Stefanny baru saja selesai makan dan meminum obatnya, wanita itu dengan sangat terpaksa menerima kebaikan dan perhatian Vicente untuknya. Stefanny tahu, Vicente tidak akan menyerah, pria itu akan terus berusaha dan memaksakan kehendaknya sendiri.
Stefanny mencoba untuk lebih tenang, ia melirik seorang pria yang kini berdiri di depan pintu. Hah ... pengawal itu begitu setia kepada Vicente, dan Stefanny benar-benar merasa heran.
“Nyonya, apa ada yang bisa saya bantu?” Tanya pengawal tersebut.
“Tidak,” sahut Stefanny singkat.
Stefanny memilih duduk sambil melihat siaran di televisi, wanita itu sesekali melirik Vicente yang sedang berada di sudut ruangan. Pria itu terlihat begitu sibuk, di atas meja ada beberapa berkas yang entah berisi apa, sedangkan fokus Vicente kini terarah pada laptop yang juga berada di atas meja.
“Ada apa, Stefanny? Apa kau ingin mengingatkanku seperti dulu?” tanya Vicente tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
“Pede banget jadi orang,” balas Stefanny dengan bahasa Indonesia. Wanita itu sedikit merasa malu karena Vicente menangkap basah dirinya.
“Kau mengatakan apa? Aku tidak mengerti,” sahut Vicente.
“Nggak ngerti ya belajar, idup kok susah amat.” Stefanny melirik Vicente yang kini menatap.
“Stefanny, apa kau sedang mengatakan hal-hal yang tidak baik tentangku?” tanya Vicente lagi.
Stefanny memutar bola matanya jengah, kenapa Vicente sekarang berubah menyebalkan? Apa yang pria itu makan selama mereka tidak bersama? Kenapa tidak mengabaikan ucapan atau tindakannya saja seperti dulu.
“Stefanny, kenapa kau tidak menjawab?”
“Diam deh, kerjain aja itu kerjaan. Nggak usah ganggu, kamu tuh sebenernya manusia apa mirip manusia sih?” tanya Stefanny dengan cepat, ia bahkan terengah lelah setelah mengatakan kalimat itu dalam satu kali tarikan napas.
Vicente yang tak mengerti memilih diam, ia kembali fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan Stefanny.
Kebiasaan Vicente sejak dulu tidak berubah, pria itu terlihat selalu serius jika menyangkut pekerja. Vicente bahkan sering kali melupakan jadwalnya untuk makan, padahal pria itu memiliki masalah lambung yang cukup serius.
“Vicente,” panggil Stefanny.
“Hmm?”
“Mendingan kamu keluar gih, cari makan dulu.”
“Stefanny, tolong bicara menggunakan bahasa Inggris.” Vicente terlihat tidak fokus, pria itu meletakkan dokumen di tangannya, ia juga menatap Stefanny.
“Nggak usah peduliin aku, anggap aja patung!” tegas Stefanny. Wanita itu kesal, ia ingat bagaimana Vicente sering mengabaikannya dulu.
Stefanny menggelengkan kepalanya pelan, mengingat masa lalu bersama Vicente cukup menyakitkan untuknya. Wanita itu mengembuskan napas agak kasar, ia meraih remote dan segera mematikan televisi.
“Udah, lanjutin aja itu kerjaan, aku capek.” Stefanny kembali menggunakan bahasa Indonesia, membiarkan Vicente bingung dengan arti dari kalimat-kalimat itu.
Stefanny mengembuskan napas pelan, tak tahu harus mengucapkan kata seperti apa saat ini. Jika ia mengingatkan Vicente tentang kebiasaan buruk itu, ia yakin Vicente akan menanggapi perhatian dengan maksud yang salah.
“Baiklah, terserah padamu, Stefanny. Aku sedang sibuk, dan kau tahu itu.” Vicente kembali fokus pada pekerjaannya, sedangkan Stefanny menelan ludahnya kasar. Kenapa baru saja ia bertindak bodoh? Ia seperti seorang wanita yang sedang mencari perhatian dari seorang pria.
Saat Stefanny sedang termenung, pintu ruang perawatannya terbuka. Stefanny segera menatap ke arah pintu dan tersenyum, ia melihat anaknya yang super cantik. Wanita itu merentangkan tangan, menunggu Sava berlari dan memeluknya.
“Bunda,” panggil Sava. Gadis kecil itu segera berlari ke arah Stefanny, ia terlihat hampir menangis dan berakhir memeluk raga sang ibu.
Stefanny mengelus rambut panjang putrinya, ia tersenyum hangat kala Dina masuk dan menghampirinya. Wanita itu segera mengecup kening Sava, ia mencurahkan kasih sayangnya.
“Mbak, i-itu ... itu bule yang ngasi Dina duit,” ujar Dina sedikit berbisik.
Stefanny melirik Vicente yang terlihat masih fokus pada pekerjaan, ia tersenyum kecil dan menatap Dina.
“Itu Ayahnya Sava, Din.” Stefanny bisa melihat wajah pengasuh anaknya yang sedikit kaget, ia tertawa kecil.
“Astaga, ganteng bener, Mbak. Itu manusia apa Bidadara? Ganteng kok nggak kira-kira sih.” Dina terlihat begitu kaget, entah apa yang dipikirkan gadis itu sekarang.
Sava yang mendengar kata 'Ayah' keluar dari bibir ibunya segera mengalihkan pandangan, ia melihat seorang pria sedang duduk dan tersenyum ke arahnya.
“Bunda, itu siapa?” tanya Sava.
Mendengar pertanyaan Sava, hati Stefanny sedikit tercubit. Akibat dari perceraian itu, anaknya bahkan tak mengenal Vicente.
“Stefanny, apa Sava bisa berbahasa Inggris?” tanya Vicente yang terlihat agak bingung.
“Ya, aku bisa berbahasa Inggris. Kau siapa?” tanya Sava.
Stefanny memalingkan wajahnya, sedikit tak tega saat mata Sava menatap Vicente. Anaknya tak tahu siapa ayah kandungnya sendiri, dan saat keduanya bertemu, anaknya itu malah bertanya siapa pria yang ada di hadapannya sekarang.
“Sava ... perkenalkan, aku adalah Vicente, Ayahmu.”
Rasa sesak perlahan memeluk raga Stefanny erat. Ia tersenyum kala Sava menatapnya, mungkin anaknya itu ingin menanyakan beberapa hal.
“Bunda, dia beneran Ayahnya Sava?”
“Iya, itu Ayahnya Sava. Sava nggak mau kenalan?” tanya Stefanny agak ragu, pasalnya Vicente sedang bekerja.
“Mau, tapi Ayah baik nggak kayak Om Rifky?” tanya Sava lagi.
Stefanny menatap Vicente, ia menegang kala Vicente berdiri dan menghampirinya. Stefanny menelan ludahnya kasar kala Vicente ada di dekatnya dan Sava.
“Sava, apa kau ingin bermain dengan Ayah?” tanya Vicente.
Sava menengadahkan kepalanya, ia tersenyum kala Vicente menatapnya. “Ya, aku sangat ingin.”
Stefanny mencuri pandang pada Vicente, ia tak tahu apa yang sekarang pria itu pikirkan. Tetapi melihat bagaimana kebahagiaan Sava membuat Stefanny tidak terlalu khawatir. Mungkin berteman dengan Vicente adalah keputusan yang tepat, Sava memerlukan pria itu untuk bersandar di kemudian hari.
“Stefanny, aku akan bermain bersama Sava di luar. Apa kau ingin memesan sesuatu? Misalnya beberapa minuman dingin, atau juga makanan ringan.”
“Jangan membawa Sava keluar sekarang, Vicente. Sava belum terlalu lama sembuh, dan kau ingin membawanya pergi jalan-jalan. Tunggu hingga kesehatan Sava membaik, tubuhnya masih terasa agak panas, wajahnya juga masih pucat.”
Sava yang mengerti pembicaraan kedua orang tuanya tersenyum, ia mengecup pipi Stefanny. “Bunda, Sava udah baik-baik aja.”
“Dengerin Bunda, jangan keluar sekarang. Sava masih sakit, gimana kalo demamnya kambuh? Sava nggak kasian sama Bunda, nggak kasian ama Mbak Dina?” tanya Stefanny cepat.
“Oke deh, Sava nggak main keluar sama Ayah. Tapi Bunda cepetan sembuh yah, Sava mau jalan-jalan sama Bunda, sama Ayah.”
Stefanny merasa pukulan telak di pipinya, menghabiskan waktu bersama Vicente? Dan itu semua adalah keinginan Sava.
Vicente menatap Sava, ia tak mengerti apa yang Stefanny dan anaknya itu bicarakan.
“Ayah, Bunda mengatakan jika kita bisa bermain bersama lain waktu.”
Vicente mengangguk, ia kemudian mengelus pipi anaknya. Kulit Sava begitu halus, Sava juga lebih mirip dengannya. Vicente terpaku, seandainya ia tahu Stefanny sedang mengandung kala pertengkaran itu terjadi, mungkin ia tidak akan mengusir wanita itu.
Vicente segera memeluk Sava, rasa untuk melindungi gadis kecil itu bertambah besar saat mereka bertemu secara langsung. Pria itu kemudian menggendong Sava, ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa diganti dengan kebahagiaan lainnya.
“Sava, maafkan Ayah. Ayah sangat lama pergi, apa Sava merasa marah?” tanya Vicente.
“Tidak. Bunda mengatakan jika ayah pergi bekerja, Bunda juga mengatakan jika Ayah pasti akan kembali.”
Stefanny yang mendengar jawaban anaknya menunduk, air matanya perlahan menguap, membuat pandangannya sedikit buram. Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, kebahagiaan Sava adalah segalanya, dan kini Sava terlihat semakin senang.
Stefanny tahu Sava sangat merindukan sosok seorang ayah, selama ini Rifky memang menemani Sava dan memberikan perhatian pada anaknya itu. Tetapi itu jelas berbeda, karena Rifky bukan ayah kandung Sava.
Vicente menatap Stefanny, pria itu semakin merasa bersalah. Ia merasa semakin terluka, hatinya terasa perih.
“Ayah,” panggil Sava.
Vicente yang sejak tadi fokus pada Stefanny segera mengalihkan tatapannya.
Chup ...
Vicente kaget saat Sava mengecup lembut keningnya, pria itu merasakan hal asing yang begitu hangat. Ia menatap iris mata anaknya, benar-benar tulus dan masih sangat polos.
“Bunda mengatakan, jika mencium kening seseorang adalah bentuk kasih sayang yang sangat tulus. Dan karena Sava menyayangi Ayah, maka Sava memberikannya untuk Ayah.”
Dina yang melihat bagaimana Sava dan Ayahnya berinteraksi merasa sangat terharu, ia tak pernah melihat Sava sedekat itu dengan seseorang.
“Ya Tuhan, Mbak. Sava aja nggak pernah gitu ke Pak Rifky, tapi sama Ayahnya langsung gitu.” Dina menghapus air matanya dengan kasar.
Stefanny bungkam, sekarang semakin jelas jika Sava merasa Vicente adalah segalanya. Meski mereka baru pertama kali bertemu, tetapi kasih sayang yang Sava berikan sangat besar.
Wanita itu menahan rasa bersalah di hatinya, ia melirik Sava dan Vicente yang masih tertawa bersama.
“Stefanny,” tegur Vicente.
Stefanny segera mengangkat kepalanya, ia menatap Vicente yang kini juga menatapnya. Wanita itu terdiam, ia merasa kaku.
Chup ...
Vicente mengecup lembut keningnya, rasanya begitu aneh dan mendebarkan.
“Vi-cente,” ujar Stefanny gugup.
“Maafkan aku, Stefanny.”
Air mata Stefanny terjatuh kasar, ia buru-buru menghapusnya.
“Sekali lagi, beri aku kesempatan. Stefanny, sekali lagi maafkan aku.” Vicente terlihat begitu tulus, dan Stefanny nyaris tak bisa bernapas karena dadanya terasa sangat sesak.