah, tak perlu diriku merisaukan hal itu, lebih baik kujalani saja dari apa yang ingin kulakukan saat ini, insya Allah pasti akan ada solusi serta jalan terbaik dari Allah SWT. -Wisuda Sarjana-           Setelah sepuluh tahun diriku menjalani pendidikan di pesantren ini, akhirnya kini aku telah berhasil meluluskan diri dari pendidikan tinggi dengan gelar terakhir S1. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku yang telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Entah nanti kedepannya harus bagaimana, yang jelas aku masih belum memiliki suatu rencana, tetapi yang jelas aku akan tetap berusaha lagi untuk bisa menjadi lebih baik sebagai anak yang bisa berbakti pada kedua orang tua.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook