DELAPAN : Twenty Percent For Opportunity

1824
3. Jealousy will eat you up, then looking for a perfect candidate(s) for a trump card. Ada hal-hal yang paling masuk akal ketika cemburu dapat membuat seseorang merasa terancam keberadaanya, maka dari itu, aku memutuskan untuk membuat Arya cemburu dengan menggandeng entah-siapa ke acara yang mungkin akan dihadiri oleh Arya. Kali ini aku benar-benar tahu pasti kalau Arya akan datang ke acara entah-apa-itu. Aku benar-benar harus lebih aktif lagi untuk mencari tahu karena aku sadar, aku ini sedikit tidak peduli dengan kegiatan mencerdaskan diri atau kumpul-kumpul intelek dengan banyak orang di luar sana hadiri. Mari kita kembali pada rasa cemburu. Apa yang aku sampaikan bukanlah hanya isapan jempol belaka, fakta itu memang sudah teruji dan di katakan oleh Peter Salovey, sang social psycologist yang juga bekerja menjadi Presiden di Universitas Yale. Ia berpendapat, bahwa rasa cemburu adalah emosi yang dialami ketika seseorang merasa hubungan dengan pasangan terancam dan mengakibatkan hilangnya kepemilikan, biasanya ini akan timbul apabila ada pihak ketiga dalam hubungan tersebut. Maka dari itu, poin ketigaku sudah paling ampuh untuk membuat Arya bisa kembali padaku. “Siapa nih?” tanyaku dengan buku notes yang masih terbuka saat kami makan siang di kantin Electronic City. “Apanya siapa?” Candra menepuk perutnya yang sudah kenyang. “Kandidat yang bisa gue bawa mejeng buat bikin Arya cemburu.” Jelasku. “Chandra homo, Tio udah nikah. Yang ada lo nanti dibilang udah gila, pelakor lah, kalo sama mereka.” Sahut Mila. Aku menangguk setuju, tapi memang itu sudah mustahil dari awal karena Arya mengenal teman-temanku ini. Lucu ya, jika dibayangkan aku yang kini terseok-seok dan menginginkan sebuah pengakuan dari orang yang awalnya ku lepaskan begitu saja. Hidup itu benar-benar tidak terduga, bukan lagi seperti sebuah roda, namun lebih tepatnya seperti roda roller coaster yang sudah berputar ditambah naik turun, terkadang ditahan, dan jika melaju sudah tak waras lagi kecepatannya. Bagaimana hubungan yang dulu ku jalani bersama Dion, mantanku sebelum Arya, hanya seumur jagung karena kami berdua ternyata tidak terlalu cocok dan seringnya kami bertengkar ditambah Dion yang suka mengeluarkan kata-kata kasar tak kenal tempat. Dan bertemu dengan Arya membuatku melihat point of view sebuah hubungan yang berbeda, yang tak perlu meributkan hal-hal kecil yang tak penting, tak perlu pula menariknya dari kerumunan karena perdebatannya dengan entah siapa hanya karena dia tak sengaja disenggol atau apa. Tidak ada emosi negatif yang meletup-letup, yang ada Arya akan menganggapnya biasa saja, kemudian mengalah, dan berakhir dengan kopi atau obrolan lain yang lebih menarik untuk dibicarakan. Dengan Arya aku belajar menjadi orang yang lebih tenang, melakukan hal apa pun dengan pemikiran matang, dan bijak. Dan semua hal beresensi ini hilang ketika Aku lepas dari bayang-bayang Arya, yang mana bayangan Arya bukanlah sesuatu yang negatif. Aku mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja, satu kebiasaan yang susah hilang sedari dulu. Ketika sedang berpikir.  “Lo masih mau ngelanjutin daftar lo itu, Cha?” Tio menatapku dengan pandangan 0h-no-nya.  “Iya. Tapi kemarin gue nggak ketemu Arya pas PPL. Aneh nggak sih? Tumben banget dia nggak dateng acara kumpul sari begitu.”  “Campur sari, kali! Mungkin Doi lagi sibuk.” Candra tersenyum, “atau sibuk ngumpulin uang buat yang lain. Secara, ikut begituan kan bayarnya lumayan.”  “Jangan mulai deh, Mak Lampir.” Aku memukul bahunya kesal.  “Kenapa lo nggak cari yang lain aja, bukan buat gandengan sekilas biar Arya jealous, as if, sih.” Ujar Mila sambil mengaduk gelas es tehnya. “Nah tuh!” Kata Tio yang setuju denga napa yang dikatakan oleh Mila. “Hmm… nggak, gue nggak mau ketemu yang satu model kayak Dion. Dan gue sebegitu desperate-nya begini kan, karena yang gue perjuangin itu Arya.” Ujarku membela diri. “Lo yakin? Lo nggak merasa kalo yang lo lakuin ini adalah satu bentuk tindakan balas dendam karena Arya udah ninggalin lo dan sekarang lagi sama cewek lain, trus berakhir mereka tunangan, kan?” “Hell no.” Kataku sambil tertawa. Tapi tunggu dulu, entah kenapa ada yang mengganjal saat Mila mengatakan hal itu padaku. Aku merasa seperti tersinggung, namun aku kembali tertawa dan menganggap hal itu tidaklah mungkin. Aku bukan orang yang senaif itu, dan kelakuan shallow itu mustahil ku lakukan. Yang aku hanya ingin Arya kembali, titik. “Babe, apa yang lo lakuin itu kayak lomba banyak-banyakan makan, nggak sih?” Chandra melirikku judes. “Maksudnya?” “Elo berusaha secepat mungkin makan ngabisin porsi yang banyak dan ketika lo menang, lo kekenyangan sampe akhirnya muntah sendiri. Coba, mana ada cowok normal yang mau diajak buat manas-manasin mantan laki lo itu tanpa imbalan. Dengering gue, imbalan, Say. Nggak ada yang gratis di dunia merah jambu begini.” Chandra menjelaskan sembari menggerak-gerakkan tangannya dengan agresif sampai-sampai harus ditepis Mila karena terlalu mengganggu. “Apa lagi kalo lo nggak kenal cowoknya.” Tambah Tio. “Nggak usah lo coba main dating app, ya! Jangan jadi terlalu mengenaskan gitu gue gak mau litanya.” Mila melotot memberi ancaman ketika ide tentang dating app muncul di kepala. Baru muncul, belum sempat juga aku utarakan. Dan sepertinya itu akan jadi opsi yang terakhir. “Yo, lo kan punya grup futsal, apa nggak ada yang bisa gue pinjem gitu?” “Kalo buat main futsal sih banyak, tapi kalo buat jadi ban serep lo sih gue nggak menganjurkan. Temen gue modelan kayak Candra semua tapi suka cewek, ngerti kan maksud gue?” Modelan seperti Candra yang berarti penjahat kelamin, bukanlah kandidat yang akan aku pilih untuk hubungan jangka pendek. Awalnya mungkin masih enak, namun setelahnya terlalu banyak nantinya yang akan aku pertaruhkan. Belum lagi kalau yang setelah itu flirting gila-gilaan sampai buat muak setengah mati dan ketika ditolak malah menjatuhkanku di mana-mana. Nein, aku tidak akan mau bertaruh untuk sesuatu yang tidak jelas seperti itu. Tapi, apa aku punya banyak pilihan lain? “Lo kan broker ya, apa nggak ada gitu mantan klien atau kenalan yang bisa lo mintai bantuan?” Aku mendelik, “men, lo tau kan mostly mulut broker itu gimana? Sebelas dua belas sama Ibu-Ibu arisan. Ogah banget, yang ada gue bakalan di roasting setengah mati kalo sampe ini circle tau. Pokoknya semua ini harus berjalan semulus muka Sandra Dewi. Dan elo juga, nih, diem-deiam aja, ya.” Teman-temanku mengganguk malas, dan bangun dari duduknya. kalau dipikir lagi, rasanya leih baik aku tidak mengajak orang yang ada dalam dunia broker. Aku harus benar-benar teliti dan menyaring relasi mereka, yang mana akan lebih sulit lagi untuk dicari siapa itu kandidatnya. Rencanaku sudah sangat cemerlang begini, namun mengeksekusinya ternyata lebih sulit dari pada merencanakannya.   Kami kembali ke kantor setelah sadar kalau jam makan siang sudah selesai. Namun sebelumnya, kami mampir dulu untuk membeli gorengan dan Lupis Medan. Camilan tidak sehat yang biasanya akan habis begitu di taruh di atas meja dengan tangan-tangan jahil yang mampir dan menjarahnya. Tapi, bagiku itu tidak masalah. Malah, bisa dibilang itu adalah satu hal yang bisa membuat orang-orang di divisiku mudah dekat. Kami dekat karena perut dan mulut--istilah yang biasa dilemparkan pada para anak-anak baru. Tapi memang itu yang paling masuk akal, perut kalau kenyang akan lancar sekali menggibah atau pun memasarkan produk jualan ke klien. Dan ketika aku hendak membayang pesananku, seseorang menepuk punggungku. Saat aku menengok, ada yang kulihat pertama kali adalah jasnya. Aku sudah bisa memastikan siapa yang ada di hadapanku tanpa melihat wajahnya yang identik sekali dengan jas yang ia kenakan. Itu Rendi, yang sedang tersenyum sambil metatapku. Ia mengenakan jas yang pas di badannya berwarna hitam dengan dasi berwarna senada. Benar deh, rasanya aneh sekali melihat orang yang mengenakan jas rapi dan keren makan di kantin umum yang kebanyakan hanya mengenakan kemeja atau blazer santai yang bukan tailored suit.   "Mau makan siang?" Tanyanya.  Aku menggeleng, "oh, hai! Nggak, ini udah selesai mau bawa camilan buat anak-anak di kantor. Baru mau makan siang?" "Iya," ia menunjuk rombongan nan elit dengan jas yang terbalut rapi, dengan matanya, "kebetulan lagi ada urusan di Pacific Place trus kangen makan di sini." Jelasnya, yang mana aku tidak terlalu perduli juga. "Oh, oke." Kataku seadanya. Mila yang dari kejauhan melihat aku yang sedang mengobrol dengan Rendi menghampiri, wajahnya yang selalu terlihat cantik sumringah, meninggalkan kedua temanku yang lain yang sedang mengamati kami. Tio dan Candra belum tau tentang si Rendi ini, dan aku rasanya tak perlu memberikan penjelasan panjang yang nantinya akan bersambut wejangan panjang lebar oleh Candra. "Oh, hai, Rendi, kan, ya?" Mila yang sudah berada di sebelahku menyapa Rendi yang pandangannya jadi tertuju ke Mila. "Halo, iya. Kita pernah satu meeting." jawabnya sambil tersenyum. "Makan siang?" tanya Mila yang ku balas dengan tatapan tak percaya, ke kantin selain makan siang memang mau apa? Main judi? "Iya, ini mau pesan." "Yah, sayang banget kita udah pada selesai dan mau balik." Rendi hanya tersenyum menanggapi. Aku pernah membaca di sebuah jurnal yang di tulis oleh  Andrew Gersick yang berjudul Covert s****l Signaling: Human Flirtation and Implications for Other Social Species. Di sana ia menjelaskan tentang  In species with high female parental investment, because females benefit by choosing mates of high quality, males appear to have been selected to broadcast signals that reliably correlate with—and therefore advertise—their quality. Yang mana berarti, pada orang-orang yang gen Ibu mereka lebih tinggi ada dalam tubuh, karena wanita diuntungkan saat memilih pasangan dengan kualitas yang tinggi, maka pria akan muncul sedemikian rupa untuk menjadi kandidat yang merasa harus dipilih, dan karenanya akan secara naluriah akan memasarkan keunggulan mereka, atau istilah lainnya memamerkan pesona mereka. Jadi, memang sudah insting naluriah saja yang berjalan ketika ada wanita yang menarik, maka pria akan datang dengan sendirinya. Pun, bisa sebaliknya. Seperti kata Candra, kalau memang sudah napsu, masa rasa tertarik itu akan muncul dengan sendirinya dan tidak mengenal tempat. Si lulusan psikologi satu itu memang terkadang ada benarnya, atau sering banyak benarnya meski disertai kata-kata pedas yang menjadi pengantar atau pun penutup pembicaraan.  "Ya udah saya balik dulu." Aku pamit dan mengajak Mila untuk ikut serta. "Kapan-kapan, kita makan siang bareng gimana?" tanyanya padaku. Aku menyipitkan mata, mencoba mencerna ajakan Rendi. "Oke." Kataku yang tak mau berlama-lama lagi di sini. Rendi tersenyum lebih lebar dan membuatku merasa terintimidasi sedikit. Apa teori Convert s****l Signaling juga sedang terjadi pada kami? Ah, aku memang orang yang terlalu percaya diri. Semoga saja tidak begitu, aku sedang tidak ingin dibuat pusing oleh hal lain yang nantinya akan menyita pikiranku juga. Aku sudah cukup punya banyak pikiran dan masalah, belum lagi soal kerjaan. Kapasitas otakku sudah cukup sampai di masalah-masalah yang ada sekarang ini saja.   Kami berpisah, Mila yang sedari tadi tersenyum memandangku seakan ada yang salah dengan penampilanku, lantas tertawa. "Oh, Beb! Lo tuh bego banget, sumpah, deh. Heran gue." "Bego apaan sih?" "Biar nanti baginda ratu Candra yang akan ngomelin elo. Nggak ngerti lagi gue." "Apaan sih?" Dan ketika kami sudah berkumpul kembali dengan Candra dan Tio, senyuman lebar sudah menantiku. Candra segera menggandeng tanganku, dan tanganku yang lain sudah digandeng oleh Mila. Tio mengambil bawaanku dan mengekor di belakang. Wait, apaan sih ini? -Continue-
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작