bc

Dunia Milan

book_age12+
157
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
others
arrogant
sensitive
brave
comedy
twisted
sweet
highschool
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Kita bertemu, saling berbagi cerita lantas saling meninggalkan. Memang, kadang takdir selucu itu. Saat kita sama sekali tak pernah menduga untuk saling mengenal, takdir dengan caranya membunuh waktu dengan pertemuan singkat. Saat kita tak pernah menyangka akan dapat berbagi kisah satu sama lain, dengan bantuan takdir akhirnya kita dapat saling percaya untuk bertukar memori sekilas. Dan saat kita enggan untuk berbagi jarak, dengan egonya takdir memisahkan kita layaknya planet lain yang memisahkan matahari dengan pluto.

Mungkin, kilas takdirlah yang menjadi titik akhir kisah singkat ini.

chap-preview
Free preview
Milan Benci Aidil
Kata orang, pertemuan adalah jalan untuk menyatukan, saling berbagi pikiran, dan mengukir kenangan. Lalu, kenapa menurutku pertemuan adalah alternatif menuju perpisahan? *** "GILA gila gila!" Naya yang baru sampai di kelas langsung berseru heboh, napasnya terdengar memburu entah karena habis lari atau apa. Matanya seketika tertuju pada bangku nomor dua dari depan, dia menghela napas lantas mendekat. Terlihat seorang gadis kuncir kuda duduk di sana, pandangannya fokus pada sebuah buku tebal yang tengah ia baca. Kaca mata minus satu yang bertengger di hidungnya nampak serasi dengan kulitnya, tidak terlalu putih dan tidak terlalu coklat. "Milan!" panggil Naya keras sambil mencoba menurunkan buku itu dari wajah gadis yang ia sebut Milan itu. "Hm." "Ish, Milan." Kini Naya menarik salah satu lengan Milan saat merasa diabaikan oleh gadis tersebut. "Gue pengin ngomong sesuatu sama lo. Dijamin deh ini gosip masih anget, kaya e*k kuda yang baru keluar." Naya menyengir, membuat Milan kini berangsur menutup bukunya sambil mendengus. Ditatapnya Naya dengan alis naik sebelah, "Buruan ngomong, waktu gue nggak banyak." "Sok sibuk dasar!" umpat Naya lantas menarik kursi di samping Milan, "lo harus tahu Milan, kalau si Ai kemarin juara satu lagi olimpiade matematikanya! Ah, sumpah, itu orang pinter banget." Satu detik, dua detik Milan hanya diam sambil menatap Naya dengan datar. Dan yang ditatap malah tersenyum girang. "Lo Cuma mau ngomong itu?" tanya Milan. "Iya, Milan. Makin sayang deh sama sepupu gue itu. Untung dia yang jadi wakil sekolah buat olim." BRAK! Dengan begitu kesal Milan membanting buku tersebut ke meja sembari bangkit. Tatapan mata cokelatnya berubah menjadi tajam ketika memandang Naya entah untuk keberapa kalinya. "Anjir! Bikin gue kaget deh, Milan!" "Maksud lo kalau waktu itu Pak Liam milih gue di olim, bakal kalah gitu?!" tanya Milan sarkatis. "Fine! Temenan sana sama si Ai, nggak peduli gue!" Milan dengan segera melenggang pergi dari kelas yang membuatnya begitu kesal itu, terutama karena kedatangan patner satu bangkunya, Naya. Untuk apa sih Naya membahas si Ai yang jelas-jelas sangat Milan benci itu di depan wajahnya? Apa mungkin satu sekolah telah terkontaminasi dengan lelaki itu? Jika iya, Milan minta ada sisa minimal satu orang yang masih waras seperti dirinya. Milan tahu kok Ai adalah sepupu Naya, tapi bukan berarti rasa bencinya pada lelaki tersebut menguap begitu saja. Tentu tidak, Milan masih setengah mati ingin menjambak rambut milik Ai. Kalau perlu dibakar sekalian bersama dengan otaknya. Biar Milan tak perlu repot-repot mencari alternatif untuk mengalahkan Ai. "Heran ya gue, sampai kapan hidup gue ini lepas dari debu bernama Ai? Perasaan di mana-mana selalu nempel setiap gue pergi," ucap Milan sambil menumpukan tangannya di pinggang. "Lo pikir gue bakalan ucapin 'Selamat ya Ai' atau 'Lo jago banget Ai'? HAH! Mimpi aja sana!" ucap Milan sambil menendang kaleng yang ada di depannya. Gadis itu menghentakkan kakinya ke tanah beberapa kali lalu pergi begitu saja. *** Hal yang Milan benci sejak dulu adalah ketika ia harus kebagian jadwal piket siang. Di mana seharusnya ia bisa langsung pulang ke rumah tapi malah beralih profesi sesaat jadi tukang bersih-bersih. Dan yang lebih parahnya, hari ini dua orang lainnya yang juga kebagian jadwal siang dispensasi sejak pagi. Tamatlah riwayat Milan saat harus menyapu satu ruangan full. Milan meniup poninya, suasana sekolah semakin sore dan semakin sepi. Siswa yang biasanya kerap kali berlalu lalang melewati depan kelasnya seketika raib, menyisakan keheningan dibalut decitan kaki meja yang Milan tarik. Bukannya takut, Milan sama sekali tidak takut dengan rumor bahwa sekolahnya ini angker atau ada penunggunya. Sama sekali. Hanya saja Milan takut saat harus pulang sore dan menunggu angkutan umum sendirian, pikiran negatifnya akibat kebanyakan nonton berita dan aksi psikopat di film terkadang merambah ke mana-mana. Membayangkan kalau ada perampok yang akan memotong lehernya, atau psikopat gila yang ingin membunuhnya membuatnya begidik ngeri. Lima belas menit kemudian Milan selesai dengan pekerjaannya. Gadis itu tak mau menunggu lama, dia langsung menyandang tasnya lantas pergi. "Aish, s****n banget. Udah jam empat," ucap Milan sambil berjalan tergesa. "Hai Milan, mau pulang ya?" Suara psikopat gila yang kini ikut berjalan di samping Milan mulai terdengar. Bukannya menggubris, Milan justru mempercepat langkahnya. "Aduh, Milan buru-buru banget, kebelet boker ya? Toilet sekolah kosong kok," kekeh orang itu. "Lo nggak mau beri ucapan selamat ke gue? Atau jangan-jangan lo nggak tau ... " Milan menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dia berbalik menatap orang itu. "Diem atau gue jahit itu mulut pake benang karung?" "Nggak papa deh, asal yang jahit cantik kaya lo," sahutnya lagi. Milan kembali berjalan, namun tangannya tiba-tiba ditarik orang orang itu. "Mau lo apa sih, Ai? Mau ngatain karena gue nggak jadi kepilih, gitu? Atau karena ekspetasi gue ketinggian, dan lo mau bilang kalau gue payah." Aidil terkekeh, "Baper banget sih lo. Ya mau gimana lagi, lo kan emang payah. Terbukti gue yang dipilih." "Bagus, lo belum tahu rasanya gue tabok pake sepatu." "Emang belum, emang gimana sih rasanya? Enak nggak?" "Berhenti ngelucu!" sentak Milan dengan emosi semakin memuncak. "Gue nggaj ngelucu, Milan, lagipula gue ini bukan pelawak." Milan menarik napas panjang sambil memejamkan mata beberapa saat. Kembali lagi gadis itu menatap Aidil. "Lo manusia apa bukan?!" Berpikir sejenak, Aidil menjawab, "Sejauh ini masih manusia sih." "Kalo manusia, lo punya perasaan kan? Kenapa selalu aja ngatain dan bikin gue sakit hati?" Mata Milan memerah, seperti hendak menangis. "Milan, gue nggak ngatain. Gue bicara apa adanya." "Terserah, Ai! Jangan muncul di depan gue mulai sekarang!" "Ya nggak bisa dong, lo kan wakil ketua dan gue ketua PMR." *** A/n : To be continue

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DENTA

read
17.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook