BAB 10

1045 Kata
   Malam hari akhirnya tiba, dan kini Stefanny bersama dengan Vicente sedang menemani Sava belajar. Keduanya terlihat sibuk dengan urusan masing-masing, dan juga mereka tidak saling peduli. Sava yang tahu jika orang tuanya punya masalah memilih diam. Gadis kecil itu terus mengerjakan tugas dari gurunya, bahkan ia tidak bicara juga. Stefanny yang melihat anaknya agak berubah menjadi khawatir, pengaruh dari kehadiran Vicente sangat terasa dan membuat semuanya menjadi canggung. Ia tak suka suasana seperti ini, ia juga tak bisa mencairkan suasana saat ini. Entahlah ... Stefanny hanya merasa semua yang ia pilih tidaklah benar. Pertama, seharusnya dirinya tidak lagi memberikan Vicente harapan. Tetapi di sisi lain Stefanny tahu hal tersebut hanya akan menjadi luka pada hati anaknya. Sava sudah mengenal Vicente, dan Sava juga perlu tahu bagaimana ayahnya itu. Kedua, ia tak bisa berperilaku seperti biasa. Rasanya sangat canggung dan tak sebebas dulu. Vicente selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, dan pria itu selalu menatap tajam kepadanya. Stefanny tak ingin salah dalam bertindak, ia jelas tak ingin Sava melihat pertengkaran atau bahkan tatapan dingin Vicente. Seharusnya sejak awal Vicente tidak mengusik hidupnya lagi, tapi ... ah ... semua menjadi serba salah dan membuat Stefanny menjadi gundah. Ketiga, jika ia tetap berhubungan seperti ini dengan Vicente, akan ada gosip baru di sekitar tempatnya tinggal. Tetapi jika ia mengusir Vicente, jelas hal tersebut sangat salah dan akan membuat Vicente melakukan hal tak terduga. Vicente bukan orang yang benar-benar baik, pria itu rela melakukan apa saja asal tujuan utamanya terpenuhi. “Kau melamun?” tanya Vicente yang tiba-tiba saja menegur Stefanny. Pria itu menutup laporan yang ada pada tangannya, meletakkannya di atas meja dan mengembuskan napas agak kasar. Stefanny yang cukup kaget dengan pertanyaan pria itu memalingkan wajah. “Nggak ada hubungan, begusan nggak usah negur-negur deh.” Vicente yang tak mengerti bahasa Indonesia hanya bisa menganga. Ia benar-benar tak tahu apa yang Stefanny katakan. Vicente menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia menatap Sava yang menatapnya dan mengendikan bahu. Sava mulai tersenyum, ia mungkin bisa mengajari ayahnya sedikit demi sedikit tentang bahasa Indonesia, dan semoga saja ayahnya cepat mengerti dan memahami hal tersebut. “Sava, apa kau ingin tahu bagaimana ibumu dulu?” tanya Vicente kepada putrinya. Stefanny yang mengerti dengan ucapan Vicente mengepalkan tangan. Entah kejadian atau tingkah bodoh mana yang akan pria itu ceritakan kepada putri mereka, tetapi harapan Stefanny hal itu bukanlah sesuatu yang paling memalukan. Sava terlihat sangat tertarik dengan ucapan ayahnya. Gadis itu segera menutup buku yang baru saja ia baca, lalu meraih salah satu boneka dan memeluknya. Ia menatap sang ayah, iris sebiru lautan itu terlihat berbinar. Vicente tersenyum saat Sava terlihat sangat antusias, ia kembali membongkar memori lama dan tersenyum. “Dulu ibumu adalah wanita yang sangat menyukai Ayah, bahkan ibumu sering menulis surat cinta dan menyelipkannya ke dalam loker.” Stefanny membelalakkan mata, ia tak tahu harus memberikan pembelaan seperti apa. Pasalnya, apa yang Vicente katakan memang benar. Ia sering menulis surat, lalu menyelipkannya agar bisa masuk ke dalam loker milik pria itu. “Lalu, apa Ayah langsung menerima surat cinta itu? Maksudku, bagaimana tanggapan Ayah?” Stefanny langsung melebarkan pupil matanya, ia menatap Vicente yang terlihat begitu senang saat anaknya bertanya. “Hum ... bagaimana ya ... Ayah ingin sekali memberitahu, tetapi kau harus memberikan ciuman untuk Ayah.” Stefanny yang melihat Sava bangkit dari tempatnya duduk segera beranjak, ia memeluk putrinya dan menatap jengkel ke arah Vicente. “Bunda ... lepasin bentar, Sava mau cium Ayah.” “Nggak boleh, nanti Bunda kasi tau. Ayah kamu tuh dulu cupu banget, kacamata aja dia pakek yang tebel terus ukurannya gede.” Mendengar ucapan sang ibu, kini Sava terlihat tertarik. Tetapi gadis itu bimbang harus memilih siapa, ia menatap ayah dan ibunya, kemudian berpikir. Kelihatannya mereka tidak akan saling mengalah dan Sava tak bisa memihak siapa pun. “Stefanny, walau aku menggunakan kacamata sebesar itu, kau tetap saja jatuh cinta padaku.” Vicente menyeringai. “Aku tak pernah jatuh cinta padamu, kau yang mengejarku dan mengajakku menikah.” Stefanny akhirnya menggunakan bahasa Inggris untuk mendebat Vicente. “Ck ... jika kau tak jatuh cinta padaku, kau tak akan menikah denganku waktu itu.” “Aku menikah denganmu, itu bukan karena cinta. Aku terpaksa, dan ingin mengambil kejayaan keluargamu.” “Jika kau tidak mencintaiku, kau tak akan marah saat aku bersama wanita lain.” Stefanny terdiam, luka saat mendengar ucapan Vicente tiba-tiba berdarah. “Ya ... selamat malam, aku harus segera ke kamar. Sava, cepat bereskan semuanya.” Vicente yang mendengar ucapan Stefanny mendadak sadar. Ia baru saja menggores luka lama, dan itu karena bibirnya yang terlalu licin dalam mengucapkan beberapa hal. Pria itu berdiri, ia menahan tangan Stefanny dan menatapnya dalam. “Maaf,” ujar Vicente. Stefanny yang mendengar kata itu hanya mengangguk, ia kemudian menatap Sava. “Cepetan, besok Sava sekolah, kan? Bunda anterin bareng Mbak Dina yah.” Vicente yang mendengar ucapan Stefanny hanya bisa bungkam. Entah apa yang Stefanny katakan, tetapi ia berharap wanita itu tidak marah kepadanya lagi. Sejenak pria itu berpikir, bagaimana caranya ia bisa kembali bersama Stefanny? Apa yang harus ia lakukan agar wanita itu selalu melihat dan ingin bersamanya? Sejak perceraian tak resmi mereka, semua hidup Vicente berubah. Ia tak bisa lagi tersenyum, Stefanny jelas segalanya dan tak akan bisa tergantikan. Meski ia memiliki seorang istri sekarang, tetapi dirinya tidak bahagia. Ia selalu saja membandingkan wanita itu dengan Stefanny, dan saat itu juga hatinya tak pernah terbuka. Stefanny yang merasakan genggaman tangan Vicente melemah segera bertindak, ia melepaskan genggaman tangan itu. “Sava udah selesai?” tanya Stefanny saat anaknya terlihat lama sewaktu berkemas. Sava yang mendengar pertanyaan sang ibu segera berhenti. Ia berdiri dan tersenyum. “Udah, bunda.” Stefanny segera menarik tangan anaknya, ia berjalan ke arah tangga dan naik ke lantai atas dengan cepat. Matanya menatap lurus ke depan, sedangkan dirinya mati-matian menahan tangis. Ia ingat tentang masa lalu, dan semuanya sangat menyakitkan. “Stefanny!” Stefanny menghentikan langkahnya saat Vicente memanggil. Sedangkan Sava yang melihat ibunya tidak lagi melangkah juga berhenti dan menatap ke arah ayahnya. Beberapa detik berlalu, Vicente belum juga bicara. Stefanny yang tak mendengar pria itu berucap kembali melangkah bersama anaknya. ‘Aku tak lagi menginginkanmu, kau bukan wanita yang baik,’ ucapan itu kembali menggema, membuat Stefanny merasa lemah. ‘Itu bukan anakku!’ Stefanny memejamkan mata, sial ... kenapa ucapan itu masih saja bisa ia dengar? Apa yang harus ia lakukan agar tak mengingat hal itu kembali. “Bunda ... Bunda nggak apa-apa, kan?” tanya Sava yang merasakan tangan sang ibu menjadi dingin. “Nggak kok,” jawab Stefanny singkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN