Persahabatan

1535 Words
… Dunia yang tak ada bedanya dengan sebuah jembatan …            Hari demi hari telah kita lewati bersama, tak terhitung sudah berapa banyak waktu yang telah kita habiskan berdua, entah itu di saat kita bermain, belajar maupun beribadah. Sejak dulu hingga saat ini, kita berdua sangat jarang sekali bertengkar dan saling tak tegur sapa kecuali ngambek. Karena terkadang Amir sendiri selalu egois tapi asyik, mungkin karena diriku yang terlalu lugu bilamana kita mendapati satu masalah, selalu saja diriku yang mengalah.           Aku kembali berjalan menuju rumahnya di sore hari ini, apa yang akan kita berdua lakukan tiada lain adalah belajar bersama, karena kita menyadari bahwa esok hari selama empat hari ke depan kita akan menghadapi ujian akhir sekolah.           “Assalamualaikum." ucapku saat tiba di rumahnya.           “Walaikum salam Fi, mari silakan duduk." pintanya.           Lalu aku dan dia mulai terduduk di sebuah ruangan pojok dekat ruang tamu.           Saat aku terduduk, kumulai mengeluarkan buku serta alat tulis dari dalam tas. Kali ini, semangat belajarku harus tinggi, karena kuberharap bisa lulus dengan nilai yang terbaik nantinya.           “Bentar ya Fi, gue ambil minuman dulu." ucapnya.           “Oke." jawabku.           Sambil menunggu Amir kembali, kumulai melihat sesuatu yang ada di ruang tamu ini. Banyak sekali entah itu foto, lencana atau sejenis pernak-pernik yang terpajang di dinding, yang tiada lain adalah album tentang ayahnya Amir. Foto-foto di segala momen pun ada, mulai dari berseragam taruna, perwira, PDL maupun PDH, wajar saja karena ayahnya sudah dua puluh tahun lebih menjabat sebagai aparat TNI yang saat ini sudah berpangkat jenderal.           “Nih Alfi minum dulu." pintanya.           “Oh iya Mir, papamu sekarang di mana. Udah sebulan ini nggak pernah kelihatan?" tanyaku.           “Oh, papa lagi berlayar selama tiga bulan di laut." jawabnya.           “Maksudnya di kantor dinas dekat laut begitu?" tanyaku.           “Bukan, tapi di kapalnya." jawabnya singkat.           “Oh begitu ya." imbuhku.           “Iya, jadi selama tiga bulan tuh papa hanya ada di atas laut di dalam kapal, melatih para bawahannya sekaligus berlayar mengelilingi nusantara." jelasnya.           “Hmmm, asyik juga tuh sepertinya." gumamku.           “Entahlah, sebenarnya gue juga pengen main ke laut, apalagi bisa mengelilingi samudra." curhatnya.           “Sama, gue juga pengen main ke palung Mariana." celetukku.           “Ahhh, kamu ada-ada saja sih, palung Mariana kan menakutkan.” Tukasnya.           “Justru itu, aku ingin sekali melihat kebesaran Allah di sana, apalagi kalau bisa menjelajahi sampai ke dasar laut, wahhhh bisa masuk rekor muri nih.” Tambahku.           “Sebagai orang Indonesia yang pertama kali berhasil menjelahi palung tersebut gitu.” Balasnya.           “Ya iyalah, sebagaimana Neil Armstrong, hehehe.” celetukku kemudian.           Setelah beberapa minggu kita menjalani ujian serta liburan sekolah yang tak terlalu panjang, Alhamdulillah tibalah di hari ini kita telah menerima informasi bahwa kita berdua dinyatakan lulus. Bersyukur sekali untuk hari ini, dan bahagia sudah pasti kualami. Bukan hanya itu, tetapi aku dan Amir akan melanjutkan ke sekolah SMP yang sama, ya semoga saja kita berdua bisa satu kelas dan tentunya juga sebangku.           