Aston Pontianak adalah hotel bintang empat bergaya modern internasional yang terletak di jantung kota Pontianak. Berdekatan dengan kabupaten Gajah Mada dengan banyak tempat belanja dan tempat makan, lima belas menit dari Bandara Internasional Supadio dan Pelabuhan Rahadi Usman, hotel ini menawarkan seratus lima puluh lima kamar yang luas dan ideal untuk pelancong bisnis maupun rekreasi.
Tempat yang sempurna untuk pertemuan dan konferensi. Memberikan layanan rapat dan konferensi state-of-the-art, Aston Pontianak sangat ideal untuk pertemuan, insentif, konferensi dan pesta pribadi. Dengan kapasitas dua ribu orang, Kalimantan Ballroom adalah ballroom terbesar di Pontianak.
Sepasang mata saling menatap, mereka saling bungkam dan tak ada niat untuk buka suara. Stefanny yang memasang tampang datar, sedangkan Vicente memasang wajah penuh dengan seringai kelicikan. Satu jam yang lalu, Stefanny tiba di Hotel Aston. Wanita itu langsung dijemput oleh dua orang pria kepercayaan mantan suaminya dan di bawa ke kamar mewah yang telah di sewa. Bukan hanya kamar, Vicente dengan semua kekayaannya menyewa hotel itu hanya untuk bertemu dengan Stefanny.
"Kau mengusir semua pengunjung hanya untuk keegoisanmu!" tegas Stefanny. Ia sudah tak tahan duduk dan menunggu kata-kata sampah yang akan Vicente utarakan.
"Wanita spesial, harus diperlakukan demikian juga, Istriku." Vicente akhirnya berdiri, ia menuangkan air mineral ke dalam gelas Stefanny, "aku tahu kau benci dengan minuman alkohol, jadi ... minumlah."
Stefanny tak tertarik, ia memilih bersandar dan menatap lawan bicaranya tajam. Tak ada keramahan pada pandangan serta ekspresi wajahnya. Ia sedang tak ingin berbasa-basi dan mengulur waktu semakin panjang.
"Kau berubah menjadi pendiam, Stefanny." Vicente mendekati Stefanny, ia duduk di samping wanita itu dan mengulurkan tangannya. Di sentuhnya dagu Stefanny lalu terkekeh, "wajahmu juga semakin cantik, dan kau semakin menarik." Lanjut Vicente.
Stefanny masih diam, ia tak ingin melawan dan membuat suasana semakin keruh, ia memilih untuk bungkam, tidak menjawab tiap kalimat yang keluar dari bibir Vicente. Stefanny tahu, Vicente adalah orang gila yang tak akan berhenti, apalagi jika ia mendapat perlawanan. Pria yang penuh dengan ambisi, bahkan bisa melakukan apa saja hanya demi keinginannya.
Pria itu mendekatkan wajahnya, ia tersenyum saat mata Stefanny melotot ke arahnya. Istrinya berubah menjadi wanita super dingin, wanita itu bagai tak tersentuh. Dikecupnya bibir Stefanny, tangan Vicente menekan tengkuk Stefanny dan menggigit bibir wanita itu.
Stefanny diam, tak membalas ciuman Vicente. Ia benar-benar bersikap seakan dirinya boneka. Ia tak peduli saat Vicente menggigit bibirnya, ia hanya membukanya sedikit, karena memang terasa sakit dan membuatnya reflek.
Merasa dirinya diuntungkan, Vicente yang sedari tadi mengulum pil asing di mulutnya segera memindahkannya ke mulut Stefanny, ia memasung tangan Stefanny yang mencoba untuk melawan. Memperdalam ciuman bibirnya agar Stefanny tidak memuntahkan obat yang ia berikan.
Stefanny tak pernah menyangka hal ini, Vicente memasukan obat ke dalam mulutnya dan menahan tengkuknya bahkan memperdalam ciuman mereka. Napas Stefanny tersengal, ia mau tak mau menelan pil yang Vicente berikan padanya. Tak lama, Vicente melepaskan tautan bibir mereka dan tertawa lantang penuh kemenangan.
"Bastard!" maki Stefanny, ia merasakan reaksi pil itu di tubuhnya. Ruangan ber-AC itu terasa panas, ia merasa badannya sakit dan nafsunya menanjak tajam. Stefanny memejamkan mata, ia masih menggunakan logika untuk mengendalikan diri, ia terus membohongi tubuhnya, ia terus menahan tangan Vicente yang berusaha untuk menyentuh kulitnya.
"Kau merasakan panas?" Vicente menyeringai, ia sengaja menggunakan pil perangsang. Ia juga sudah tahu, jika Stefanny masih sangat marah bahkan kecewa pada dirinya. Waktu lima tahun memang tidak sebentar, tetapi bagi Stefanny itu waktu yang masih terlalu kurang.
"b******n! Mati saja kau!" Stefanny berdiri, ia tak peduli saat kakinya bergetar bahkan keringat dingin menyusup dari kulitnya. Ia merasakan kewanitaannya basah, ia juga begitu tersiksa.
"Ayolah, Sayang. Kau bisa membuka semua benang sialan itu dan kita bercinta sampai puas." Vicente melangkah maju, berusaha menyentuh Stefanny dan memojokan wanita-nya.
"Aku lebih baik mati, daripada tunduk padamu!" tegas Stefanny.
"Benarkah?" tanya Vicente, "Sayang, aku akan menunggumu siap." Vicente mundur, ia memilih duduk dan membuka satu per satu kancing kemejanya. Pria itu melirik Stefanny yang menelan ludah kasar dan berusaha mempertahankan diri.
"Kau ingin disentuh atasanmu itu?" tanya Vicente, "dia menyukaimu dan ingin menjadikanmu miliknya. Kau pikir aku rela?" lanjut pria itu.
"Jangan sangkut pautkan urusan kita dengan orang lain!"
"Aku tak peduli, Stefanny. Kau adalah milikku!" tegas Vicente.
"Hentikan omong kosongmu! Kita sudah bercerai dan tidak ada yang bisa kau lakukan, Vicente!"
"Kau pikir aku peduli dengan surat sampah yang kau kirimkan? Kau pikir aku peduli dengan perceraian kita?" Vicente berdiri, ia menghampiri Stefanny dan berusaha menggapai wanita itu.
"Jika kau berani mendekat! Aku akan melukai diriku sendiri!" tegas Stefanny, ia meraih pisau yang ada di dekat keranjang buah, mengarahkannya ke d**a kiri, dan bersiap menekannya.
Vicente berhenti, "Baik, apa yang kau inginkan?" tanya Vicente.
"Lepaskan aku!" tegas wanita itu.
"Tidak Stefanny!" Vicente melangkah lagi. Ia kembali berhenti saat Stefanny mengarahkan pisau ke dadanya sendiri.
"Menjauh, atau aku mati!" tegas wanita itu.
Vicente mundur, ia duduk dan menatap Stefanny yang masih bertahan dengan keegoisannya. Wanita itu seakan tak peduli saat tubuhnya bergetar, bahkan kemeja putih yang Stefanny kenakan sudah basah oleh keringat dan dirinya terduduk di atas lantai.
Stefanny berdiri, ia perlu kamar mandi, ia perlu air untuk mendinginkan tubuhnya. Ditatapnya satu pintu yang ada di belakang Vicente, lalu melangkah pelan, "Minggir!" tegas Stefanny saat dirinya sudah berada di dekat Vicente. Ia bersyukur pria itu menurut dan tidak menghalanginya. Segera saja, Stefanny membuka pintu dan masuk ke dalam kamar mandi. Dikuncinya pintu dengan rapat, lalu menatap air yang sudah berada di dalam bathup. Stefanny langsung menceburkan dirinya. Ia bahkan menyalakan air dingin agar tubuhnya terasa lebih tenang. Namun, panas belum juga berkurang, ia tak tahu berapa lama bisa bertahan dalam kondisi yang sedemikian menyiksa.
Suara ketukan pintu membuat Stefanny tersadar, ia menatap pintu putih yang kini terdengar sangat berisik. Suara Vicente dari luar sana cukup mengganggu dan membuatnya muak. Stefanny menatap dinding kaca, pantulan bayang dirinya terlihat di dalam sana dan seperti tertawa akan nasibnya. Seharusnya dia sudah berada di rumah, merawat anaknya dan memberikan kasih sayang pada anak itu. Tapi kini, ia terperangkap di dalam kamar hotel, bersama mantan suaminya. Pria gila yang terus mengganggu hidupnya serta selalu mengancamnya.
"Stefanny, keluarlah, aku mohon!" tegas Vicente dari luar sana.
Stefanny malah menenggelamkan dirinya, ia berusaha untuk menutup kedua telinganya dan berhenti menatap Vicente.
"Stefanny! Baik, kau bisa kembali pulang!"
Stefanny tak mengangkat tubuhnya, ia masih betah berada di dalam air dan menikmati tiap inci kulitnya yang didinginkan oleh air.
"Stefanny! Jika kau tidak keluar, aku akan mencelakai anakmu!"
Namun Stefanny tidak mendengar, matanya tertutup dan ia masih belum kehabisan napas saat ini.
"STEFANNY!" teriakan itu menggema, pintu di dobrak dengan kasar dan menyisakan suara bising yang memekakkan telinga.
Vicente terdiam, ia menatap Stefanny dan hampir saja menjatuhkan diri di atas lantai dingin kamar mandi, pria itu berjalan tertatih, rasanya sangat sakit dan ia berusaha untuk tidak menangis.