BAB 7

991 Kata
BAB 7 “Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya, biasa ... belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. Makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu. Akhirnya, Evan memberanikan diri mengejar dan bertanya di luar batasnya sebagai seorang tukang ojol. “Bu, maaf … mau tanya. Apa majikan ibu itu mantan model, ya? Soalnya Mama saya dulu ngefans banget sama dia. Tadi saya lihat dia keluar rumah yang Ibu tempati.” Perempuan itu mengernyit lalu tertawa. “Oh, bukan, Mas. Yang Bu Niki itu, dia itu mungkin pacarnya Tuan Hangga, Mas, atau mungkin sudah nikah, entahlah. Gak paham juga. Tuan saya itu pebisnis, Mas. Dia punya perusahaan.” Perempuan itu menjelaskan tanpa curiga jika ada hal yang ingin Evan ketahui. “Oh, kirain dia majikan, Ibu. Tadinya mau titip minta tanda tangan buat mama saya, Bu. Buat hadiah ulang tahun dia.” Evan beralibi agar perempuan yang tadi diboncengnya tak curiga. “Oalah, kalau gitu nanti saya mintakan, Mas. Dia memang tinggal di rumah Tuan saya, Mas. Namun, sesekali suka pulang ke rumahnya.” Perempuan itu tampak tulus ingin membantu Evan. “Makasih banyak ya, Bu. Lain kali kalau mau order ojol bisa chat dulu ke nomor saya kalau Ibu sudah dapetin tanda tangan sama fotonya. Pasti mama saya seneng banget.” Evan tersenyum, tetapi wajahnya yang tertutup masker hanya mampu menunjukkan kedua netra indahnya yang menyipit. “Oke, Mas. Ibu belanja dulu, ya, Mas.” “Iya, silakan, Bu. Makasih atas waktunya.” “Sama-sama, Mas.” Evan pun meninggalkan perempuan paruh baya yang sudah bergegas masuk ke dalam supermarket. Benar rupanya kecurigaan yang dia simpan selama ini. Perempuan yang sudah menyebabkan ibunya pergi dari rumah ada hubungannya dengan foto-foto yang sampai pada Tuan Gasendra—ayahnya. Foto pesaing bisnisnya yang tampak begitu mesra dan intim berdua dengan ibunya. “Jangan panggil namaku Evander Gasendra kalau tak bisa membuat kamu membuka mata, Pa. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau tak bisa kembali menemukan mama dan membawanya kembali ke rumah kita. Jangan panggil aku Evander Gasendra kalau aku hanya seperti kerbau yang dicucuk hidung dan mengiyakan semua yang ada di depan mata.” Evan bergumam seraya melajukan sepeda motornya. Satu titik sepertinya akan segera terbuka. Meskipun dia belum bisa menebak sekusut apa benang yang saling terhubung di antaranya. *** Menjelang sore, sepeda motornya sudah terparkir kembali di depan perusahaan Gasendra Grup. Dia sengaja bersembunyi di belakang bus jemputan yang memang beberapa sudah terparkir di sepanjang jalan. Evan menunggu orderan dari Kasih masuk. Tak berapa lama, notifikasi masuk. Evan langsung melajukan sepeda motornya dan parkir di depan gerbang. Kasih tampak berlari tergesa. Evan hanya menggeleng kepala. Kenapa juga perempuan itu harus berlari-lari hanya karena melihatnya sudah berada di sana. Evan menyodorkan helmnya, Kasih mengambil tanpa berbicara apa-apa. Lalu keduanya melaju meninggalkan gerbang. “Pak Reyvan, aku tunggu di kafe biasa, ya! Aku duluan.” Vania melambaikan tangan pada Reyvan yang dipanggil ke ruangan Tuan Gasendra. Ada beberapa hal yang ingin dibicarakan katanya. “Oke, pesankan saja dulu, ya. Aku pasti datang.” Reyvan tersenyum pada gadis cantik, pintar dan memang selalu menarik perhatian itu. “Oke, siip,” tukas Vania. Dia berjalan meninggalkan kubikelanya dan melangkah santai menuju mobilnya. Dia menelepon Ayah dan meminta izin pulang telat dengan alasan ada meeting di kantor. Ayah pun pastinya akan percaya begitu saja. Vania adalah anak kebanggaan dan anak kesayangannya. Mobil yang dikendarainya melaju cepat meninggalkan gerbang, beberapa menit setelah sepeda motor yang membawa Kasih berbelok di tikungan. Kasih masih duduk dengan gelisah. Dia ingat sore ini Evan akan mengajaknya untuk mengobrol terkait tawaran yang sebetulnya tak masuk akal. “Mas, ngobrolnya di motor saja, ya? Kalau mampir-mampir nanti aku pulang telat.” Kasih yang memang sebetulnya penasaran pada rencana Evan memberikan penawaran. “Apa?! Lo ngomong apa?” Tiupan angin membuat suara Kasih tak terdengar samar. “Apa, Mas?” Kasih pun sama-sama tak mendengar dengan jelas. “Gak denger, tar aja ngobrolnya.” Evan menarik gas dan melajukan dengan kecepatan maksimal. Sebuah kafe langganannya, tempat nongkrong bersama dua kawannya menjadi pilihan. Enggan pusing dan mencari tempat lain. Evan meminta Kasih untuk turun. “Lo ngomong apa, tadi?” Evan menatap Kasih yang baru saja membuka helm. “Hmmm … enggak apa-apa.” Kasih menggeleng kepala. Evan menyimpan helmnya dan bergegas masuk ke dalam kafe. Kasih mengikutinya dengan perasaan asing. Tak pernah dia masuk ke tempat dengan kesan ekslusif seperti ini. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam ketika keduanya duduk dan memilih menu. Namun, belum sempat mereka memilih, terdengar suara seseorang yang dikenalnya dari arah pintu masuk. “Ck, Ck, Ck! Memang pantes sih kalau OB sama tukang ojek,” ejek Vania yang rupanya menuju kafe yang sama. Wajah Kasih memucat. Dia menatap Vania yang sudah berdiri di dekat mejanya dan memandang mereka dengan tatapan remeh. “Mas, kita pergi saja, ya.” Kasih berdiri, lalu segera hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, Vania menahannya lalu mengambil fotonya yang berdiri di saming Evan yang masih mengenakan pakaian ojol. “Mbak, kamu mau ngapain, sih? Aku juga gak ganggu kamu.” Kasih berusaha merebut gawai Vania. “Aku Cuma ingin lihat ekspresi ayah kalau tahu anak yang tak punya bakat ini, rupanya memang benar-benar tak bisa dibanggakan. Kerja kelas rendahan. Eh, cari cowok seleranya rendahan juga,” kekeh Vania seraya melirik Evan yang masih mengenakan masker dan belum sempat membukanya. “Mas, ayo pergi.” Kasih bergegas meninggalkan kafe tersebut. Percuma beradu debat dengan Vania. Apa pun pastinya dia yang akan dibela ayah nantinya. “Iyalah, kafe ini terlalu mewah buat kalian. Nanti kasihan kalau gak kuat bayar,” celetuk Vania seraya duduk pada tempat bekas Kasih duduk tadi. Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang, tetapi penuh penekanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN