Aisy Zacky

1573 Words
-Di pagi itu-          Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu.           Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia.            “Aldi.” Ucap ibu dari arah belakangku.            “Ehhh ibuk.” Jawabku.            “Kamu belum berangkat? Kok masih duduk-duduk sendiri di sini.” Tanya ibu.            “Iya buk lima menit lagi Aldi berangkat.” Jawabku.            “Ya sudah, kamu sarapan dulu sana!” seru ibu.            “Iya buk sudah, barusan Aldi sudah makan singkong buatan ibuk.” Jawabku.            “Ohh, ya sudah kalau begitu.” Tambahnya.            “Ohh iya buk, seratus harinya bapak kapan yaa?” tanyaku.            “Insya Allah dua minggu lagi Di.” Jawab ibu kembali.            “Emmm begitu.” Jawabku.            Lalu ku membuka tas untuk mengambil sebuah amplop.            “Ohh iya buk, ini gaji Aldi bulan kemarin buat ibuk, insya Allah ini cukup buat acara tahlilan almarhum bapak.” Ucapku.            “Nggak usah Di, mending tuh uang kamu tabung aja, kamu kan belum menikah.” Tukas ibu.            “Udah ibuk bawa aja, Aldi masih punya pegangan uang kogh buk.” Jawabku.            “Ya sudah ibuk bawa, nanti kalau ada sisa ibuk kembalikan.” Imbuh ibu.            “Tidak buk, semua buat ibuk aja.” Jawabku kembali.           Waktu sudah menunjukkan di angka setengah tujuh, sudah waktunya diriku  berangkat.            “Ohh iya buk, Aldi pamit berangkat dulu yaa.” Ucapku sambil kucium tangan ibu.            “Iya Aldi hati-hati di jalan.” Seru ibu.            “Iya buk, Assalamualaikum.” Ucapku.            “Walaikum salam.” Jawab ibu kembali.         Aku pun segera menaiki motor dan mulai melaju dengan pelan. Dalam perjalanan ini, kukembali menikmati suasana pemandangan alam di sekitarku, salah satunya adalah area persawahan. Ketika aku melihat persawahan itu, aku jadi teringat akan masa kecilku di mana di saat usiaku masih SD, bapak sering mengajakku untuk membantunya di sawah. Sayangnya kini bapak telah tiada, dan pergi di saatku jauh darinya.           Entahlah, semua hanya bisa kupasrahkan pada Allah, aku hanya bisa mendoakan agar bapak mendapatkan kenikmatan di alam kuburnya. Kukembali melaju dengan kecepatan yang masih pelan, ketika baru saja melewati persimpangan, tak sengaja aku berpapasan dengan sebuah mobil sedan warna biru lagi. Kusempat melihat siapakah pengemudi itu ternyata dia adalah seseorang yang selama ini menghantui pikiranku. Tak banyak waktu, kulangsung berbalik arah dan mulai mengikuti mobil itu dari belakang.        Kuyakin dia pasti orang di wilayah desa ini, karena seringkali kita selalu bertemu di daerah ini. Tak seberapa lama, perempuan itu telah sampai di depan rumahnya. Kumulai mengamatinya dari balik pohon. Tiba-tiba terjadi perdebatan antara perempuan itu dan ibunya.           “Aisy, dari mana saja kamu. Semalem nggak pulang-pulang, mau jadi apa kamu nak." sontak ibunya.           “Aduhh ibuk, maaf Aisy lagi capek. Jadi jangan bikin Aisy tambah pusing dah." bantahnya.            Di saatku mulai mengamati perdebatan mereka, kumulai teringat bahwa ternyata perempuan itu adalah Aisy, sahabatku di saat kita masih duduk di bangku SD. Kumulai tersenyum dan dengan perlahan kucoba untuk mendekati mereka.            “Aisy.” Ucapku yang membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah wajahku.             Dengan rasa percaya diri, ku langsung menghampirinya.            “Assalamualaikum Aisy, syukurlah jika kamu masih ingat sama aku.” Ucapku.            “Ehemm, kamu siapa yaa, kok tiba-tiba datang dengan ucapan yang sangat aneh.” Gumamnya.            “Aisy, kamu lupa yaa? Aku ini Aldi, sahabat kamu di saat kita sama-sama duduk di bangku SD, aku yakin kamu pasti ingat kan.” Terangku.            “Oalahhh, Aldi anaknya pak Husein yang kerjanya jadi petani itu yaa.” Jawabnya sambil mengece.            “Aisy, kalau bicara sama tamu tuh yang sopan.” Sahut ibunya Aisy.            “Udah ahh buk, Aisy tuh ngantuk dari semalem belum tidur.” Bantah Aisy lalu masuk ke dalam rumah.            “Nak Aldi, maafin Aisy ya, mungkin kita bisa bicara berdua di dalam!” seru ibunya.            “Iya baik buk bisa.” Jawabku.           Lalu aku dan beliau mulai terduduk di kursi tamu yang ada di teras.          Saat kita terduduk, beliau sempat menawarkanku secangkir kopi namun dengan lembut aku menolak. Aku mulai menceritakan tentang diriku saat masih satu sekolah dengan Aisy di waktu SD, selain itu kumulai menceritakan pada ibunya mengenai perpisahanku dengannya selama ini, bahwa diriku telah menjalani masa pendidikan di pondok pesantren sampai pada akhirnya aku telah lulus kuliah lalu menjalani profesi sebagai seorang guru.           Usai bercerita singkat dan tak terlalu panjang lebar, kini giliran beliau yang akan menceritakan tentang kehidupan Aisy sejak dia masih duduk di bangku SMP hingga Aisy dewasa seperti ini. Namun, betapa terkejutnya diriku ketika beliau mulai menceritakan tentang pergaulan Aisy selama ini, di mana Aisy mulai salah pergaulan di saat dia remaja. Ku benar-benar tak percaya, mengapa Aisy yang dulu kukenal sebagai perempuan yang baik, lugu, sopan dan lemah lembut, kini telah menjadi anak yang seringkali membangkang akan nasihat orang tua.            “Ya sudah kalau begitu saya pamit berangkat dulu ya buk.” Ucapku pada bu Dewi.            “Iya nak Aldi, hati-hati di jalan yaah.” Jawabnya.            “Assalamualaikum.” Ucapku sambil mencium tangan beliau.            “Walaikum salam.” Jawabnya kembali. -mulai prihatin-           Setelah berbincang-bincang dengan ibunya Aisy dengan waktu yang sedikit lama, kini kukembali berangkat menuju sekolah di mana ku harus mengajar para murid. Dalam perjalanan ini, pikiranku mulai sedikit tak tenang usai mendengar cerita dari apa yang telah diceritakan oleh beliau. Sungguh aku tak menduga dan benar-benar tak menyangka jika Aisy yang selama ini kukenal dengan sangat baik kini telah menjadi anak yang mulai durhaka terhadap orang tua, parahnya lagi, kelakuan Aisy yang seperti ini sudah mulai terjadi sejak dia masih duduk di bangku SMP, kusadari karena semua ini dia telah salah dalam memilih pergaulan.         Hal ini tak bisa dibiarkan, secepatnya kuharus mencari tindakan, agar Aisy bisa berubah dan menyadari akan semua yang diperbuatnya. Pantas saja jika dia berubah, karena sejak dari dulu di waktu awal-awal kutinggal di pesantren, dia tak pernah membalas surat-suratku walau hanya sekedar tahu akan kabarku.          Dan kini kutelah tiba di sekolah. Sepertinya aku sedikit terlambat dikarenakan tadi masih menyempatkan waktu untuk mengobrol sejenak dengan ibunya Aisy. Dan ku kembali mengajar sebagaimana yang aku lakukan setiap harinya. Menjadi seorang guru itu memang sudah menjadi kewajiban dalam memberikan pendidikan terhadap murid-murid, agar kelak mereka bisa menjadi anak yang baik dan berguna terhadap masyarakat. Menyikapi akan hal ini, membuatku mulai berpikir. Akankah diriku bisa mendidik seorang perempuan, salah satunya adalah Aisy. Ingin rasanya diriku untuk bergerak dalam menjalani pertemanan sebagaimana kita dulu masih sama-sama duduk di bangku SD. Entahlah, kuyakin jika dirinya pasti memiliki sikap baik. -album foto-         Waktu sore pun telah tiba, kini aku telah selesai dalam menjalankan tugasku di hari ini, dan sudah saatnya kembali pulang ke rumah. Saat diriku telah sampai dan tiba di rumah, saat itu juga kumulai membuka sebuah koper yang berisi berkas-berkasku seperti ijazah serta surat-surat penting lainnya. Aku tidaklah mencari berkas, tetapi yang kucari-cari adalah album foto di mana dalam album tersebut terdapat banyak foto-foto di saatku masih duduk di bangku SD. Setelah cukup lama aku mencari, akhirnya telah kutemukan album foto itu. Lembar demi lembar mulai aku buka, banyak sekali segala kenangan indah yang ada di album tersebut, ada foto-foto di saat kita rekreasi bersama, dan ada juga foto-foto perpisahan di saat kita pernah menjalani prosesi wisuda.         Kumulai mengambil satu foto di mana dalam gambar tersebut hanya ada kita berdua, yaitu aku dan Aisy. Dengan penuh ketelitian, kumulai memandangi foto Aisy dengan baik, ternyata sungguh sedikit jauh berbeda wajah Aisy antara dulu dan sekarang. Dulu Aisy terlihat sangat manis, lugu dan selalu memakai jilbab kemanapun dia pergi. Namun entah kenapa saat ini Aisy mulai berubah dalam penampilannya, semenjak dewasa ini, dia tak pernah memakai jilbab dan selalu berpakaian ketat layaknya para artis.           Apakah ada yang salah dengan didikan orang tuanya, padahal yang aku tahu, Aisy adalah anak dari keluarga yang baik-baik. Sudahlah, aku tak perlu berprasangka buruk, mungkin saja Aisy sedang khilaf, dan aku masih tetap percaya jika Aisy adalah anak yang baik.            “Aldi, kamu ngapain?” tanya ibu sambil menghampiriku.            “Ini buk lihat-lihat foto waktu Aldi masih SD.” Jawabku.            “Ohhh begitu. Itu foto yang kamu pegang, fotomu sama siapa Di, ibuk agak lupa.” Tanya ibu kembali.            “Iya ini fotoku dengan Aisy buk, dia sahabat baikku dulu, dan dia adalah teman terbaikku dari semua teman-teman yang pernah ada.” Terangku.            “Ohhh begitu, emang dia sekarang tinggal di mana?” tanyanya.            “Masih tetap tinggal di desa sebelah kok buk.” Jawabku.            “Emmm. Yaudah Aldi kamu makan dulu ya nak, ibuk udah persiapkan makan buat kita berdua.” Pinta ibu.            “Ya buk.” Jawabku.           Aku segera membereskan semua foto-foto ini, kecuali fotoku dengan Aisy yang masih kupegang, karena kuingin menaruhnya di pigora. Dan aku segera menuju meja makan bersama ibu. Alhamdulillah, dari dulu masakan ibu nggak pernah ada yang membuatku bosan, selalu enak dan juga sedap, segera kuangkat kedua tangan ini untuk memulai berdoa.           “Rasa nikmat pada makanan ini mulai terasa, andaikan suatu saat ku bisa punya istri yang bisa memasak makanan seenak ini.” Batinku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD