Aku sudah menceritakan semuanya pada Mila. Bagaimana kami bertemu, percakapan kami, dan bagaimana kami berpisah begitu saja. Mila mendengarkan tanpa mengatakan apa pun. Ia diam sembari mengetuk-ngetukan jari hasil manicure-nya ke meja. Aku yang tiap selesai bercerita selalu menghabiskan minuman di gelasku dan meminta sang bartender mengisi ulang gelas yang kosong, membuat kepalaku sedikit berat. Aku sudah sedikit mabuk.
Kali ini, aku tidak menangis. Air mataku rasanya sudah nyaris habis karena setelah pulang kantor setelah kejadian makan siang itu aku sudah menangis sejadi-jadinya. Aku memutuskan untuk menginap di hotel, tak mau jika tangisanku menjadi topik heboh di rumah. Aku belum sanggup juga memberi tahu orang tuaku tentang Arya. Ternyata, di usia yang sudah segini matangnya, aku masih saja belum bisa menerima perpisahan kami. That’s the best thing a girl in this world can be, a beautiful little fool. Satu kutipan dari Daisy Buchanan di The Great Gatsby saat ia bercerita tentang anak perempuannya pada Nick ketika ia melahirkan seorang diri tanpa Tom. A beautiful little fool, alasan klise yang kini bisa ku labelkan pada diriku sendiri yang sebenarnya hanyalah satu bentuk degradasi diri.
“Lo masih mau lanjutin misi konyol lo itu?” Mila akhirnya membuka mulut.
Aku meletakan kepala ke meja, “setelah gue ketemu Arya lagi… ternyata gue masih cinta banget sama dia.”
“Dia udah beli cincin, loh, Cha. Dan itu bukan buat lo lagi. Seseorang di luar sana udah pakai cincinnya di jari manis.”
“Gue tahu…”
“Lo mau Arya balik, setelahnya apa?”
“Gue pikirin itu nanti. Yang jelas sekarang gue nggak terima Arya sama cewek mana pun itu apa lagi tunangan.”
Mila tertawa mengejek. “Jadi lo akan dateng ke semua seminar dan pelatihan lanjutan yang biasa Arya datengin?”
“Ya.”
“Apa cinta lo cukup buat Arya balik?”
“Gue coba.”
Mila menghela napasa dalam, “lo bukan jenis orang yang bisa dilarang meski itu hal yang nggak baik buat lo, yang bisa buat lo berhenti cuma after effect yang akan lo dapet nanti. So, ya, terserah lo aja sekarang.”
Mila memerhatikan es yang ada di gelasnya yang kosong. Suara musik yang kencang membuat kami seakan berada di tempat yang salah. Satu sisi yang sering didatangi, namun tak terjamah hiruk-pikuk yang tempat ini tawarkan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melantai bersama puluhan orang yang mencari hiburan dengan menggerakan badan mereka mengikuti irama lagu dan kesadaran yang lambat laun menghilang.
Meski sekarang music EDM yang bermain, namun otakku malah menyetel lagu-lagu melankolis nahas dengan lirik yang membuat hati kian terluka. Mungkin begini cara kerja alkohol, membuat siapa pun yang menenggaknya akan melupakan real time dengan imajinasi yang mereka inginkan atau pun rasakan. Aku membiarkan kerasnya meja menopang kepalaku yang sedikit limbung. Sambil memejamkan mata, memori tentang Arya tempo hari terputar dalam otak. Berjuta andai bergejolak, andaikan aku tidak mengajaknya makan siang, apa yang akan terjadi pada kami setelah perpisahan di Pho24 tempo hari, andaikan aku tidak mengatakan tentang fotonya bersama Renata, apa yang sekiranya akan dikatakan oleh Arya padaku, andaikan aku tidak memesankan makan siang kami, apakah Arya akan berinisiatif memesankannya untukku juga?
Aku menangis, mengais sisa air mata yang ku punya. Mila yang melihatku menangis tidak mengatakan apa-apa. Dan lagi pula tak perlu juga. Aku hanya ingin meluapkan kesedihanku pada tangisan kali ini. Untungnya Chandra tidak ikut, ia sedang ditugaskan kembali ke Singapura. Ku yakin sebentar lagi ia akan di tarik ke cabang pusat dan tak perlu mondar-mandir ke Indonesia-Singapura. Andaikan karirku secerah Chandra, rasanya aku tidak akan menangisi kepergian Arya, yang ku perlukan hanya bergumul dengan pekerjaan dan hilang dalam lusinan project yang ada. Sedangkan Tio, aku sudah pernah mengatakannya, kan? Tio tidak akan pernah menginjak Bar lagi semenjak ia menikah. Hidupnya sudah ia dedikasikan pada keluarga dan ia ingin menjadi imam yang baik bagi keluarga barunya, bagi Dewi dan calon anaknya nanti.
Menikah. Sebenarnya, menikah itu golnya apa?
Mila mengguncangkan badanku dan mengajakku untuk pulang. Kami sudah menghabiskan tiga jam sia-sia di bar dengan hanya minum dan mengatakan hal-hal yang mengganjal perasaan. Aku berusaha menegakkan badan, namun tentu saja badan ini limbung. Mila membantuku berjalan. Meski ia juga minum tak kalah banyak, namun Mila salah satu orang yang kuat dengan alkohol.
“Cha, gue cuma sendiri jadi lo harus kuat nopang badan lo juga, ya.” Kata Mila yang baru berapa langkah membantuku berjalan.
Aku tak mengatakan apa-apa, jelas, aku kan sudah mabuk.
“Duh, Cha.”
Namun, ada tangan lain yang membantu menopang bagian kiri dari badanku. Suaranya samar, namun sepertinya suara pria. Aku sudah tak sadar setelahnya. Yang aku ingat, ketika aku terbangun keesokan harinya, aku sudah berada di kamar Mila dan kepalaku nyeri luar biasa. Mataku pun perih karena semalam sibuk menangis ditambah sinar matahari yang masuk di sela tirai yang sedikit terbuka. Hari sudah siang, untungnya ini Sabtu.
Dan untuk sementara, aku memilih untuk kembali tidur sebelum akhirnya berlari ke toilet untuk muntah.
***
2. Stay on diet, cause I need to be ready for any training based on Arya’s.*Coret*
Coretan tebal dengan stabilo sudah ada di nomor satu poin cara mendapatkan Arya kembali. Usahaku untuk bisa melancarkan aksi kedua ternyata tidak dapat terlaksana. Awalnya ku pikir Arya akan datang ke PPL ini, namun aku salah. Arya tidak ada. Apa mungkin ia sedang sibuk jadi tidak bisa datang? Atau memang karena sudah penuh slot jadi dia mundur ke bulan berikutnya? Tapi ini bukan seperti kebiasaan Arya, ia tidak akan pernah tidak mendapatkan slot, karena ia orang yang benar-benar well prepared.
Aku menutup buku notes dan berjalan menuju ruangan untuk ikut bekumpul dengan orang-orang yang sedang santai dengan kopi dan camilan di jam coffee breaks di pelatihan lanjutan untuk memperpanjang lisensi broker. Dan ketika aku sedang mengambil kopi dari dispenser, seseorang menyapaku dengan senyum cerahnya.
Itu Rendi, yang entah kenapa terlihat jauh lebih glowing dari terakhir kali kami bertemu.
“Hai, Bianca.” Katanya, aku yang kaget agak mundur sedikit namun membalas senyumannnya.
“Oh, hai. Ikut PPL ini juga?” tanyaku basa-basi.
“Iya, saya duduk di belakang kebetulan, telat dateng.”
“Oh. Aku duduk paling depan kebetulan.”
“Sama siapa?” tanyanya menggiring kami ke bagian kue-kue kecil yang disajikan prasmanan yang berada di wadah-wadah piring yang besar.
“Kebetulan sendiri, yang lain udah ambil bulan lalu, aku ketinggalan kloter soalnya udah penuh bulan kemarin.” Jelasku.
“Udah agak mepet sih ya jadi cepet banget penuh. Saya juga daftar dari bulan lalu, dapetnya baru sekarang.”
Aku mengagguk sekenanya.
“Di sana kosong.” Tunjuk Rendi yang ternyata tidak memegang piring, hanya cangkir yang berisi kopi panas dan tanpa krimmer pula.
Aku mengekori Rendi ke salah satu meja kosong tanpa kursi. Jauh dari kerumunan orang yang berkumpul menjadi beberapa kelompok. Kebanyakan, di acara seperti ini, mereka sibuk mencari relasi atau sibuk membicarakan topik yang sedang hangat-hangatnya. Istilah Chandra, saling tampung sampah yang kemudian di daur ulang yang nantinya akan bisa menjadi bahan pembicaraan dalam menarik investor. Setidaknya, dengan tahu berbagai topik yang sedang hangat, investor dapat mengetahui kalau sang broker memang aktif di pasar saham.
Tapi sekarang aku sedang tidak mood untuk bersosialisasi, dan lagi, ada Rendi yang sudah mengajakku untuk menikmati waktu istirahat. Sebenarnya, aku agak bersyukur juga. Pria di hadapanku ini, entah kenapa bisa terlihat sempurna secara fisik dengan clean cut haircut dan juga fashion. Who the heck wearing a suit di PPL begini? No one, except him. Dan semilir parfum beraroma maskulin yang ku taksir keluaran Boss, Armani, atau sejenisnya yang sudah dipatenkan untuk para non-casual menguar dari tubuhnya.
“Apa Ruido Blanco punya standar tersendiri buat karyawan pria?” tanyaku tak sadar. Aku sedikit tersentak juga dengan pertanyaanku barusan. Mungkin kebiasaan minum harus ku kurangi agar otakku tidak rusak sebelum menjelang usia renta.
Rendi, yang tampak tidak tersinggung tertawa. Ia menatap jas yang dikenakannya, “Jas, ya?”
Aku mengangguk pelan, “iya.”
“Peraturan tertulis sih nggak, tapi udah jadi tradisi aja. Tradisi bullshit sih, karena anak perusahaan juga ada premium brand clothing jadinya standar pakaiannya kayak gini. Padahal Jakarta itu panas.”
Mau tak mau aku tertawa mendengar pengakuan Rendi.
“Jadi ini jas salah satu brand anak perusahaan?”
“Ini tailored suit kebetulan.”
“Wow, nggak mau deh taksir harganya.” Aku mengangkat kedua tangan tampak sok dramatis.
Rendi hanya tertawa.
“Aku denger juga kamu dulu mantan cover boy?”
“Dulu banget waktu jaman SMA. Cuma sebentar.”
“Kenapa nggak lanjut ke ekting misalnya? Modal untuk ke sana kan udah ada, kayak artis-aktor yang lain.”
“Hmm… mungkin karena dulu kepaksa kali ya, jadi nggak ada niatan juga untuk lanjut ke dunia entertain.”
“Kepaksa gimana? Eh sori kalo kedengeran kepo banget.”
Rendi tersenyum dan menggelang, ia memiringkan kepalanya sedikit dan membuat garis rahangnya yang tegas terlihat jelas.
“Dulu kakak perempuan saya yang masukin formulir buat ikut lomba cover boy di salah satu majalah. Dia mau adiknya sukses dan kenal sama Nicholas Saputra, ya alasan yang lumayan konyol sih. Dia fans berat soalnya, dan saya juga baru tau kalau kepilih pas nama saya ada di mading sekolah. Malunya bukan main.”
“Ketemu nggak akhirnya?” tanyaku penasaran.
“Nicholas Saputra? Ketemu, pernah bareng satu kali pas pemotretan cover majalah. Itu pencapaian kakak perempuan saya, dia seneng banget.”
Aku tertawa sembari menutup mulut dengan tangan, takut tidak sopan di depan Rendi. Tawaku juga menular padanya.
“Kalau dipikir-pikir, lucu juga sih. Sekarang ya, kalau dulu sih nggak lucu sama sekali, tapi malu.” Jelasnya.
“Aku jadi penasaran.” Kataku.
“Nggak usah dicari tahu.”
“Trus kok berhenti?”
“Sibuk kuliah, itu nggak lama dari pemotretan bareng Nicolas Saputra.”
Aku semakin tertarik dengan cerita Rendi, “dulu memang ambil jurusan apa?”
“Teknik perminyakan, kalau disambi sama modeling bukan pilihan yang menyenangkan.”
“Kenapa nggak ambil kerjaan di bidang minyak? Wah masuknya aja udah perjuangan banget, kan.”
“Jadi jaga SPBU gitu maksudnya?”
Aku tertawa lantang, “ya nggak gitu juga.”
Ia mendekatkan wajahnya padaku, mencoba untuk sedikit mengintimidasi dan pura-pura tersinggung. Namun yang ada aku malah kembali tertawa.
“Dulu pernah masuk ke salah satu perusahaan minyak, tapi ditempatin di Riau. Kebetulan ayah saya stroke dan kakak perempuan saya udah nikah dan tinggal di Dubai. Jadi kalau ada apa-apa nggak akan ada yang bisa bantu karena cuma ada Mama sama PRT, akhirnya saya resign karena nggak bisa pindah ke kantor di Jakarta.”
“Oh, gitu. I’m sorry to hear that.”
“Don’t be. Itu udah lama banget, Ayah saya udah meninggal dan Mama tinggal di Dubai sekarang. It’s okay.”
“Kamu buat saya semakin nggak enak.”
“Kamu tahu? Meninggal itu satu hal yang paling pasti buat manusia. Makanya saya bilang nggak pa-pa. waktu berkabung saya udah lewat, sekarang saya cuma mau mengenang memori sama Ayah yang seneng-senengnya aja. Laugh more, you’re looking good when you’re laughing.” Katanya sembari tersenyum.
Aku diam tiba-tiba, rasa malu dan grogi menyambutku dari tatapan hangat seorang Rendi.
“Udah pada masuk, kayaknya udah mulai.” Kataku sembari mengelap kedua sudut bibir dengan tisu.
Kami beranjak dari meja, dan pergi menuju ruangan yang pintunya sudah dibuka lebar. Aku mengekori Rendi yang sesekali menegur beberapa orang yang sepertinya ia kenal. Rendi berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Arya. He’s silly; but charming and open. Siapa yang sangka dipertemuan pertama kami yang hanya berdua ini ia bisa dengan mudahnya menceritakan apa pun yang aku tanyakan. Semoga saja itu bukan salah satu cara Rendi untuk flirting, jika iya, aku tidak mau jadi salah satu korbannya. Prioritasku saat ini adalah Arya, harus aku tanamkan itu baik-baik pada otakku saat ini.
Yes, you can do it, Cha. You can do it!
-Continue-