Derit rem terdengar bagai cicitan panjang yang membuat ngilu di telinga. Diikuti dengan caci maki dan sumpah serapah dari pengendara mobil jenis SUV yang nyaris saja bertabrakan dengan Narendra.
"Astaghfirullah," gumam Narendra.
Dia lantas meminta maaf kepada pengendara itu karena tidak berkonsentrasi. Untuk keselamatan Narendra memilih untuk menepi, ada warung pinggir jalan yang menjadi tempat dirinya untuk menenangkan diri.
"Silakan diminum dulu, Pak," ucap seorang lelaki muda pemilik warung. Narendra bersyukur dirinya tidak celaka, Allah masih menyayangi dirinya.
"Terima kasih, A."
"Kalau ngantuk istirahat, Pak. Tidak ada yang luka, kan?"
"Alhamdulillah," syukur Narendra.
Air putih yang dia minum cukup untuk membuat dirinya sedikit tenang. Orang-orang yang ada di sekitar warung itu berkerumun penasaran dengan insiden yang membuatnya nyaris kehilangan nyawa.
Lima belas menit beristirahat Narendra kembali menyusuri jalanan untuk pergi ke Garut. Tidak dia pungkiri, dalam kepalanya terus tergambar punggung rapuh Ditha. Narendra juga ingat dengan jelas bagaimana jemari lentik Ditha yang gemetaran saat hendak membuka gerbang.
Jika sekadar kecopetan di stasiun dia tidak mungkin sesedih itu, kecuali jika tasnya berisi harta berharga bernilai tinggi.
Pikiran inilah yang membuat Narendra tidak fokus sampai tidak memperhatikan jalanan.
"Ayaaaah!" pekik Azzam saat motor Narendra tiba di depan kediaman Rahayu. Lelaki kecil berwajah tampan itu buru-buru menyambut kedatangan sang Ayah.
Dengan sigap Azzam membukakan gerbangnya. Narendra turun dan memeluk anak lelakinya.
"Hmm ... anak Ayah harum sekali, mana Azzura?"
“Gak tau,” jawab Azzam ketus.
Azzam mengeratkan pelukannya, kemudian minta digendong. Narendra tidak pernah bisa menolak keinginan anak-anaknya. Jika dia bisa, apa pun yang mereka minta selalu dituruti oleh Narendra.
"Kakang, Ayahnya harus masukin motor dulu, Kakang, bisa turun sebentar?"
Rahayu keluar dari rumah menuntun Azzura yang cemberut dengan wajah basah seperti habis menangis.
Kadang, melihat pemandangan seperti ini Narendra sering menyesal karena mengkhianati Rahayu. Andai saja dulu dia tidak main-main dengan Anjani, mungkin sampai saat ini Anjani masih hidup dan Narendra hidup bahagia bersama Rahayu.
Meski begitu, dari semua masa lalunya, Narendra tidak pernah menyesali pernah menjadi bagian dari kehidupan Anjani hingga akhir hayatnya. Bagi Narendra cinta mereka tidak salah, perasaan keduanya juga tidak salah, yang salah adalah dirinya yang terlalu serakah karena tidak bisa memilih di antara kedua wanita itu.
"Ayaaaah," isak Azzura saat Narendra mendekat.
"Putri cantiknya Ayah kok menangis, kenapa?" tanya Narendra.
“Kakang nakal, mainan Barbie Adek dipatahin tangannya,” adu gadis kecil itu.
Narendra berbalik dan melihat ke arah Azzam. Sementara Azzam menunduk, kedua tangannya ditautkan, dan bergerak dengan cemas. Narendra tahu anak lelakinya tidak sengaja dan tidak bersalah, tetapi yang namanya anak-anak pasti ada debatnya.
“Tuh, diem aja, kan, karena Kakang salah, Kakang udah bikin rusak mainan adek.”
“Kan Kakang udah minta maaf, tapi Adek malah nangis.”
“Stttt gak usah nangis, gak usah ribut. Siapa yang mau ikut ayah naik motor keliling kampung?” tanya Narendra.
“Aku!” jawab dua anak itu kompak.
“Tapi ayahnya istirahat dulu, kasian. Azzam sama Azzura siap-siap dulu, pakai cuci muka terus pakai jaket.” Mudah sekali menenangkan dua anak itu.
Narendra tersenyum dan berterima kasih saat Ipah, membawakan minuman untuk dirinya. Rasa haus yang dia rasakan hilang sudah, berganti segar karena minum sirup markisa yang ditambahkan es batu.
“Bentar Bi Ipah.”
Narendra beranjak sebentar lalu membawa bungkusan yang dia gantungkan di atas motornya. Ketika kembali ke teras rumah, Rahayu keluar dari rumah seraya menggendong anak bungsunya.
“Ini s**u murni dari Pangalengan, Bi Ipah angetin aja sambil terus diaduk.”
“Makasih, Bang,” ucap Rahayu.
“Maaf Cuma bisa bawa itu.”
“Alhamdulillah, Ayah sama Kak Rahmadi suka s**u murni, nanti biar Yayu bagi sebagian untuk mereka.”
Narendra tersenyum, dia melirik ke arah rumah. Bukan melihat keberadaan si kembar yang sedang siap-siap, tetapi mencari Adrian yang biasanya suka ikut menyambutnya.
“Suami kamu mana?” tanya Narendra.
“Ke Singapura, ada kerjaan di sana.”
“Sibuk banget, ya, dia,” komentar Narendra.
“Enggak juga sih, biasanya dia kerja di rumah, WFH. Tapi ini ada yang harus diselesaikan secara langsung.”
Jika dilihat-lihat, tidak ada yang kurang dari Rahayu. Dia memang tidak secantik Anjani, tetapi Rahayu memiliki daya tarik yang membuat Narendra suka kepadanya. Kepribadian Rahayu juga sangat bagus. Dapat bergaul dengan baik tidak pernah memandang status sosial meski dirinya lahir dan besar dari keluarga kaya sekelas Haji Makmur.
Seharusnya Narendra dapat mensyukuri nikmat Tuhan kala diberikan istri seperti Rahayu. Ariyani saja bisa lulus kuliah berkat kepintaran Rahayu menyimpan dan mengelola gaji dengan baik. Terkadang jika mengingat hal itu Narendra ingin memutar waktu.
Kembali ke masa yang entah harus dia mulai dari mana untuk memperbaiki semuanya. Narendra selalu ingat pesan mantan mertuanya, kakek dari kedua anaknya agar jika kelak menikah lagi Narendra tidak melakukan hal yang sama. Cukup istrinya, hanya istrinya.
Tapi istri yang mana, bahkan sampai detik ini Narendra masih lajang. Masing belum bisa menemukan pendamping untuk menemani hidup ke depannya.
Entah mengapa tiba-tiba ingatan membawanya untuk kembali mengingat Ditha. Ingat tangisan perempuan itu dan ingat bagaimana Ditha bersimpuh di kaki ibunya. Bahkan saat Ditha pinjam uang di SPBU pun Narendra ingat dengan jelas. Lelaki itu seperti menemukan kembali rasa yang telah hilang dalam dirinya. Perasaan ingin melindungi tumbuh begitu besar.
“Bang!” sapa Rahayu.
Narendra mengerjap, “Eh udah siap?”
Azzura dan Azzam sudah duduk di motor Narendra.
“Lagi ada masalah? Daritadi Yayu panggil Abang anteng aja bengong.”
Narendra malu sendiri. Dia hanya tersenyum dan menjawab bahwa dirinya baik-baik daja dan tidak sedang terlibat masalah apa pun.
Setelah berpamitan, dia lalu mengendarai motornya di sekitar jalanan kampung, membawa anak-anak main berkeliling penuh sukacita. Narendra mendengarkan celotehan Azzam dan Azzura sesekali tertawa saat Narendra menceritakan lelucon yang lucu.
“Sudah sore, Ayah pulang dulu, ya.” Dipeluknya bergiliran anak kembarnya.
“Ayah ke sini lagi kapan?” tanya Azzam.
“Ayah harus jualan kalau malam, pagi-pagi belanja ke pasar. Biasanya Ayah libur jualan di malam Jumat, jadi hari kamisnya Ayah bisa main ke sini lagi, gimana?”
“Kalau Ayah capek enggak apa-apa. Nanti Azzam sama Adek kalau liburan boleh main ke Bandung, kan?” tanya Azzam.
Narendra melihat Rahayu, dia tidak bicara, tetapi Rahayu mengerti bahwa Narendra meminta izin. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
“Boleh, nanti tidur sama Nenek, sama Aunty Ariyani sama Dedek Zafar.”
Dua anak itu bersorak bahagia lalu tersenyum dan kembali memeluk Narendra. Narendra juga bahagia, meski dia harus buru-buru pulang karena Zen dan Andri pasti sudah menunggu di Warung Kembar.
Bersama dengan pekatnya malam, di bawah hamparan bintang Narendra kembali menyusuri jalanan untuk kembali ke kota Bandung. Entah mengapa, sebelum dia pergi dari tempat itu ada harapan yang dia rapalkan di hatinya agar bisa bertemu kembali dengan Ditha.