Stefanny menatap Dina yang baru saja datang, ia melihat gadis itu terlihat kesal dan beberapa kali bicara seorang diri. Tak peduli, Stefanny hanya menunggu Dina membuka suara untuk bercerita pada dirinya.
"Mbak, lain kali Dina mau les bahasa Inggris aja." Dina langsung saja berdiri tegak di hadapan Stefanny, ia terlihat lebih menggebu akan keinginannya sendiri.
"Tumben, Din. Ada apa nih?" tanya Stefanny.
"Tadi, pas abis beli makanan. Dina ketemu bule, ganteng Mbak. Dia negur gitu, terus nanya-nanya. Tapi, Dina kan nggak bisa bahasa inggris." Dina duduk, ia memberikan roti yang dibelinya untuk Stefanny, "Mbak, dia ngasi duit banyak ke Dina. Abis itu langsung pergi," ujarnya lebih lanjut.
Stefanny menatap bingung, "Din, duit-nya berapa banyak?" tanya Stefanny.
Dina mengeluarkan seikat uang dengan angka seratus ribu rupiah pada setiap lembar, Stefanny menatap tak percaya, bagaimana Dina bisa mendapat rezeki begitu banyak. Wanita itu menatap pengasuh anaknya, ia menelan ludah kasar dan terkekeh pelan.
"Ada yang lucu, Mbak?" tanya Dina.
"Ini duit udah dikasi ke kamu Din, jadi terserah kamu mau dipakek atau ditabung." Stefanny memberikan uang itu pada pengasuh anaknya, "kalo mau di kirim buat orang tua di kampung, juga terserah kamu Din."
"Tapi Mbak, apa nggak masalah?"
Stefanny mengacak rambut panjang Dina, ia tersenyum dan bersandar dengan tenang pada kursi di ruang tunggu.
"Mbak, kok nggak jawab?" tanya Dina lagi.
"Din, namanya rezeki jangan ditolak. Kamu udah dikasi duit, ya udah terima dan gunain buat hal-hal yang udah pasti baik. Anggap aja, kamu dapet sedekah."
Dina memang tak pernah mengerti dengan jalan pikiran Stefanny. Wanita itu selalu terlihat santai, dan hidup seperti aliran air.
"Kalo Dina pakek liburan, bisa gak ya?" tanya Dina.
"Emang mau ke mana Din?"
"Mbak, Dina pengen ke Jepang, di sana pengen liat bunga sakura mekar."
Stefanny mengangguk, "Ya udah, ntar Mbak urusin paspor kamu yah."
Dina tersenyum senang, ia menyimpan uang itu di dalam tas dan duduk dengan tenang bersama Stefanny. Senyum tak ia lepas dari bibirnya, ia merasa beruntung bisa bekerja dengan janda muda yang tidak mempersulit dirinya.
Stefanny menatap ponselnya, ia menerima panggilan masuk dari Esti, bawahannya di kantor dan bertugas menjemput dokumen yang disiapkan sejak semalam.
"Din, Mbak keluar dulunya. Di depan, bawahan Mbak udah nunggu." Stefanny berdiri, ia meninggalkan tas dan ponselnya. Hanya kunci mobil yang ia bawa.
Hujan kembali turun, dan Stefanny merasakan embusan angin membuatnya kedinginan. Wanita itu menatap Esti yang memarkirkan motor, dengan keadaan baju yang nyaris saja keseluruhannya basah.
"Esti, kok sampe basah gini? Kan nggak usah pergi kalo ujan."
Esti menatap Stefanny, ia terlihat biasa saja dan menghampiri atasannya, "Tadi kena ujan di jalan, Mbak."
"Motor kamu tinggalin, Mbak antar kamu ganti baju ke rumah, terus antar kamu balik ke kantor." Stefanny segera menekan remot pada kunci mobilnya, ia masuk ke dalam sana dan membuka kaca, "Es, masuk!" titah Stefanny.
Esti segera masuk, saat ingin duduk, ia menatap beberapa dokumen yang Stefanny simpan di kursi penumpang, dengan cepat gadis itu memindahkan dokumen dan duduk dengan tenang. Mobil segera berjalan, kedua orang itu juga menutup kaca.
Sepeninggalan Stefanny, seorang pria dengan jas hitam melangkah ke ruang tunggu. Ia duduk bersebelahan dengan Dina, dan menatap ke arah pintu berdaun dua yang masih tertutup rapat.
Tak berapa lama, pintu terbuka. Seorang wanita dengan jubah putih melangkah ke arah Dina, ia menatap sekitar, namun tak menemukan orang yang ia cari.
"Ibu Stefanny di mana?" tanya dokter muda itu.
"Mbak Stef tadi keluar, katanya ada urusan penting." Dina berdiri, " gimana keadaan Sava?"
"Sava cuma kecapean aja, kemaren mungkin dia banyak main di tempat yang panas-panas juga."
Dina mengangguk, ia menatap ke arah pintu masuk, namun Stefanny belum juga muncul. Rasa khawatir mulai menggelayuti hatinya.
"Ini resep obat. Nanti bisa ditebus ke apotik." Dokter itu memberikan secarik kertas, ia menatap Dina sambil tersenyum.
"Makasih, Bu Dokter. Ntar ya, Sava biar di dalem dulu. Mbak Stef kayaknya agak lama."
"Iya, kamu bisa masuk kalo mau. Kasian juga nunggu di luar, mungkin Stefanny lagi ada urusan yang lumayan rumit." Dokter itu membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Dina untuk masuk.
...
Setelah mengantar Esti, akhirnya Stefanny bisa bernapas lega. Wanita itu kini melajukan mobilnya di jalan raya. Hujan turun deras, membuat arus lalu lintas lebih sepi dan mudah dikendalikan. Lampu merah seakan mati, jika pun menyala tidak sampai belasan apalagi puluhan menit.
Suara ponsel Stefanny kembali berdering, wanita itu segera meraihnya dan menatap nomor asing yang menghubunginya. Takut jika ada urusan mendadak, Stefanny tanpa pikir panjang mengangkat panggilan itu.
"Halo," ujarnya pelan.
"Stefanny, bagaimana kabarmu?" suara seorang pria terdengar, menggunakan bahasa inggris.
"Siapa kau?" tanya Stefanny, ia tahu siapa yang bicara, namun untuk memastikan dirinya bertanya.
"Kau lupa pada suamimu?" tanya pria itu.
"Saya tidak memiliki seorang suami!" tegas Stefanny.
"Sayang, kau jahat sekali. Mari bertemu, aku ingin bicara banyak hal dengan istri cantikku."
Stefanny mematikan sambungan telepon, ia terlihat kesal dan tak ingin berurusan lebih lama dengan orang itu. Tangannya mencengkeram kemudi pada mobil, rasa sesak seakan menyerang dan menghujamkan jarum-jarum beracun ke hatinya.
Di saat dirinya hampir berbelok ke arah Sungai Raya Dalam, satu pesan masuk dan ia menatapnya dengan tatapan datar.
+628134520xxxx : Mari bertemu, atau ... kau tak akan bisa melihat Sava seumur hidupmu, Stefanny!
Stefanny mengerem mobilnya mendadak, suara decitan ban terdengar jelas. Beruntung saja jalanan sepi dan Stefanny tidak terlibat kecelakaan. Wanita itu meraih ponselnya, ia tak mengerti bagaimana pria b******n itu bisa mengetahui kabar tentang anaknya.
Tanpa banyak kata, Stefanny kembali menghubungi nomor asing itu, beberapa saat ia menunggu. Panggilan tidak terjawab, Stefanny sekali lagi menghubungi, dan akhirnya orang di seberang sana menjawab panggilannya.
"Dimana?" tanya Stefanny.
"Bersikaplah yang manis, Sayang."
Stefanny tahu, mantan suaminya bukan orang yang suka di abaikan. Wanita itu memejamkan mata, ia mengembuskan napas pelan.
"Vicente, dimana kita bertemu?" suara itu terdengar begitu lembut.
"Aston, aku menunggumu."
"Aku harus menjemput Sava dan pengasuhnya," ujar Stefanny.
"Kau harus mementingkan aku lebih dulu, Stefanny."
"Tapi, Sava harus segera kembali ke rumah! Cobalah untuk mengalah dengan anakku!" tegas wanita itu.
"Stefanny, aku akan mengirim orang-orangku untuk menjemput mereka. Hargai aku, jadwal kerja yang harusnya aku hadiri, dengan senang hati ku tunda demi dirimu."
Setelah sebaris kalimat itu, telepon terputus. Stefanny segera menghubungi Rifky, dan memintanya segera menjemput Dina dan Sava. Ia tak bisa mempercayakan Dina dan anaknya kepada orang lain.
Namun, saat Rifky menjawab teleponnya, Stefanny mendapat pesan masuk pada ponselnya yang lain.
+628134520xxxx : Jangan menghubungi pria sialan itu, kau hanya akan menggali kuburan anakmu sendiri, Stefanny.
"Halo, kenapa Stef?" tanya suara di seberang sana.
"Nggak, nggak jadi Rif. Tadi Sava yang mainin HP-ku, lanjut aja." Stefanny berusaha setenang mungkin.
"Beneran gak kenapa-napa?"
"Bawel deh, iya beneran!"
"Stef, kapan masuk kerja? Aku kangen nih, gak ada janda muda di kantor."
Sejenak, Stefanny menegang. Ia tak tahu kapan bisa bertemu dengan teman satu kantornya kembali. Jika Vicente sudah mengetahui banyak tentangnya, ia hanya akan membawa orang lain ke dalam masalah hidupnya.
"Stef."
"Iya, pas Sava sehat aku masuk kerja. Teneng ajalah," jawab Stefanny, "udah ya, Sava rewel nih."
"Bentar, aku boleh jenguk calon anak?"
"Nggak! Bukannya istirahat, Sava bakalan kamu ajak main." Stefanny langsung mematikan sambungan telepon. Ia meletakan kedua ponselnya di kursi penumpang, dan bergegas menemui Vicente, mantan suaminya.