BAB 1
BAB 1
“Ingat, kamu jangan pernah bocorin ke karyawan lain kalau kita ini adik-kakak. Mau ditaruh di mana muka mbak ini? Seorang Vania yang terkenal bintang kantor, rupanya punya adik yang hanya jadi seorang cleaning service. Bisa jatuh harga diri mbak. Kalau bukan karena rengekan Ayah. Ogah banget masukin kamu kerja bareng di kantor, Mbak.” Vania menatap Kasih yang sudah rapi dengan seragamnya. Pakaian berwarna biru tua, dipadupadankan dengan manset dan kerudung warna hitam.
“Iya, Mbak.” Kasih hanya mengucap kalimat pendek itu. Malas berdebat. Hidupnya sudah lelah menjadi bahan perbandingan oleh Ayah dengan kedua kakaknya. Meskipun Alam—kakak pertamanya memang baik pada mereka berdua. Namun, tetap saja, Ayah selalu membanggakan dua kakaknya itu dan memandang rendah dirinya karena tak pernah masuk peringkat ketika sekolah.
Sarapan Vania sudah habis karena dia memang hanya makan sedikit dan sejak pagi hanya mengurus dirinya sendiri. Dia bersiap hendak berangkat dengan mobil yang beberapa bulan ini mulai dicicilnya.
Sementara itu, Kasih baru saja duduk di meja makan dan hendak menyuap sarapan. Setiap pagi, Kasihlah yang sigap membereskan dapur dan memasak makanan untuk sarapan. Menganggur selama dua tahun, membuat pekerjaan itu seolah menjadi tanggung jawabnya saja.
“Mau berangkat, Van?” Terdengar suara ayah yang baru muncul dari tangga lantai dua. Dia menghampiri Kasih dan Vania yang masih berada di sana.
“Iya, Ayah. Pergi dulu, ya.” Vania memeluk Ayah manja lalu mencium pipi kirinya. Setelah itu dia berjalan tergesa.
“Kasih gak diajak sekalian, Van? Kan tempat kerja kalian bareng.” Ayah menatap Vania dan Kasih bergantian. Vania menghentikan langkah lalu menoleh dengan wajah ditekuknya.
“Ayah! Please, deh. Kasih itu hanya cleaning service, loh. Sedangkan, aku ini supervisor di kantor dan kesayangan bos. Aku malu kalau ajak dia berangkat bareng. Suruh saja dia naik ojek, beres ‘kan?” Vania melirik sinis ke arah Kasih.
“Ah, ya sudah. Nanti biar Kasih naik ojol saja. Masih pagi juga. Gak apa-apa, ‘kan, Kasih?” Ayah melirik putri bungsunya.
“Iya, Ayah.” Kasih hanya berucap pelan. Selama ini dirinya memang paling tak berani membantah kalimat dari Ayah dan kakak-kakaknya. Meskipun hatinya kadang sakit ketika diperlakukan demikian oleh Vania. Namun, dia bisa apa? Bahkan sampai saat ini dia belum bisa menjadi kebangaan ayah dan ibunya.
Vania dan Alam, dua kakaknya itu tergolong memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata dan memiliki sikap dominan seperti sang Ayah. Mereka pun berhasil menyelesaikan kuliah S1 dengan bantuan beasiswa. Ayah selalu membangga-banggakan mereka, tetapi tidak dengannya. Dia hampir tak pernah masuk sepuluh besar di sekolah, bahkan beberapa nilai raport sempat anjlok parah apalagi nilai matematika.
Prestasi Kasih di sekolah teramat sangat berbeda dengan dua kakaknya karena it setelah lulus SMA pun, Kasih tak melanjutkan kuliah. Dirinya tak sepandai Alam dan Vania yang bisa mendapatkan beasiswa. Hanya dua mata pelajaran yang nilainya selalu baik, yaitu Penjaskes dan Kesenian. Kasih memiliki tubuh yang sehat dan jarang sakit, suara yang sangat merdu ketika menyanyi. Namun, itu tak dianggap kelebihan oleh kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu yang berprestasi itu hanyalah yang memiliki nilai tinggi.
Kasih menghabiskan nasi goreng yang ada di piringnya dengan cepat. Tak ada obrolan ketika ayah pun duduk dan menyuap sarapannya di sana, sementara itu ibu memang masih belanja sayur ke perempatan. Ada Mang Ijam yang biasanya mangkal di sana.
Usai menghabiskan sarapan, Kasih mencuci piring bekasnya makan lalu menyimpannya ke atas rak piring. Dia pun menghampiri ayah dan mencium tangannya.
“Kasih berangkat, Yah. Asalamualaikum.” Kasih berucap sopan dan lembut.
“Hati-hati di jalan, ya. Wa’alaikumsalam.” Ayah berucap datar tanpa menatap sayang. Berbeda sekali ketika menatap Vania tadi. Itulah yang Kasih rasakan.
Kasih segera menghampiri ojek online yang tadi sudah dipesan dan kini sudah berada di depan rumahnya. Dia menatap sekilas wajah tertutup masker itu lalu menatap sepeda motor yang dipakai ojol itu agak terlihat berbeda. Sebuah sepeda motor matic Yamaha Xmax 250cc berwarna hitam merah tampak begitu kontras dengan jaket berwarna hijau dan helm berwarna hijau khas tukang ojek online. Jarang-jarang Kasih menemukan tukang ojol dengan sepeda motor harganya di atas enam puluh jutaan seperti itu. Namun, dia tak banyak tanya. Apalagi ojol itu pun tampak tak ramah. Alis tebalnya tampak membingkai bola mata tajamnya cukup membuat Kasih segan.
“Ke kantor G&A Indonesia, Mas,” tukas Kasih. Lelaki di balik helm itu hanya mengangguk. Dia tak mengeluarkan suara apa pun. Disodorkannya helm warna hijau itu pada Kasih. Keduanya langsung meluncur meninggalkan kediaman Kasih di salah satu perumahan biasa.
Jalanan cukup ramai sehingga sepeda motor yang ditumpanginya itu tak terlalu bisa melaju cepat. Kasih sudah deg-degan karena waktu hanya tinggal menyisakkan lima belas menit lagi.
“Mas, bisa ngebut gak? Aku hari pertama kerja, kalau telat takut dipecat.” Kasih menepuk punggung lelaki yang tengah mengemudi itu dan berbicara setengah berteriak.
“Pegangan,” tukasnya kencang.
“Apa?” Kasih tak mendengar.
“Pegangan! Gue mau ngebut,” tukasnya.
“Hah?! Gak jelas, Mas.” Kasih memiringkan kepalanya.
“Pegangan, gue mau ngebut!” pekik lelaki itu dengan geram.
“Oh, iya.” Kasih mengeratkan pegangan pada jaket ojol yang dipakai lelaki itu, bagaimanapun dia cukup risih kalau harus sampai memeluknya.
Pengemudi ojol itu menarik gas, sepeda motor yang mereka tumpangi melaju zig-zag, menyalip mobil-mobil yang padat merayap hingga akhirnya, lima menit tersisa ketika mereka menyalip mobil SUV mewah yang hendak memasuki gerbang perusahaan. Mobil itu bahkan berhenti mendadak karena ojol yang ditumpangi Kasih menghentikan sepeda motornya sembarang.
“Makasih, Mas.”
Kasih turun dari sepeda motor itu dengan kaki gemetar. Jujur kakinya sangat lemas ketika diajak ngebut di jalanan. Kasih tak lagi memedulikan sekitar, dia berlari melewati gerbang security dan menuju tempat absensi karyawan.
Sementara itu, seorang lelaki yang duduk di deretan jok belakang menggeleng ketika hampir saja menabrak sepeda motor pengemudi ojol itu. Tuan Gasendra sang pemilik perusahaan menurunkan kaca belakang dan menatap pengemudi ojol yang hendak memutarbalikan sepeda motornya. Security yang melihat gelagat itu langsung menegur pengemudi ojol yang wajahnya bersembunyi di balik helm hijau dan maskernya.
“Mas, maaf … lain kali kalau bawa motor jangan ngebut-ngebut kayak gini, ya. Mas tahu mobil yang Mas lancangi itu mobil siapa? Itu mobil pemilik perusahaan ini, loh,” tukas security dengan nada kesal.
“Saya tahu, bahkan sangat tahu. Anda tak akan lebih banyak tahu tentang siapa dia daripada saya, Pak,” tukasnya tersenyum miring. Beberapa detik, kedua mata tajamnya menatap lelaki dengan tatapan sendu di balik jendela kaca yang terbuka. Lalu, dia melajukan sepeda motornya dengan kecepatan maksimal, meluahkan semua kesal yang terpendam.