ENAM : Eight Percent For Critical Thinking

1607
Kami berkumpul di Bakoel Koffie. Cuaca di luar sana cukup mendukung, dengan mendung yang menggantung dan tinggal menunggu hujan turun. Aku memesan tape bakar, pisang bakar, roti bakar dan Latte untuk dinikmati bersama, sedangkan Tio asik dengan Americano sedangkan Candra yang tidak minum kopi menikmati Choco Lover. Mila belum datang, sedang terjebak arisan keluarga katanya. Dan di sini lah aku bersama dua pria yang ku seret sepagian tadi. Aku menelepon Candra dan menjemputnya dari kosan, lanjut menjemput Tio setelah ia selesai lari pagi dengan Dewi, istrinya. Ya, aku se-desperate itu dalam menghabiskan weekend setelah semua mata di rumah memandangku aneh. Aku sudah bosan ditanya kenapa Arya tidak main ke rumah di hari libur seberti ini. Jadi aku memutuskan untuk kabur pagi-pagi dan pergi entah kemana selama tidak diam di rumah saja. “Jadi, ngapain bangunin gue pagi-pagi dan cuma buat minum cokelat sama makan gorengan, doang?” Candra yang masih mengantuk pun membuka mulut. Aku memotong tape dengan garpu dan menyuapnya ke mulut, “Arya tunangan.” Kataku pelan. Candra mendelik, Tio yang dari tadi sibuk dengan handphone-nya menatapku kaget. “Hah demi apa? Sama siapa?” tanya Candra. “Serius, lo?” Tio duduk merapat. “Serius, demikian.” Aku menunduk, “sama cewek yang waktu itu. Namanya Renata.” “Wow, cepet banget.” Candra melongo tak percaya. “Sama gue empat tahun nggak ada tunangan segala.” Tio memainkan pemantik api, dan meniupnya dengan satu hembusan keras, “tapi lo langsung di lamar buat nikah.” Aku menghempaskan punggung ke kursi. “Sebenernya alasan lo belum mau nikah itu apa sih?” Candra, yang kelihatan kusut menatapku lekat. “Karir?” Tegas Tio. “How do you get into a relationship without getting attached?” tanyaku menatap kedua sahabatku meminta jawaban. “Hah gimana?” tanya Candra tidak mengerti. “Gimana pacaran tanpa ada tuntutan untuk melangkah ke jenjang yang lebih lagi?” Tio menggeleng, “bentar. Ini yang harus gue pahami itu kalimat elo apa hubungan elo, sih?” Aku mendorong gelas kopiku menjauh. “Gue udah nggak tahu lagi apa yang sebenernya gue bangun. Karir atau ketakutan gue untuk menikah. Kalo lo nanya ke gue, gue juga nggak tau jawaban pastinya gimana.” “Apa ini sindrom baru? Early thirty-afraid to get wedded?” Chandra menatapku bingung. "Lo tuh takut kenapa, sih? Lo sama Arya udah pacaran bertahun-tahun, kenapa takutnya sekarang bukan dari dulu?" Tio menatapku bingung. "Karena gue pikir gue sama Arya ya akan gini-gini aja, kita nikah ya... entar." "Gue jadi Arya sih udah semaput sama lo." Candra menganggukkan kepala, paham situasi akan berjalan ke mana.     Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai membuat kami menengok ke arah suara. Mila, dengan penampilan seperti habis kondangan muncul dan langsung duduk di sebelahku. Ia mengambil roti bakar dan menikmatinya dengan ekspresi kecut. Kami diam, memerhatikan tampilan Mila dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia melepas heels beralas merah itu sembarangan, dan menaruh handbag-nya di meja, Lana Marks yang sampai kapan pun tidak akan bisa aku beli. “Kenapa?” tanyanya seperti menantang. “Lo ke kondangan siapa, deh? Siapa yang nikahan?” kata Candra yang masih melongo. “Hah? Gue cabut dari arisan.” “Beda ya emang kalo arisan sosialita, berasa kayak mau ke kondangan Kim Kardashian, buset. Pake MUA juga jangan-jangan?” Selidik Candra lebih lanjut. “Duh udah deh, iya emak gue nyewa MUA soalnya pada nggak bisa make up semua, tapi harus tampil ON. Shinning, shimmering, splendid demi mulut-mulut pedas kurang ajar.” Ekspresi Candra yang terkejut membuat Mila merasa sebal. “Okay, end of question.” Chandra mengangkat kedua tangannya seakan sudah menyerah, “kita balik ke alasan kenapa pagi-pagi be--” “Gue mau buat daftar cara-cara buat dapetin Arya balik.” Mila terbelalak, “Hah, gimana?” Chandra diam dan memperhatikanku bingung, sedangkan Tio malah tertawa. “Eh bentar deh, otak gue kayaknya masih ketinggalan di kasur gue nggak ngerti sama sekali maksud lo apaan.” Chandra menggelengkan kepalanya sambil memegangnya dramatis. “Kayaknya gue juga deh.” Tambah Tio. Aku mengeluarkan buku notes dari tas dan membuka halaman yang semalam telah ku tulisi berbagai cara yang ku pikir dapat membuat Arya kembali melihatku. Terdengar bodoh memang, tapi aku belum dapat menerima jika Arya bisa berpaling secepat itu seakan sedang dikejar rentenir saja. Arya, yang hidupnya didedikasikan hanya untuk pekerjaan bisa melakukan hal yang bisa dibilang tidak masuk akal. Mila memperhatikan buku notes yang ku buka barusan. Ia mengambil kacamata baca dari tasnya dan dikenakannya kacamata itu. Ia terlihat penasaran tentu saja, sama seperti dua sahabatku yang lain. Aku mengikat rambutku dengan kuncir yang berada di lengan, siap untuk menjelaskan poin-poin yang ku tulis di sana. “So, listen…” Aku menulis poin demi poin yang sudah ku pikirkan dengan matang selama perjalanan ke sini. Dan siapa yang menyangka, jika di akhir pekan yang sama seperti akhir pekan lain, aku memaparkan ide-ide gila ini pada sahabatku.  Ya, the game begins.   ***   1. Dinner could be special, but lunch is a starter before a main course. Urban Kitchen dipenuhi orang-orang yang sedang makan siang. Beberapa kursi sudah penuh, dan yang lain menanti untuk ditempati. Aku menuju deretan meja di dekat jendela, satu tempat yang biasa kami kunjungi ketika ingin makan siang sembari menengok ke luar dan melihat pemandangan kota Jakarta. Ramai, namun memiliki privasinya sendiri. Tapi memang, waktu yang paling indah untuk menikmati pemandangan dari sini adalah saat malam hari, di mana lampu-lampu sudah dinyalakan dan kontras dengan suasana malam kota yang biasanya sibuk dan macet. Arya di sana, mengenakan kemeja abu-abu yang pas di badan dan belum memesan makanan. Aku menarik kursi di hadapan Arya yang sedang sibuk dengan iPad, ku taksir itu adalah bacaan tentang apa pun yang menyangkut dengan pekerjaan. “Sori, udah lama?” tanyaku basa-basi, padahal sebelum ke sini aku sempat ke toilet dulu untuk memperbaiki make up dan menyemprotkan sedikit parfum. Arya suka wangi parfum yang hanya semilir ringan. “Hm? Nggak kok baru aja.” Katanya datar. “Oke.” Aku duduk di duduk di depannya dan menaruh pouch di meja. “Jadi, apa yang mau kamu omongin?” tanya Arya to the point. Aku agak sedikit kaget dengan pertanyaan Arya. Sikapnya sudah bukan seperti Arya yang selama ini aku kenal. Rasanya ini lebih seperti klien dan konselor, di mana aku adalah seorang klien dan Arya sebagai konselor. Ramah, namun ada batasan di antara kami. Ini bukan satu tanda yang baik, dan sepertinya aku perlu mengeluarkan kartu yang lebih kuat dari pada sekadar parfum dan make up. “Aku udah liat foto kalian.” Kataku dengan senyum kecil nyaris samar. “Foto?” Beo Arya. “Kayaknya kita perlu pesen makan dulu, keburu selesai jam makan siang.” aku berdiri, “kamu juga mau Japanese set seperti biasa, kan?” Arya mengangguk. Aku memesan Japanese set yang biasa kami pesan kalau sedang makan di sini. Poin satu, yang entah mengapa membuat hatiku sedikit sakit padahal saat aku merancang semuanya saat di Kafe tempo hari, semuanya terasa menyenangkan, menggebu-gebu. Namun ketika sudah datang dan mengeksekusi rencannya, jadi berbeda. Padahal dulu, aku berharap kalau aku putus dengan Arya aku akan menjadi Elle Woods kedua yang setelah putus menjadi mahasiswi terbaik Harvard ketika didepak oleh Warner Huntington III, atau setidaknya Aura, yang diperankan oleh Lena Dunham di Tiny Furniture yang sadar jika dating isn't everything even after a big fiasco, you still can do a lot of things by your self. Hah! Lucu, aku bahkan masih menganggap jika big fiasco versiku masih berjalan sebegitu parahnya. Aku kembali ke meja, Arya sudah membeli dua air mineral ketika aku memesankan makan siang untuu kami berdua tadi. Aku kembali dan menatap Arya yang tidak lagi tersenyum formal. Semua jarak yang memisahkan kami terasa janggal, dan membuatku rindu akan sosok Arya yang dulu ku kenal. Yang biasa sibuk dengan pekerjaannya di sela kami makan siang atau makan malam bersama, yang biasa tertawa membahas topik gosip yang sedang beredar di kantor, yang selalu peka terhadap semua detail yang biasa kami lakukan meski tanpa ada segala macam gestur romantis yang ia sajikan. “Kamu tahu dari mana tentang Renata?” tembak Arya. Jujur, aku sedikit tersentak dengan pertanyaan barusan. “Temenku, gosipnya udah sampai kemana-mana tinggal tunggu aja semua orang di kantor mandang aku iba aja. Itu siklusnya, kita tahu itu.” “Kita udah selesai, Bi. Nggak ada kita lagi, sekarang tinggal aku sama kamu.” “Aku tahu. Aku cuma takjub aja sama kamu, the card your hold is a Joker, mine was nothing.” Arya diam. “It’s okay. Love is everywhere, bahkan kayak kita, ketemu nggak sengaja di depan toilet. How dumb. Tapi seengaknya aku butuh bertahun-tahun untuk kamu lamar, dan Renata is just a split second. Ah, siapa aku, ya, nggak?" aku tertawa, "aku kan bukan siapa-siapa lagi.” Tekanku jelas. Rasanya aku seperti orang bodoh saja kali ini. Aku ingin menangis kembali. Tapi ku Tarik napas dalam dan mengalihkan pandangan dari Arya ke jendela di sebelah kami. Memandang jalanan SCBD yang tidak terlalu padat dengan beberapa orang sedang berjalan di trotoar dengan teman, kolega, bahkan pacar mereka di jam makan siang. Ternyata, pemandangan yang biasa kami lihat hanya sekadar lewat, kini bisa menjadi pusat perhatianku sepenuhnya dalam menyingkirkan perasaan yang sedang campur aduk ini. Kami diam sampai makanan sudah tersaji. Tak ada lagi pembicaraan secara lisan atau dari pandangan mata yang dulu sering berinteraksi. Kami sibuk dengan makanan kami dan pikiran masing-masing. Kalau plan satu saja aku sudah begini, apa aku harus tetap menjalankan ide-ide gila yang sudah ku tulis jelas di buku notes milikku? Sekarang aku jadi sedikit ragu. -Continue-
신규 회원 꿀혜택 드림
스캔하여 APP 다운로드하기
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    작가
  • chap_list목록
  • like선호작