Awal masuk sekolah baru masih kurang sepuluh hari lagi, jadi bisa kita manfaatkan untuk liburan sejenak. Ketika hari telah berganti, kebetulan keluarga mengajakku ke rumah kakek yang ada di pulau Madura selama dua hari, maka sudah pasti pasti di dua hari tersebut aku dan Amir takkan bisa bertatap muka. Keesokan hari pun telah tiba, dan aku beserta keluarga mulai berangkat menuju kota Sumenep yang ada di pulau Madura.           Seru juga perjalanan kali ini, di mana aku bisa menikmati suasana yang penuh dengan kesejukan serta kedamaian dalam jiwa. Seperti inikah kota Malang, yang dari dulu suasananya tidak pernah berubah. Namun sepertinya jauh berbeda dengan apa yang dirasakan ibu di saat diriku belum lahir, katanya Malang itu sangat dingin sekali lebih dari yang sekarang, mungkin karena sudah zamannya yang penuh dengan teknologi sehingga dari tahun ke tahun bumi semakin panas.           Dan tak terasa waktu dua jam telah kita lewati, kini tiba saatnya perjalanan kali ini akan melewati jembatan Suramadu. Entah kenapa dari dulu aku sangat suka dengan pemandangan lautan, padahal rumahku tak begitu jauh jaraknya dari lautan. Mungkin ada hikmah di balik semua ini bahwa diriku takkan pernah bosan mengagumi ciptaan Allah yang berwujud lautan.           Angin berhembus dengan sangat kencang saat kita berada di posisi tengah jembatan, jalanan yang halus membuat laju mobil ini seakan melesat terbang bagai pesawat jet. Burung-burung pun terbang di atas kapal-kapal barang yang melintas, membuatku terhibur akan suasana itu. Aku mulai berkhayal dalam hati, andai diriku punya sayap, maka dengan penuh semangat aku akan mengarungi seberapa luas bentangan samudra hingga tembus sampai samudra Pasifik, tempat yang sangat kuimpikan selama ini.           Entah kenapa tidak begitu lama kita melintasi selat ini, hanya dalam waktu tak sampai sepuluh menit saja, kita sudah sampai di pulau yang baru yaitu di kota Bangkalan. Perpisahanku dengan lautan itu telah membuahkan kesedihan walau hanya setitik. Entahlah, barangkali besok aku bisa melewatinya kembali, meski hanya sebentar namun telah memberikan diriku sejuta makna yang sesungguhnya. Dan kita kembali melanjutkan perjalanan ke kota Sumenep, aku sadar perjalanan kita masih kurang empat jam, lebih baik kupejamkan mata saja dan tidur sejenak.           Dalam pejaman mata ini kumulai berpikir. Perjalanan dari Malang ke Surabaya baru saja ditempuh dengan jarak dua jam, setelah itu melintasi jembatan Suramadu hanya dalam waktu sepuluh menit saja, dan ditambah lagi waktu empat jam untuk bisa sampai ke kota Sumenep. Dari ketiga tempat ini, jembatan Suramadulah yang paling singkat waktunya di saat kita melewatinya.           Menyikapi hal tersebut, aku mulai meyakini bahwa dunia yang kita tempati saat ini tak ada bedanya dengan jembatan itu. Kita sebagai manusia sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu, lalu kita dihidupkan lagi di dunia yang waktunya hanya berkisar enam puluh tiga tahun, dan setelah mati kita akan menghadapi kehidupan yang jauh lebih panjang lagi sampai tiba alam akhirat yang kekal abadi. Sungguh sulit dibayangkan bahwa hidup kita yang singkat ini akan menentukan nasib kita setelah mati.           Dan aku mulai terbangun dari tidurku, ternyata perjalanan masih cukup panjang. Namun kumerasa terhibur karena disaat diriku membuka jendela mobil ini, pemandangan lautan terlihat kembali dengan sangat jelas.           “Yah, itu laut selatan ya?" tanyaku pada ayah.           “Bukan, itu laut utara." jawabnya.           “Loh kok bisa, kan laut itu ada di sebelah selatan kita." gumamku.           “Iya, laut itu dinamakan laut selatan jika kita ada di pulau Madura, tapi akan dinamakan laut utara kalau kita ada di pulau Jawa." terangnya.           “Oh, berarti di seberang lautan itu pulau Jawa kah?" tanyaku.           “Iya Alfi, kamu tahu BJBR yang ada di kota Probolinggo?" tanya ayah.           “Ya taulah, tahun kemarin kan kita pernah ke sana." jawabku.           “Nah, kalau kita menyeberangi lautan itu, pasti kita akan sampai di BJBR." jawab ayah.           “Wahhhh keren banget, pantesan lautan itu nggak ada ombaknya." tambahku.           Pekan demi pekan telah kita lewati, dalam perjalanan pulang dari sekolah aku sempat memarahi Amir di jalan. Seperti biasa Amir baru saja berkelahi dengan teman sekelas, aku heran padahal kita sudah di tingkat SMP,  tapi kelakuan Amir masih saja tidak berubah. Mungkin hal ini terjadi karena Amir mulai sombong karena sudah naik pangkat di grup karatenya, apakah semua anak-anak karate memiliki karakter seperti itu, sepertinya juga tidak. Jika hal ini sampai dewasa tetap terjadi pada diri Amir, bisa jadi dia akan menjadi sosok Jackie Chan yang di atas normal.           Aku dan Amir mulai melintasi perkotaan, jarak rumah kita dengan sekolah memang lumayan jauh tapi kita tak pernah lelah apalagi bosan di saat pulang sekolah selalu menikmati perjalanan bersama. Entah apa yang sudah terjadi, tiba-tiba kita berdua dihadang oleh seorang lelaki tinggi, kurus, berbaju usang yang tidak lain dia adalah preman yang suka memalak anak-anak sekolah.           “Heiii, mau ke mana lu?" ucapnya.           “Mau pulang bang, kenapa emangnya?" tanyaku dengan sedikit merasa ketakutan.           “Lu tau nggak? setiap anak sekolah yang lewat di jalan ini, wajib bayar setoran." palaknya.           “Loh, ini kan jalan umum bang." bantahku.           “Wah pemalakan ini namanya." sahut Amir.           “Udah nggak usah banyak bacot, cepat serahin semua uang-uang kalian." bentaknya.           “Ya nggak bisa gitu bang enak aja. Kalau mau dapet uang tuh ya kerja" balas Amir.           “Lu berani sama gue?" tantang preman tersebut.           “Siapa takut, emangnya lu Tuhan yang perlu untuk ditakutin." Amir semakin melawan.           “Amir sudah nggak usah ngelawan." desakku.           Lalu preman tersebut mendorong tubuh kita hingga terjatuh. Amir mulai bangkit dan mulai beraksi menunjukkan skillnya. Perkelahian Amir dan preman tersebut layaknya film Mortal Kombat, saat preman itu dibekap Amir, preman tersebut sepertinya tak bisa berbuat apa-apa.           “Alfi cepat lakukan sesuatu!" seru Amir.           Aku bingung harus berbuat apa lagi, tapi akhirnya diriku mulai nemu ide. Kuambil sebuah tong sampah lalu kukalungkan di kepala preman tersebut. Berbekal kekuatan super, Amir mulai menendang tong sampah tersebut hingga preman itu jatuh dan masuk ke parit.           “Ayo kabur!!!!!" seru Amir.           Kita berdua segera berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.           “Heiii, awas lu ya." teriak dan ancam preman tersebut.           Hebat sekali dari apa yang baru saja Amir lakukan terhadap preman tersebut, mampu menghajarnya sampai preman itu hampir-hampir tak bisa melawan. Sudah menjadi karakternya bila Amir itu paling jago dalam bertarung, wajar saja namanya juga anak karate yang setiap harinya selalu rutin berlatih, lain dengan diriku yang hobinya hanya memancing saja. Entahlah, suatu saat nanti kita pasti bakal menemukan cita-citanya masing-masing, Amir menjadi pegulat dan aku menjadi seorang nelayan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD