bc

Rindu Terpisah di Palung Mariana

book_age16+
5
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
twisted
sweet
mystery
like
intro-logo
Blurb

Seseorang itu adalah aku. Seseorang yang penuh dengan ketabahan, dalam menahan ketirisan takdir yang abstrak. Betapa lapang dadanya diriku, yang dengan ikhlas memberimu kesempatan untuk memilikinya.

Seseorang itu adalah aku. Seseorang yang rela melepaskan satu harapan, Hingga tiada lagi yang bisa kurasakan selain harus berbesar hati dalam menerima kenyataan yang pahit ini.

Dan seseorang itu adalah aku. Seseorang yang begitu ikhlas merelakan kekasih yang selama ini kucintai telah pergi dan bersanding dengan sahabatku sendiri.

Bila harus mengingat masa kecil itu, betapa indahnya jalinan persahabatan kita. Namun, hadirnya seorang puan diantara kita telah menghancurkan perjalanan bahtera di atas samudra, dan hanya menyisakan puing-puing penyesalan.

Karena aku juga mencintai dirinya, dan aku punya harapan untuk bisa milikinya. Dan kini jiwamu telah melayang jauh, dan ragamu telah hilang diterpa badai gelombang, dan berlabuh di dasar lautan terdalam.

Selamat jalan sahabatku. Aku akan selalu merindukanmu meski kenanganmu telah berlalu, dan menjadi butiran debu dalam badai rindu.

chap-preview
Free preview
Palung Mariana
… Menyelami kehidupan dalam indahnya kebersamaan …            Palung Mariana. Semua orang pasti sudah pernah mendengarnya, meski belum pernah menjumpainya. Ya, palung tersebut merupakan sebuah palung terdalam di muka bumi ini, yang dalamnya bisa mencapai sebelas kilometer, sungguh tak bisa dibayangkan berapa besar tekanan di dasar lautan itu.           Namaku adalah Alfi, anak manis yang baru berusia dua belas tahun, hobiku memancing, terutama jika mancingnya di wilayah lautan. Dan laki-laki bertubuh sedang dengan wajah yang sangat tampan itu namanya adalah Amir, sahabatku. Ke manapun kita pergi baik di saat sekolah maupun bermain, kita selalu bersama-sama, dan tak terasa pula kita berdua sudah sama-sama duduk di bangku kelas enam SD.           “Kira-kira berapa kilo lagi nih kita bakal sampai di pelabuhan?" tanyaku padanya.           “Sabarlah, sepuluh menit lagi juga bakalan sampai kok." jawabnya.           “Ahhh lu daritadi ngomongnya sepuluh menit sepuluh menit melulu, aku sudah nggak tahan mau kebelet pipis nih." balasku.           “Yaelah kenapa lu nggak bilang daritadi, tahu gitu kita mampir dulu di pom bensin." cetusnya.           Lima belas menit pun telah berlalu, aku dan Amir mulai tiba di sebuah pelabuhan besar yang tepatnya berada di pulau Papua.           “Yaudah buruan sana, katanya udah kebelet!" serunya.           “Iya-iya, tapi masalahnya toiletnya di mana?" tanyaku.           “Sini gue kasih tahu. Lu naik kapal besar itu terus nyebrang ke laut seberang, baru di situ toiletnya." ledeknya.           “Ahh lu ini Mir, orang udah kebelet masih saja bercanda." tukasku.           Satu jam lagi kapal akan segera berangkat, dan ini akan menjadi petualangan yang sangat besar bagi kita, karena tujuan kita tak ada lagi selain menuju palung Mariana. Sebenarnya, tujuan utama kita bukanlah ke palung Mariana, melainkan ke negara Jepang dengan mengendarai kapal yang super besar, jadi palung tersebut hanyalah sebagai persinggahan sebentar untuk kita lewati. Di atas kapal inilah, aku dan Amir mulai berdiri, suara klakson mulai terdengar dengan sangat keras, dan dengan perlahan kapal ini mulai melaju.           Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan sehingga kita berdua bisa mengarungi samudra yang luas ini dengan penuh gembira. Kita mulai berjalan mendekati pagar yang ada di tepi bagian kapal. Pemandangan di sore hari ini begitu sangat indah, angin mulai berhembus dengan sangat kencang dan puluhan lumba-lumba mulai menari di hadapanku.           “Hemmm, bagiku ini adalah pemandangan yang sangat indah. Kumerasa terhibur melihatnya." ucapku.           “Sejak kelas satu, kok lu suka banget sih bila diajak main ke laut?" gumamnya.           “Gue juga nggak tahu kenapa, karena bagi gue lautan itu merupakan sebuah pelita bagi hatiku. Masya Allah, sungguh besar dan luar biasa ciptan-Mu." jawabku.           “Oh ya Alfi, kan ada tuh laut yang memiliki dua warna seakan-akan terpisah, padahal kita bisa melihatnya dengan mata telanjang." imbuhnya.           “Oh iya, yang aku tahu hal tersebut sudah disebutkan di dalam Al-Qur’an surat Ar - Rahman." jawabku singkat.           Hingga ketika malam hari telah tiba, kita masih sempat ngobrol dan bercanda di sini. Dari dulu sifatku dengan sifat Amir memang nggak pernah berubah, selalu bisa memberikan kenyamanan antar satu sama lain.           Kumulai merasa tidak nyaman di saat duduk, dan sepertinya ada sesuatu yang aneh di bawah pantatku. Oh ternyata aku telah menemukan sebuah dadu di sakuku. Sambil berbicara, aku mulai memainkan dadu tersebut di atas meja saat Amir bercerita panjang lebar atas curhatnya. Dadu tersebut kulemparkan ke atas sedikit lalu kubiarkan terjatuh, hal itu kulakukan sebanyak sepuluh kali, tetapi anehnya titik angka dari dadu tersebut keluarnya selalu di angka ganjil, yaitu satu, tiga, dan lima. Bila hal ini merupakan sebuah kebetulan, sepertinya juga tidak mungkin.           “Oh ya Alfi, biar nggak bosan, gimana kalau kita main tebak-tebakan?" ujarnya.           “Terserah lu aja deh, yang penting tidak bikin kita ngantuk." jawabku.           “Oke, gue dulu ya. Kenapa air laut rasanya asin?" tebaknya.           “Emmm, ya memang sudah takdirnya." jawabku.           “Yaelah, sok alim banget lu." tukasnya.           “Terus apa coba?" tanyaku.           “Karena ikan-ikannya pada keringetan, hahaha." jawab Amir kemudian.           “Yaelah, ya jelas aja masuk akal. Tiap hari ikan-ikannya pada olahraga nyelem." balasku.           Semakin malam waktu yang kita nikmati terasa semakin asyik, sampai kita lupa bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.           “Ya sudah tidur yuk! dari tadi bercanda terus, bisa-bisa nggak shalat Subuh ntar." gerutu Amir.           “Lu sih, malem-malem masih doyan curhat aja." jawabku.           Lalu kita segera menuju kamar A5, aku dan Amir mulai memejamkan mata, berharap besok akan kita temui hari yang lebih cerah, hari yang penuh dengan bahagia.           Tetapi kita hanyalah manusia yang lemah, bilamana datang suatu hal yang menyedihkan, tak ada yang bisa kita lakukan kecuali hanya bersabar. Sebuah musibah tak terduga mulai datang menghampiri kita, jam dua pagi adalah waktu yang cukup menegangkan. Sebuah ombak besar dan ganas telah menghantam kapal kita sampai sisi kiri belakang kapal retak. Hembusan angin kencang dari dua arah mulai berlawanan, membuat kapal ini sulit untuk dikendalikan. Atas kejadian itu, aku dan Amir mulai terbangun dan keluar kamar untuk melihat apa yang telah terjadi.           “Astaghfirullah hal adzim ada apa ini Mir?" tanyaku.           “Wahhh itu badai besar Alfi, sungguh sangat mengerikan sekali." jawabnya.           Kapal ini terus bergoyang, badai serta ombak besar terus menghantam disertai hujan deras yang mengguyur habis kapal ini. Ombak besar kembali menghantam bodi kapal dengan pukulan yang sangat keras sampai pada akhirnya posisi kapal miring dua puluh derajat. Aku dan Amir pun terjatuh sampai ke bagian lantai bawah.           “Amir, pegangan yang kuat ya, kita kembali naik ke atas dan masuk kembali ke dalam kapal!” seruku.           “Baik Fi, ayo.” Jawabnya.           “Badai semakin kencang, sebuah ombak besar datang dan mengguyur serta menghempaskan kita berdua. Amir terlepas dari apa yang dia pegang, saat ombak tersebut perlahan menghilang, Amir sudah tak terlihat lagi. Ya Allah, sepertinya Amir telah hilang ditelan ombak.           “Aamiiirrrrrr.” Teriakku dengan sangat keras. ***           Mataku mulai terbuka dan mulai terbangun dari tidurku. Aku segera membaca doa dan kuteguk segelas air putih, ya Allah apa yang baru saja kualami, adalah mimpi buruk yang cukup menegangkan. Aku dan Amir baru saja menjalani petualangan dengan menyeberangi lautan, namun tiba-tiba badai datang dan menghempaskan kita berdua. Tetapi diriku patut bersyukur jika itu hanyalah sebuah mimpi, semoga mimpi itu bukanlah pertanda besar untuk kita.           “Semalam kamu tidur jam berapa Fi, kok tumben jam tiga sudah bangun?" tanya ibu di saat kita sedang sarapan bersama.           “Jam delapan Alfi sudah tidur buk, tapi karena gara-gara Alfi mimpi buruk, jadi terbangun deh." jawabku.           “Oh, memang semalam kamu mimpi apa?" tanya ibu kembali.           “Assalamualaikum." ucap Amir dengan cukup lantang.           Belum sempat diriku bercerita pada ibu, tiba-tiba Amir datang menjemputku, seperti biasa kita selalu berangkat sekolah bersama.           “Ya sudah cepetan makannya, temenmu udah jemput tuh!" seru ibu.           “Baik buk." jawabku.           Lalu aku dan Amir mulai berangkat sekolah bersama dengan berjalan kaki. Tak begitu jauh perjalanan yang akan kita lakukan, mungkin sekitar dua kilometer saja.           “Hemmm, gimana rencana kita besok yang mau main ke pantai Fi?" tanya Amir.           “Entahlah." jawabku singkat.           “Kok lu cuek gitu sih, jadi apa nggak nih mumpung besok tanggal merah loh." desaknya.           “Mir, aku rasa besok sebaiknya kita batalin dulu saja deh. Terserah kita main ke mana asal jangan ke pantai dululah." ujarku.           “Waduh, kenapa lu jadi berubah pikiran kayak gini sih Vi, padahal kemarin lu semangat banget yang ngerencanain main besok." keluhnya.           “Iya karena semalam gue habis mimpi buruk Mir, dan ini juga ada kaitannya dengan lu. Gue takut mimpi tersebut jadi pertanda hal buruk, jadi alangkah baiknya jika kita batalin dulu." ujarku.           “Ahhh lu kayak peramal mimpi aja. Ya sudah kalau begitu kita main ke mana besok, mumpung gue udah ada banyak persiapan?" tanyanya.           “Kita mancing saja di telaga Mentari, musim dingin kayak gini pasti banyak ikan yang kawin." jawabku.           “Hmmm, dari dulu hobi lu sukanya mancing melulu' nggak ada bosen-bosennya. Ya sudah deh yang penting besok bisa main." keluhnya.           Bersyukur kepada Allah, bersyukur sepanjang waktu. Alhamdulillah wa syukurilah kita berdua masih diberi kesehatan oleh-Nya, sehingga pada hari ini kita masih mampu dalam menjalani hari dengan sebaik-baiknya. Aku dan Amir seakan seperti saudara kandung, kedekatanku dengannya seperti dua jari di tangan ini, kuberharap persahabatan kita bisa tetap utuh hingga akhir hayat nanti.           Soal status diriku memang jauh berbeda dengannya. Aku hanyalah anak yang dibesarkan oleh seorang buruh dan hidup sederhana. Berbeda dengan Amir yang merupakan keturunan dari keluarga yang berkecukupan, ayahnya seorang jendral TNI angkatan laut, dan ibunya seorang dokter. Namun perbedaan status ekonomi bukanlah penghalang bagi kita berdua, karena persahabatan kita memang murni sejak kita sama-sama duduk di bangku TK.           Kring kring kring, jam istirahat telah tiba. Kini saatnya diriku makan sejenak di kelas, entah kenapa tiba-tiba perut ini merasa mules, membuatku tidak mood yang mau sarapan. Lebih baik kusempatkan saja sebentar untuk buang hajat di kamar mandi. Sampai detik ini kumasih kepikiran dengan peristiwa mimpi buruk semalam, membuat langkah kakiku tak tenang di saatku berjalan. Entahlah, tak sepatutnya diriku memprediksi mimpi itu, karena semua itu hanyalah Allah yang tahu.           Aku baru saja keluar dari kamar mandi, lalu tiba-tiba ada keramaian di kelas paling pojok.           “Hei Alfi, kamu ke mana aja?" tanya Doni teman sekelasku.           “Gue habis buang air, perut gue mules banget. Ada apaan sih tuh ramai banget?" tanyaku.           “Aduh gawat deh, Amir berantem lagi sama anak sebelah." jawabnya.           “Yang bener aja Don." sontakku.           “Ya sudah pokoknya lu cepetan ke sana, gue mau panggil guru!" seru Doni.           Dengan sigap, aku langsung berlari menuju mereka. Jalanan sedikit padat karena banyak siswa yang menyaksikan perkelahian mereka.           “Hei awas minggir-minggir." teriakku.           “Amir stop hentikan!" bentakku sambil melerai mereka berdua.           Tak lama kemudian pak Fajar selaku waka kesiswaan pun datang.           “Hei ada apa ini?" teriak pak Fajar sambil memukul mereka berdua.           “Kalian berdua ini ya, sudah kelas enam bukannya sibuk belajar malah berantem.           “Dia tuh yang cari gara-gara duluan pak." ucap Krisna.           “Ehh enak aja lu ngomong. Lu tuh." bantah Amir.           “Sudah cukup nggak usah berdebat, sekarang aku minta kalian berdua ke kantor sekarang, cepatttt!" bentak pak Fajar.           Amir dan Krisna pun digelandang ke kantor untuk menjalani sanksi dari guru. Aku benar-benar tak menyangka kenapa dari dulu Amir selalu saja suka berkelahi, padahal sudah seringkali dirinya dihukum tapi tetap saja tak pernah jera.           Aku kembali masuk kelas ketika jam pelajaran selanjutnya telah dimulai, sudah pasti tak ada Amir di sampingku. Dari dalam kelas, kumulai menatap jendela, kulihat Amir dan Krisna dihukum di tengah lapangan dengan berdiri menghadap tiang bendera sambil hormat di mana mereka harus tetap berdiri sampai tiba jam pulang sekolah. Dan ketika jam pulang telah tiba, kumulai memarahi Amir saat kita berdua sedang dalam perjalanan pulang.           “Aduh Amir Amir, sampai kapan sih lu seperti ini? nggak ada kapok-kapoknya ya lu dihukum karena berkelahi." ucapku dengan sedikit amarah.           “Ahh lu ini Fi, gue udah babak belur begini masih aja lu marahin gue." jawabnya.           “Ya jelas lah gue marah, karena nggak sekali dua kali lu begini. Sekarang lu di skorsing 1 minggu, apa kira-kira nanti kata bokap nyokab lu." tegasku.           “Udahlah, ntar kalau gue dewasa pasti juga bakalan berhenti tarung kok, kecuali kalau ada turnamen aja." bantahnya.           “Hmmmm, paling susah ngomong sama anak-anak karate." imbuhku.           Lalu aku dan dia mulai tiba di rumahnya.           “Ya ampun Amir, kamu kenapa lagi nak?" tanya ibunya cemas.           “Biasa tante, habis naklukkin macan sirkus." ledekku.           “Apaan sih Fi, bercanda amat." sahut Amir.           “Tante, ini surat dari sekolah, agar Amir diistirahatkan selama satu minggu alias di skorsing." ucapku.           “Kamu berantem lagi nak, ya ampun kenapa bisa begini sih nak." tanya ibunya.           “Udah nggak apa-apa ma, ya sudah Amir masuk kamar dulu." jawabnya.           “Makasih ya Alfi udah nganterin Amir pulang." ucap beliau.           “Sama-sama tante. Ya sudah Alfi pulang dulu ya, Assalamualaikum." ucapku.           “Walaikum salam." jawab beliau kembali.           Macan mungkin masih mudah untuk dijinakkan, lain dengan Amir yang keras kepala. Dari dulu hobinya berantem saja, sudah sering dihukum tapi masih saja tidak jera, ya sudahlah namanya juga anak jenderal.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Dilamar Janda

read
319.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

JANUARI

read
37.1K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook