Gebetan Milan

1458 Words
Dari semua hal yang kutangkap dari sikapmu, kusimpulkan bahwa memang kekalahanku adalah kesenangan sendiri bagimu - Milan Jika impas adalah satu kata yang mewakili kita, maka akan kutetapkan bahwa kata itu sebagai sebuah fakta - Ai *** "Namanya Avredo Gumilang, Mil," ucap Laura yang dibalas sebuah anggukan dari Naya dan Tasya. Entah kenapa mendengar hal itu kedua pipi Milan mendadak memerah, seperti menahan malu. "Gue udah tahu," ucap Milan yang semakin membuat gurat merah di pipinya begitu kentara. "Aish, lo tuh ya, Milan, kenapa nggak bilang dari kemarin? Gue bahkan tadi malem nanya ke Fandi siapa nama kakel itu, dan asal lo tahu gue bela-belain dicurigain sama Fandi! Hampir aja gue berantem," ketus Laura sembari menyedot es cendol di depannya. "Cowok lo aja yang posesif," balas Milan mengerucutkan bibirnya. "Bisa-bisanya ini anak nyalahin cowok gue! Sini lo, gue botakin itu kepala sekalian." Tangan Laura sudah siap menarik rambut Milan namun terhenti karena Naya dan Tasya yang langsung pasang kuda-kuda ; siap melerai mereka. "Lo berdua liat kondisi dong kalau mau berantem, ini kantin dan lo bikin semua anak liat ke sini. Gila kalik ya," ucap Naya setengah berbisik, nadanya terdengar penuh kejengkelan. "Btw, Mil, kok bisa tahu namanya? Semalem nge-stalk ig ya, begadang pasti ini anak." Tasya geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Bukan. Bukan gitu ceritanya," kata Milan dan mulai lagi semburat di pipinya terlihat. Milan seketika merasa begitu malu kalau harus cerita pada ketiga temannya. "Jadi, gimana? Cerita dong, udah lama deh kayanya lo nggak cerita sama kita tentang rasa penasaran lo sama cowok itu semenjak ada olim." Naya dan Tasya mendengus. Senyum Milan yang sejak tadi merekah kini menghilang, digantikan tatapan matanya yang beku dan begitu terlihat kesal. "Jangan bahas olim lagi di depan muka gue." "Kenapa, Mil, karena lo nggak jadi maju karena Ai?" kekeh Tasya yang langsung disambut gelak tawa oleh Laura. "Tapi, tunggu deh, kalau diinget nih ya. Kata lo sejak TK aja lo sekolah di tempat yang sama dengan Ai sampai sekarang, dan lo bilang kalian nggak pernah akur. Jadi jodoh bisalah," imbuh Laura. "Diem atau gue sambelin itu mulut." Milan dengan tatapannya memandang Laura sembari mengaduk sambel yang ada di meja. Laura mengangkat jarinya ke udara, menandakan kalau dia sedang becanda. "Udah deh, Mil, cerita sama kita kenapa lo bisa tahu namanya Kak Vredo." Milan menarik napasnya dalam lalu ia hembuskan. Kepalanya menoleh ke kanan kiri memastikan, yang malah membuat ketiga temannya semakin mengerutkan alisnya penasaran. Gadis itu memajukan tubuhnya merapat pada temannya. "Janji sama gue, selama cerita nggak ada yang boleh motong atau teriak, oke?" Otomatis semua yang ada di meja itu mengangguk. Milan kembali menarik napas untuk memulai bicaranya. "Jadi kemarin sehabis pulang PMR gue kesorean gitu, udah mau Maghrib. Kalian tahulah, jam-jam segitu nggak ada angkutan umum," jelas Milan dan dibalas anggukan kecil dari mereka. "Nah, pas di gerbang gue liat tuh Kak Vredo sama fixion itemnya yang menawan itu keluar dari parkiran. Spontan jantung gue mau copot 'kan?" Milan malah seperti mengajukan pertanyaan pada ketiga temannya itu. Karena kesal, Tasya menyahut, "Ke intinya aja deh, Mil, nggak usah belibet. Kita ini nungguin bagian mana lo bisa tahu namanya." Milan memajukan bibirnya beberapa senti lalu melanjutkan, "Jadi dia nawarin pulang, ya gue mau dong." "Kok lo murahan banger sih, Mil?!" ucap Laura tanpa sadar dengan volume besar, membuat Milan langsung menutup mukanya dengan kedua tangan. "Gue udah bilang, Lau, jangan teriak atau motong ucapan gue!" Milan menjambak rambutnya frustrasi. "Tapi lo beneran keli—" "Masih mau lanjut cerita apa nggak?" tanya Milan yang siap bangkit. Naya menahan lengan Milan. "Lanjut, lo diem deh Lau, biar Milan selesai baru lo boleh protes." Milan kembali duduk, "Dia anterin gue sampai rumah, terus gue nanya deh nama dia sekalian nomor WA-nya. Hehe." "Tuh kan dia itu mur—" "Sstt, Lau, komennya ntar aja," ingat Naya yang mulai kesal juga. "Dia balik tanya nama gue. Ah, pokoknya itu so sweet banget deh." Milan menerawang ke udara, membayangkan wajah Vredo kemarin yang begitu tampan meski dibalut helm merah fullface. "Gue kira dia yang minta nomor lo, Milan," ucap Tasya mendesah setelah mendengar cerita Milan yang malah terkesan ... miris karena Vredo yang sepertinya tak merespon banyak. "Lo pinter tapi kenapa jadi otak kebo gini sih, pas lagi sama Vredo. Bisa-bisa lo dibilang kegatelan tahu, Mil." "Biarin, orang gue emang mau tahu nama sama nomor WA-nya kok." Melihat kepolosan seorang Milan itu, ketiga gadis itu segera bangkit sembari menutup mukanya dengan telapak tangan. Sembari mengucapkan, "Milan bukan temen gue." *** "Ke mana, Mil?" tanya Naya ketika Milan memasukkan semua buku dan alat tulisnya segera. "Ke ruang PMR, rapat dadakan. Gara-gara sepupu lo yang menjelma jadi ketua sok ngatur itu, mana egois lagi," ucap Milan mengerutu. "Ai?" "Emang lo punya sepupu lain yang jadi ketua PMR di sini? Nggak kan?" Naya mengerucutkan bibirnya, "Ye, gue kan Cuma nanya. Jadi orang kok galak banget, kasian Kak Vredo kalau tau tabiat asli lo, Mil." Mendengar hal tersebut, mata Milan melotot tajam bahkan nyaris keluar dari tempatnya. Sebelum benar-benar keluar dari kelas, Milan menggebrak meja di depan Naya hingga membuat gadis itu berjengit. Milan lari, namun di telinganya sempat terdengar jeritan melengking milik Naya. "Woy Milan s****n, awas kalau ketemu!" Milan terkekeh lantas melanjutkan langkahnya dengan cepat, bisa gawat kalau dia sampai terlambat sampai. Bisa-bisa Ai yang sialnya jadi ketua PMR dan dia sebagai wakilnya, akan mencecarnya dengan begitu buat, seenak hati. Karena Milan sudah hafal betul sifat Ai yang begitu menyebalkan itu. "HEH! Ke ruang wakasek sekarang, minta tanda tangan buat proposal ini." Suara Aidil yang terdengar membakar telinga Milan membuat gadis itu menggeram. Belum sampai Milan menjawab atau berbalik, tangan kokoh Aidil sudah menarik bahunya hingga nyaris terjengkang. Milan melotot. "Lo punya etika nggak sih?!" jerit Milan mulai kesal. "Di mana-mana orang minta tolong itu dengan baik, ucapin selamat sore kek, salam kek, atau apa gitu. Beneran udah ketelen kayaknya itu otak!" "Woah, santai dong. Oke, ulangin," Aidil menarik napas. "Assalamu'alaikum, ukhti. Ai boleh minta tolong 'kan?" "Nggak! Basi tauk!" Dengan kesal, Aidil menjawab, "Tuh kan salah lagi salah lagi, apa perlu gue ganti kelamin biar sekali-kali bener?" "Sekalian ganti itu otak pake aki sepeda!" cecar Milan dan segera berbalik untuk sepegera pergi dari wajah s****n itu. "Milan! Ketua PMR yang selalu juara satu dan kemarin baru aja menang olim ini suruh lo buat ke ruang wakasek," ucap Aidil sembari menarik ransel abu-abu milik Milan. Dengan begitu frustrasi, Milan berjongkok di lantas, "Lo punya humas kan? Kenapa gue yang harus nyari? Gur ini wakil." "Dan jangan lupa kalau gue ini ketuanya." Lelaki itu tersenyum miring sembari menyilangkan tangan. "Udah berdiri, jangan jadi gembel di sekitar ciliwung deh. Ambil proposal ini abis itu minta tanda tangan." Aidil melemparkan proposal itu sebelum Milan benar-benar berdiri, persis sekali gadis itu seperti pengemis yang dilempari koran mingguan oleh pejalan kaki. Dasar Aidil tak punya otak! "Setelah dapet, langsung ke ruangan ya. Jangan kelayapan, babay Milan cantik," ucap Aidil dari kejauhan sembari melambaikan tangan dengan senyum liciknya. "Dasar cowok iblis!" *** Entah kesialan berwujud seperti apa, tapi Milan sungguh merutuki kesialannya itu. Jam keempat ini dia disuruh mengantarkan tugas Sejarah yang tadi pagi di berikan guru pengampunya dan saat di koridor dia melihat Ai yang baru keluar dari toilet. Milan harus segera enyah! Sedangkan Aidil memicingkan mata di koridor depan, tangannya tiba-tiba terangkat ke udara untuk melambai. Tentu saja pada Milan. Dan hal itu membuat gadis tersebut mendengus. "Iblis dari planet pluto nih pasti, dari bau-baunya kebanyakan dosa," ucap Milan sengaja dengan volume keras saat Aidil sudah berlari ke arahnya. "Yang penting ganteng. Zaman sekarang itu, Milan, nggak ada orang yang nggak punya dosa. Lo sendiri punya banyak kan?" tanya Aidil terkekeh. "Bohong kalau lo jawab 'nggak'." Milan merapatkan bibirnya ketika ucapannya telah dipotong sepihak oleh Aidil. Gadis itu berjalan dengan cepat namun lagi-lagi Aidil mengikuti. "Mau lo apa sih??! Jangan ikutin gue! Tuh masih banyak jalan, nggak usah alesan tujuan kita sama. Itu basi!" "Tujuan gue kan emang ngikutin lo, Milan," jawab Aidil dengan tersenyum. "Btw, Milan, makasih kemarin udah bantuin minta tanda tangan. Eh, gue ada usul nih. Gimana kalau lo merangkap wakil sama humas, pasti seru tuh." Kaki Milan yang melangkah seketika berhenti, kepalanya berputar ke samping untuk menatap Aidil. "Lo kalo ngomong pinter banget ya? Lo pikir tangan sama kaki gue berapa, seribu?" "Ya nggak mungkin lah seribu, Milan. Tangan lo dua, itu yang lagi ngangkat buku dan kaki lo ju—" "Berhenti ceramahin gue!" bentak Milan, "kenapa nggak lo aja yang merangkap, HA?!" "Nanti lo ngatain gue serakah lagi. Udah dapet juara satu terus, menang banyak lomba, jadi ketua, masa humas juga gue sabet." "HA HA HA! Itu ngga lucu!" Milan menghentakkan kakinya ke tanah lantas berlari menghindari Ai yang memang menyebalkan. *** A/n: To be continue, banyak typo belum sempat edit, hehe ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD