”Teteh, apa tidak masalah kita pergi pakai motor?” tanya Narendra.
“Kalau masalah saya enggak akan duduk di sini dari tadi, A. Ini malah saya yang minta maaf sama Aa, udah ngerepotin banget. Udah ngasih tumpangan bahkan nganterin.”
Narendra memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang, jalanan protokol di kota Bandung sedang padat dan Narendra membonceng orang lain membuat dia berhati-hati agar Ditha merasa nyaman saat dibonceng.
“Enggak repot, Teh, saya kebetulan mau ke Garut.”
Ditha mengangguk, tidak sadar sebenarnya Narendra tidak dapat melihat anggukkan perempuan itu. Sepanjang perjalanan Ditha masih terus memikirkan kejadian yang menimpa dirinya. Berusaha melupakan adalah salah satu siksaan yang membuat hatinya berdenyut sakit, apalagi ketika mantan suaminya terang-terangan bermesraan dengan perempuan lain di rumahnya.
Jalanan yang rusak membuat motor sedikit terguncang dan Ditha mau tidak mau akhirnya memegang ujung jaket Narendra karena refleks. Narendra melirik dari spion, Ditha seperti sedang menyimpan beban berat ditandai dengan keningnya yang selalu berkerut dan tatapan matanya yang kosong.
“Maaf, Teh, jalanannya rusak,” ujar Narendra, suaranya samar terbawa angin.
“Tidak apa-apa, hati-hati saja, A.”
Sekilas dua pasang mata bertemu di satu titik, Ditha melihat Narendra memiliki mata tajam yang tegas sementara Narendra tidak mampu mendeskripsikan bagaimana wajah Ditha, dia terlalu fokus menyusun keping ingatan tentang istri keduanya yang sudah lama pergi.
“A SPBU depan bisakah kita berhenti dulu?” tanya Ditha tiba-tiba.
“Bisa, Teh.” Narendra menjawab tegas. Dia mengira Ditha butuh sesuatu entah itu toilet untuk menuntaskan kebutuhannya ataupun minimarket yang menyediakan makanan dan minuman ringan. Jujur Bandung hari ini sangat panas, perjalanan mereka dilakukan di siang hari saat matahari sedang gagah-gagahnya sebagai rajanya hari.
Ditha turun dari motor, dia berjalan menuju toilet. Narendra menunggu dengan setia tepat depan musala yang ada si SPBU itu. Jika orang lain melihat mungkin mereka menyangka sepasang suami istri yang hendak pulang kampung mengingat betapa banyak bawaan mereka, selain koper Ditha juga ada oleh-oleh yang sengaja Narendra bawa untuk Ditha dan juga untuk anak kembar Narendra di Garut.
Selang sepuluh menit, Ditha keluar dari area toilet dengan wajah lebih segar, dia bercakap sebentar dengan petugas yang berjaga di depan toilet di tengah obrolan tersebut Ditha menunjuk ke arahnya. Perempuan itu berjalan tergesa menghampiri Narendra yang duduk tenang di motornya.
“A, pinjam uang boleh?” tanya Ditha. “Nanti di rumah saya bayar, itu buat bayar kotak toilet sama mau beli air mineral, haus banget.”
“Boleh.” Narendra mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu tetapi buru-buru ditolak Ditha.
“Kalau ada sepuluh ribu aja, butuhnya buat air lima ribu sama kotak amal itu dua ribu. Uang pas juga kalau ada enggak apa-apa.”
Narendra diam sejenak kemudian merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang recehan kembalian dari pasar. Ditha berterima kasih, dia mengambil selembar uang lima ribu dan dua koin lima ratusan untuk dimasukkan ke kotak yang ada di toilet.
“Maaf, ya, Pak,” ujar Ditha. Dia kemudian memasukkan koinnya ke dalam kotak, selesai dari sana Ditha masuk me minimarket dan membeli sebotol air mineral.
Narendra sudah duduk di kursi depan minimarket menunggu Ditha.
“Capek ya, Teh?” tanya Narendra saat Ditha keluar dari minimarket, kemudian duduk satu meja dengan Narendra sambil meneguk minumannya.
“Capek sih enggak, A, Cuma saya haus banget. Oh iya ini ada kembalian seribu.”
Narendra tertawa lalu mengambil uang koin itu dan memasukkannya ke dalam kotak amal di depan minimarket.
“Aa enggak haus?” tanya Ditha.
“Enggak, saya udah biasa panas-panasan begini.”
“Kalau boleh tahu, memangnya Aa mau ke mana?”
“Anak-anak saya pengen ketemu. Padahal baru kemarin ketemu.” Narendra tersenyum saat mengatakan hal itu.
Ditha membatin, pantas saja Brian mencampakkan dirinya, bagi sebagian orang memang anak adalah salah satu tolak ukur kebahagiaan dalam pernikahan. Ditha melihat kebahagiaan itu dari Narendra, lelaki itu bahkan memasang foto kedua anaknya di lookscreen. Bukan istri yang menjadi belahan jiwanya.
Pantas saja Brian murka ketika tahu bahwa Ditha kemungkinan besar tidak akan bisa memberikan keturunan. Hatinya yang sakit kini mulai terluka lagi. Dia hanya bisa diam, meneguk air putih banyak-banyak.
“Kalau sudah siap hayuk berangkat lagi,” ajak Narendra.
Ditha hanya mengangguk, dengan patuh perempuan itu naik ke boncengan dan menikmati perjalanan dengan banyak diam.
Tidak membutuhkan waktu yang banyak, mereka sampai di Rancaekek. Deretan pabrik-pabrik besar di setiap sisi jalanan menjadi ciri khas dari daerah tersebut. Ditha menunjuk sebuah gapura dan Narendra membelokkan kendaraannya ke sana.
Semakin dekat dengan rumah Ditha semakin tidak sanggup menyiapkan mentalnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orangtuanya saat melihat anaknya pulang sendiri diantarkan orang asing dan membawa oleh-oleh surat cerai.
Dulu sekali, Ditha pernah berkhayal pulang dengan membawa cucu yang lucu untuk Ibu dan Abahnya. Sayangnya harapan itu harus dia kubur dalam-dalam, kini dia hanya membawa sebuah kekecewaan yang bahkan bisa membuat keluarganya malu menanggung aib.
“Sebelah mana, Teh?” tanya Narendra.
Ditha tersadar, dia melihat sekeliling, ada rumah bercat biru dengan warung di depannya, dia buru-buru menghela napas karena rumahnya sudah terlewat, dari warung tersebut kira-kira lima rumah sebelumnya.
“Maaf, ya, Aa. Tadi saya bener-bener melamun.”
“Enggak apa-apa, Teh.”
Dita menepuk pundak Narendra ketika sampai di depan sebuah rumah berpagar. Ada dua sangkar burung di gantung depan rumah. Ditha tahu Abahnya suka sekali memelihara burung berkicau. Dengan hati-hati dia turun dan berusaha membuka gerbang dengan tangan gemetar. Ditha tidak tahu lagi bagaimana caranya membendung perasaan sedihnya.
Pagar yang tidak dikunci gembok itu mendadak sulit sekali dibuka, tangannya malah gemetaran dan pandangannya memburam seketika. Ada air mata yang jatuh membasahi pipinya. Melihat gelagat aneh dari Ditha, Narendra dengan sigap turun dari motor, menurunkan koper dan membantu Ditha membuka pintu itu.
Narendra meraih tangan Ditha, mengeluarkannya dari lobang gerbang dia merasakan bahwa Ditha gugup dan juga takut. Tangannya dingin dan gemetaran hebat.
“Biar saya bantu,” ucap Narendra.
“Terima kasih.” Suaranya tercekat.
Rasa penasaran Narendra hampir terjawab sedikit demi sedikit. Ditha pulang ke bandung tidak dalam keadaan bahagia. Ditambah harus kehilangan tas berisi barang berharganya membuat hidupnya yang pahit bertambah getir.
Gerbang berhasil dibuka, derit akibat gesekan dengan roda bawah terdengar sampai ke dalam. Hal itu membuat penghuni rumah keluar memastikan siapa yang datang berkunjung.
“Ditha!” pekik lelaki tua. Wajahnya teduh ada sorban dikalungkan di lehernya. Narendra di depan gerbang mengangguk dengan sopan seraya membawa koper serta sedikit oleh-oleh dari pangalengan tadi pagi.
Mendengar nama Ditha disebut, seorang wanita separuh baya tergopoh-gopoh menyambut kedatangan anak perempuannya. Tanpa Narendra duga perempuan itu bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. Tangis yang sejak semalam ditahan oleh Ditha pecah saat itu juga.
Suaranya memilukan, bahkan tetangga kanan dan kirinya keluar memastikan apa yang terjadi di rumah itu. Untungnya kedua orang tua itu segera tanggap dan membawa Ditha ke rumah.
“Silakan masuk, Nak.”
Narendra menyeret koper Ditha dia masuk ke dalam rumah yang sangat sejuk. Di ruangan tamu ada foto ukuran besar, meski memakai riasan pengantin, Narendra tahu sosok itu adalah Ditha. Ah, rupanya dia sudah menikah.
“Kenapa pulang gak ngasih kabar? Mana Nak Brian?” tanya ibunya.
“Ehm ... maaf sebelumnya, saya tidak bisa lama-lama. Ini koper Teh Ditha dan ini sedikit oleh-oleh dari saya.”
Dia sadar apa yang terjadi bukanlah urusannya, jaji Narendra memilih untuk pamit dan melanjutkan perjalanan sampai ke Garut.
Sayangnya ayah dari Ditha tidak mengizinkan Narendra pergi, dia meminta penjelasan mengapa Narendra bisa bersama putrinya.
Ditha belum bisa ditanya, dia terus menangis di pangkuan ibunya. Hal itu mengurungkan niat Narendra untuk pergi.
“Maaf, Pak, Saya Rendra. Penjual Roti bakar di daerah Dago. Semalam sewaktu saya jualan saya ketemu Teh Ditha lagi nangis katanya nyasar dan kecopetan. Semalam Teh Ditha tidur di tempat saya karena dia nekad tidur di emperan toko. Maaf baru mengantarkan sekarang karena saya harus ke pasar dulu buat belanja.”
Abahnya Ditha tersenyum, dia kemudian mengucapkan banyak terima kasih kepada Narendra karena mau membantu anaknya yang tengah kesulitan. Narendra mengangguk hormat, kemudian meninggalkan rumah itu setelah pamitan kepada kedua orang tua Ditha.
“Apa yang terjadi?” tanya Abah Ditha. Setelah motor Narendra hilang dari pandangan. “Kenapa kamu pergi dengan pria asing bahkan tinggal di tempatnya? Bagaimana jika Nak Brian tahu?”
Dita yang tengah terisak merasa tersulut. Brian adalah salah satu pria yang sama sekali tidak mau dia dengar namanya untuk saat ini. Hatinya terlalu sakit.
Dia beranjak kemudian mengambil kopernya dan mengeluarkan amplop yang disimpan di dalamnya.
“Anak Abah sekarang sudah resmi jadi janda, Bah. Ditha harus kalah dengan perempuan lain yang mampu memberikan Mas Brian keturunan. Ditha gak berguna sebagai istri dan sekarang Ditha pun gak berguna sebagai anak Abah. Ditha pengen mati aja, Bah, Ditha gak sanggup lagi hidup.”
Dita teriak histeris, kenyataan pahit yang dialaminya itu benar-benar menyedot semangat hidupnya. Perempuan itu sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia tidak tahu lagi harus melanjutkan hidup dengan cara apa.