Sedih yang Tak Berujung

1573 Kata
Ditha selalu berpikir bahwa dirinya adalah perempuan beruntung yang memiliki pernikahan sempurna dengan Brian. Cinta seorang Cinderella dengan pangerannya di dunia nyata. Tidak ada yang menandingi kisah cintanya yang indah. Satu tahun berlalu, kisah cinta yang indah itu semakin indah. Dia seperti seorang putri di sebuah kerajaan yang mendapatkan segalanya dengan sangat mudah. Sindiran dan pertanyaan tentang hadirnya buah hati menjadi momok yang menakutkan bagi Ditha. Jika diperkenankan dia sama sekali tidak ingin bertemu dengan siapa pun di dunia ini. “Selama ada aku, jangan pernah takut untuk menghadapi mereka,” pesan Brian saat mendengarkan curhat dari Ditha. Keluhan demi keluhan perempuan itu ditanggapi dengan kalimat penghibur berisi ucapan kasih sayang yang menenangkan hati. Namun, beberapa tahun berlalu pernikahan Ditha dengan Brian berubah. Dingin dan menjadi sebuah pernikahan yang sama sekali menyiksa bagi Ditha. Setelah Brian dan Ditha mengetahui penyebab belum hadirnya buah hati di antara mereka. Brian berubah menjadi seorang raja yang keji kepada Ratunya. Tidak ada lagi kelembutan yang dia rasakan. Terakhir ada hal mengejutkan dan menyakitkan sampai membuat dirinya terusir dari rumah yang selalu dianggap istana bagi dirinya. “Sudah jangan diratapi, biar nanti Abah hubungi Nak Brian minta penjelasan. Enak saja, minta anak gadis Abah baik-baik, tetapi setelah merasa bosan anak Abah dibuang seperti sampah. Minimalnya kembalikan kepada Abah dengan baik. Jangan seperti ini.” Dita mengangkat wajahnya. Cinta pertamanya yang memiliki wajah teduh berusaha menguatkan dirinya. Meski tidak dapat dipungkiri Ditha bisa melihat gurat kecewa dari wajah lelaki tua itu. Berada di rumah, Ditha tidak mengalami kehampaan dan kekosongan. Sebagai orangtua, Hani dan Prayoga selalu berhasil membuat perempuan itu merasa nyaman. “Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi Abah, sudah jelas Ditha yang salah, Ditha yang tidak mampu memberikan kebahagiaan bagi Mas Brian sementara Mas Brian sudah bisa memberikan seluruh kebahagiaan untuk Ditha.” Hani mendekat, mengelus punggung anaknya yang tengah menangis meratapi diri. “Menunggu kepastian punya anak atau tidak itu sama saja dengan menunggu kepastian mati. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa menebak kapan tepatnya dan Allah sudah menetapkan kapan itu akan terjadi bahkan sebelum kamu dilahirkan. Dan satu hal lagi, Abah tidak rela jika kamu hanya dijadikan mesin pencetak anak bagi suamimu.” “Tapi, pernikahan tanpa anak itu memang tidak akan memberikan kebahagiaan, Abah,” bantah Ditha. “Ditha harus meluruskan niat untuk menikah, inilah yang akan terjadi jika tujuan kalian menikah hanya melahirkan anak-anak. Sudahlah hidup Ditha masih sangat panjang, jika Brian tidak menerima kamu, jangan pernah mengira kalau Abah dan Ibu juga tidak akan menerima kamu. Apa pun keadaanmu saat ini kamu tetap anak Abah.” Setetes bulir bening jatuh membasahi pipi Ditha, sungguh malu perasaan Ditha karena menjadi perempuan yang tidak bisa membanggakan siapa pun. Perempuan itu berdiri dan berjalan menuju sebuah nakas di mana terdapat bingkai-bingkai foto dirinya di masa lalu. Ada foto dengan Brian yang kemudian dia ambil dan dikumpulkan. Ditha dan Brian sudah tidak mungkin bisa bersama lagi. Untuk membantu memulihkan diri, Ditha memutuskan untuk mengubur semua dalam-dalam. Menghilangkan jejak agar dirinya tidak bisa melihatnya lagi. Di antara bingkai-bingkai foto yang ada di sana, Ditha mendapati sebuah foto dirinya bersama dengan puluhan anak usia Empat sampai lima tahun. Dulu, dia adalah guru TK mengajar banyak anak-anak, menyayangi mereka dan merasakan bahwa hanya dunia anak-anaklah yang bisa membuat dirinya begitu bahagia. “Kabahagiaan ini tidak akan bisa Ditha rasakan lagi, Bu,” ucap Ditha. Hani yang berdiri di sampingnya hanya bisa mengelus lengan Ditha. Berusaha memahami apa yang sedang dirasakan oleh anak perempuannya. Hari demi hari dilalui Ditha dengan tangisan, apalagi setelah sanak saudara di sekitar rumahnya tahu berita perceraian Ditha dari salah seorang keluarga utama yang membocorkan rahasia Ditha kepada saudara yang lain. Banyaknya pertanyaan bukan karena peduli, tetapi tidak lebih dari sekadar rasa ingin tahu tentang Ditha. Tentang keadaannya yang sedang menimpa dirinya saat ini. “Sudah berobat ke mana aja? Jangan putus asa dan menyerah, liat, tuh Riri anaknya Bu Nur, dia sampai ikut program bayi tabung ke Surabaya.” Bibi Awik, adik bungsu Abah datang dengan segala macam omongan yang membuat Ditha sakit hati. “Ditha tidak harus bilang, kan, bagaimana usaha Ditha dan Mas Brian untuk punya anak?” tanya Ditha. “Kamu kurang gigih usahanya, makanya banyakin gerak, biar berat badannya juga turun. Anak Pak RW disuruh dokternya untuk menurunkan berat badan saat ingin punya anak, Ditha tahu, tidak setelah berat badannya turun itu anak langsung hamil.” Semakin ke sini, ucapan Bi Awik semakin membuat Ditha tertekan dan terkesan bahwa Ditha sama sekali tidak memperjuangkan segalanya. Terkadang ada masanya seperti semua kesalahan ada pada Ditha. Ditha membutuhkan sebuah dukungan, bukan hanya cemoohan serta nasihat-nasihat yang sebenarnya sama sekali tidak membantu dirinya untuk bangkit dari kesedihan. “Dit,” panggil Hani saat mendengar isakan dari kamar anaknya. Ditha tidak menjawab, kepala rasanya sakit, d**a sesak dan dia hanya bisa meringkuk di sudut kamar tanpa cahaya sedikit pun. Kamar yang gelap untuk saat ini adalah ruangan yang membuat dirinya merasakan sebuah kegembiraan. Jauh dari tekanan dan memberikan sensasi sakit di sekujur tubuhnya. “Buka dulu Ibu mau bicara, Nak.” Hani tidak putus asa, dia terus mengetuk sampai suaminya yang baru saja pulang dari masjid sedikit panik melihat istrinya yang mengetuk dengan raut wajah tidak sabar. Prayoga paham, Hani khawatir, dia juga paham jika Ditha ingin sendiri meratapi nasibnya. “Ditha masih terkejut dengan keadaan ini, Bu. Biarkan dulu dia sendiri,” ucap Prayoga. “Anaknya enggak makan seharian, kok, santai gitu, Bah. Ibu khawatir sekali, gak makan enggak minum. Diam di kamar lampunya dimatikan, hati siapa yang enggak sakit lihatnya?” Hani tergugu, dia merasa begitu terluka melihat anak yang dia lahirkan dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang kini harus mengalami sebuah penderitaan yang menyakitkan. Sementara di kamar, luka Ditha semakin dalam. Seperti borok penderita diabetes yang sukar untuk sembuh dan kering. “Terkadang seseorang butuh waktu untuk menyembuhkan luka. Abah percaya Ditha anak kita hebat dan bisa melalui semuanya dengan baik. Abah juga tahu kalau Ditha percaya bahwa kita akan selalu ada untuknya.” Prayoga sengaja berucap demikian dengan suara cukup keras, dia tahu anak perempuannya akan mendengar dan mengerti apa yang dia katakan. Benar, Ditha mendengarnya, di sudut kamar Ditha menggigit bibirnya menahan tangis karena kesakitan-kesakitan yang dia rasakan saat ini. * Menangis berhari-hari membuat Ditha merasakan sakit kepala yang hebat. Biasanya hal yang dia lakukan untuk mengurangi sakit pada mata serta keningnya adalah dengan mengompresnya dengan air es. Dia keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah dapur. Dan mengisi sebuah baskom dengan air yang diberi es di dalamnya. Ada makanan yang disediakan di meja dapur, Ditha tahu itu makanan kesukaannya. Seketika perasaan bersalah menyergapnya, dia merasa menjadi seorang anak yang tidak tahu diuntung karena mengabaikan kebaikan kedua orangtuanya. Sebelum mengompres dahi dan matanya, Ditha meneguk segelas air putih dan memakan makanan yang sudah disediakan. Rasanya tidak enak, bukan karena tidak enak masakannya, melainkan nasfsu makannya belum kembali sepenuhnya. “Dith, baru ibu mau antarkan makanannya, tadi ke depan sebentar ada tukang sayur lewat.” Hani melirik ada baskom berisi air dengan es batu dan handuk kecil. “Ibu bantu, ya,” ujar perempuan itu. “Terima kasih, Bu,” ucap Ditha. Handuk dingin yang menempel di kening Ditha memberikan sensasi dingin yang mengantarkan sedikit kenyamanan bagi Ditha. Berat di kepalanya berangsur mengendur meski tidak hilang sepenuhnya, tetapi sedikit berkurang. “Kemarin Abah marah pada Bi Nuning, Dith,” ungkap Hani. “Kenapa?” “Bi Nuning yang memberitahu bibi Awik dan uwak kamu masalah yang sebenarnya. Maaf karena ibu tidak bisa menjaga rahasia kamu dengan baik,” ucap Hani. Pijatan pijatan ringan diberikan Hani kepada Ditha. Perempuan itu memejamkan mata karena rasa nyaman yang dia rasakan. “Memangnya Ibu cerita pada Bi Nuning?” tanya Ditha. “Waku kamu pulang dianter, pemuda kemarin Bi Nuning kan ada di dalem, lagi setrika baju. Mungkin dia dengar dan cerita sama bibi kamu. Abah marah, bi Nuning di tegor.” “Enggak di berhentikan, kan?” “Enggak, Ibu sama Bapak gak sampai hati memberhentikan Bi Nuning. Dia masih punya anak sekolah yang harus dia urus.” Ditha lega. Setidaknya dirinya tidak lagi menjadi pembuat masalah. “Oh iya, Bu, Aa yang kemarin ngantar Ditha gak ada cerita apa-apa sama Abah?” “Tidak ada, memangnya kenapa, dia hanya ngasih s**u murni,” ungkap Hani. “Ditha punya utang sama dia, Bu. Pas dalam perjalanan, kan, Ditha gak ada uang. Ditha pinjam untuk beli air minum.” “Tidak ada, memang berapa kamu pinjam?” tanya Hani. “Tidak banyak, Bu, tapi kan namanya juga utang.” “Semoga aja nanti ketemu lagi.” Handuk dingin itu kini berpindah tempat menyeka tengkuk dan lehernya. Rasa nyaman Ditha rasakan kembali setelah berbagai kesedihan dia rasakan dan begitu mengganggunya. “Makanlah lagi kamu harus sehat, harus bangkit, kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menemani Ibu saat tua nanti?” “Kalau Ibu punya Ditha untuk menemani Ibu sama Abah di hari tua, lantas siapa yang akan menemani Ditha di hari tua nanti, Bu?” Hani tidak dapat menjawab pertanyaan putrinya, walau bagaimanapun orang itu tidak mampu membuat anaknya sedikit terhibur untuk saat ini. Setiap perkataannya rasanya dianggap salah dan membuat anaknya terluka. Setetes air mata kembali membasahi pipi Ditha. Rasanya Tuhan terlalu berat memberikan cobaan kepadanya. Ditha merasa pedih, dia akan menjadi orang paling menyedihkan karena akan hidup sendirian di dunia ini, tidak akan ada orang yang sekadar memperbaiki letak selimutnya ketika tertidur. Seperti yang sering dilakukan kepada ibunya ketika sudah terlelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN