BAB 6

1125 Kata
BAB 6 “Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya. “Lu jadian sama gue,” tukas Evan. “Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang di luar nalarnya. “Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue.” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya. “Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit. “Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apa pun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas. “Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? Lagian gak usah ngomong-ngomong miskin kaya. Kamu pikir aku orang kaya? Kan aku dah bilang kalau aku ini selain miskin juga tersisih di keluarga.” Kasih mendelik kesal. Dia segera memakai helm dan naik ke atas boncengan sepeda motor Evan. Hening. Perjalanan kali ini tak terlalu banyak percakapan. Hingga akhirnya mereka tiba di gerbang perusahaan dan seperti biasa, Kasih menyerahkan helm ojol berwarna hijau itu pada Evan. “Kasih, gue serius sama yang tadi. Kita bisa saling menguntungkan karena memang gue juga lagi butuh sosok seperti lu untuk mematahkan kearogansian seseorang. Andai lu mau, bilang ke gue. Kita bisa saling bantu.” Evan berucap panjang lebar. “Yang tadi yang mana, sih?” Kasih menautkan alis. Dia ingatnya sepanjang perjalanan hanya saling terdiam. “Ck! Sore nanti gue jemput, terus gue mau ajak ngobrol lu serius. Sekalian lu mau tau wajah gue, ‘kan? Biar gak kayak beli kucing dalam karung. Dandan yang cantik, karena tar sore lu mau jalan sama orang ganteng.” Evan menaikkan lagi satu alisnya lagi ke atas. “Iya, deh! Gimana tar sore aja. Lagian aku sih dandan gak dandan juga tetep aja kayak gini, Mas. Kamu kalau mau nyari yang cantik tuh ajak Mbak Vania jalan. Dia kan selalu cantik dan mempesona gak kayak aku yang bulukan.” Kasih berucap santai lalu berjalan meninggalkan Evan yang menatap punggungnya. Namun, sorot matanya beralih pada tirai putih yang tampak bergerak di balik lobi kantor perusahaan. Evan tersenyum miring karena dia mengenali sosok yang barusan menyingkap tirai itu. Evan tak berlama-lama dan langsung melajukan kembali sepeda motornya meninggalkan tempat itu. Dia bergegas sambil terus mencari jejak seseorang yang dia rindu. Tentunya sambil menunggu project yang dia bangun bersama beberapa sahabatnya mulai berjalan. Evan duduk di atas sepeda motornya di depan sebuah minimarket. Lalu mengambil gawai dan memeriksa grup WA yang hanya memiliki tiga anggota itu. Dirinya, Agra, dan Dion. Saat ini Agra masih membuat desain tempat untuk mereka membuka usaha. [Woi, Bro! Lihat ini final desain dari gue. Konfirmasi segera oke atau enggak. Gue mau cari kontraktor buat jalan.] tulis Agra. [Nanti gue check. Lagian bangunan doang sih bisa santuy. Yang terpenting sudah berapa calon customer yang sudah digebet?] Evan membalas pada WAG yang terdiri dari tiga orang itu. [Calon customer naik lagi nih 25%. Lu budgetnya siapin saja buat genjot iklan sama buat biaya operasional jangan sampai malu-maluin gue yang sudah keliling cari customer.] balas Dion yang bertugas sebagai marketing. [Ck! Besok kita meeting. Gue lagi masih keliling nyari petunjuk.] Evan menutup percakapan. Dia kembali memandang jalanan. Berharap dia bisa segera menemukan sosok yang sudah menghilang akibat kesalahan yang ayahnya lakukan. “Mam, kamu pergi ke mana, sih?” Evan menggumam seraya menghela napas kasar. Sekelebat bayangan membuatnya kembali teringat awal mula semua kegundahan ini bermulai. *** “Mami, dia itu istri dari almarhum Hermawan, Mi! Papi cuma kasihan sama dia. Dia gak punya siapa-siapa lagi selain kita. Kalau Mami sering cemburu buta kayak gini, papi jadi curiga. Jangan-jangan yang dibilang Niki selama ini benar.” Tuan Gasendra menatap dengan penuh kekesalan dan curiga ketika lagi-lagi Humairah Syahnaz sang istri melarangnya untuk membelikan kebutuhan yang diminta adik iparnya—Niki. “Oh, jadi Papi sekarang lebih belain perempuan itu, Pi! Papi lebih percaya dia. Papi lebih percaya foto-foto penuh rekayasa itu. Di mana otak Papi, sih? Atau jangan-jangan benar apa yang mami pikirkan jika Papi sebenernya mengharapkan Niki itu jadi istri Papi, hah? Apa yang sudah dia berikan sama Papi sampai-sampai Papi lebih mementingkan dia daripada mami dan Evan?” Suara Syahnaz meninggi. Evan yang baru pulang kuliah saat itu memijit pelipisnya. Lagi-lagi orang tuanya memperdebatkan hal itu berulang. “Ck! Sepertinya kamu ini semakin berani saja nuduh kayak gitu sama papi! Papi itu sayang Niki dan Reyvan karena mereka masih keluarga papi. Kamu jangan egois, Mi. Coba andai kamu yang di posisi Niki. Membesarkan anak seorang diri tanpa suami. Apa yang Mami rasakan?! Mami harusnya lebih bisa mengerti daripada papi karena Mami seorang perempuan.” Tuan Gasendra masih bertahan dengan apa yang dia yakini benar. “Kenapa Papi lebih memikirkan perasaan wanita itu daripada mami? Kenapa pertanyaannya tidak dibalik. Bagaimana jika dia yang di posisi mami? Bagaimana jika suami yang dicintainya lebih mementingkan mantan adik ipar daripada istrinya? Bagaimana perasaan jika suami yang dicintainya sering sekali duduk berdua dengan mantan adik iparnya yang selalu menjual kesedihan untuk mendapatkan simpati? Bagaimana jika dia di posisi mami? Kenapa Papi lebih memikirkan dia dan membela dia daripada mami, istri Papi sendiri? Atau Papi perlu mami untuk pergi biar Papi mengerti kalau mami sudah gak tahan dengan semua ini?” Syahnaz kembali meradang. “Pergilah kalau berani. Satu langkah kamu melangkah ke luar rumah ini tanpa izin papi. Jangan berharap papi akan menerima kamu kembali ketika penyesalan itu datang! Pergilah biar Mami puas dan merasa menang. Namun, jangan harap mengubah keputusan Papi untuk tetap menampung mereka di rumah ini. Mereka akan tetap di sini.” Suara Tuan Gasendra terdengar datar dan penuh penekanan. Jiwanya yang sedang penuh emosi tak bisa berpikir dengan tenang. *** Getar gawai membuyarkan kembali lamunan Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh aplikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun, dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam aplikasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN