Dirga terkenal dengan sikap yang lumayan tega jika sudah bermain-main curang dengannya, ketegasannya sangat di akui di kalangan petinggi perusahaan, tak jarang banyak yang ingin bekerja sama dengannya namun sangat susah untuk di terima oleh Dirga. Kini ia memasuki perusahaannya dengan raut wajah yang menahan amarahnya, ia menelepon beberapa kali seseorang dengan nada tinggi. Para karyawan yang melihat hanya terdiam saja sambil menunduk hormat.
"Pagi Pak, ruang meeting sudah siap." Dirga menoleh lalu mengangguk, ia kini berjalan dengan seidkit cepat untuk memasuki ruang meeting tersebut.
Laki-laki tersebut duduk di kursi sambil menunggu para petinggi dan yang lainnya datang menghampiri meeting yang sengaja ia adakan mendadak. "Heni, tolong bilang kepada OB agar siapkan minum," ucap Dirga.
"Baik Pak." Heni lalu menunduk hormat lalu melangkah pergi dari hadapan atasannya tersebut.
Dirga menscroll handphone-nya terus menerus, ia membuka email yang di kirim oleh suruhannya, raut wajahnya benar-benar menahan amarah. Tak selang berapa lama, semua para petinggi dan yang lainnya datang jelas ada perasaan tidak enak di hati mereka terlebih Dirga datang lebih awal.
"To the point saja, apa maksudnya dengan data ini?!" ucap Dirga dengan lantang sambil membanting data yang ia pegang ke meja, semua jelas terkejut dan saling menatap satu sama lain.
Dirga menatap nyalang ke mereka semua. "Bagaimana kalian bisa kecolongan kalau ada pengkhianat di antara kita! Kerja apa kalian selama ini? Apa kalian semua bekerja sama untuk menghancurkan!" Amarah Dirga benar-benar di ujung tanduk, semua hanya menunduk tak berani untuk melihat walau hanya sekilas.
"Maaf Pak sebelumnya, kita mungkin salah tidak mengecek kembali data, untuk pengkhianat kita sama sekali tidak tahu menahu, kalaun pun ada salah satu di antara kita, pasti saya yakin orang itu yang sangat kita percaya," jelas salah satu karyawan. Dirga terdiam sejenak memperhatikan karyawannya tersebut.
Laki-laki tersebut menyeringai menatap seolah meremehkan karyawan yang tadi bicara. "Bagaimana kalau ternyata orang tersebut yang enggak pernah kita percaya?" tanya Dirga, karyawan tersebut terdiam atas perkataan atasannya tersebut.
"Maksud Pak Dirga?" tanyanya kembali.
Dirga lalu menyetel video yang telah ia sambungkan untuk di lihat oleh semuanya. Semua memperhatikan dengan seksama, semua terkejut ketika tahu siapa yang di dalam video tersebut. "Bagaimana?" tanya Dirga sambil menyeringai.
"Bagaimana bisa dia berbicara dengan santai dengan saingan perusahaan kita." Semua saling bertanya-tanya sambil mereka menatap ke orang yang ada di video tersebut.
"Tap–"
Laki-laki tersebut berdiri dan menggebrak meja hingga membuat semua terlonjak kaget. "Tap, tap, tap apa?! Kamu sengaja menyudutkan orang yang saya percaya karena kamu berfikir orang yang saya percayalah yang gampang untuk mengkhianati saya?"
Karyawan tersebut tertunduk ketakutan, ia menggenggam jarinya dengan erat ketika mendengar perkataan sang atasan. "Maafin saya Pak, saya khilaf, saya janji enggak akan ngelakuin itu lagi," ungkap karyawan tersebut.
"Menjual ide perusahaan kamu bilang khilaf? Lalu bagaimana kalau saya hancurkan hidup kamu? Apa kamu akan maafkan jika saya bilang itu khilaf?" tanya Dirga tegas, semua yang mendengar hanya terdiam saja memperhatikan laki-laki tersebut.
Karyawan tersebut jelas langsung memohon bersujud di hadapan Dirga. Laki-laki tersebut menelepon seseorang.
"Halo. Cabut semua fasilitas yang perusahaan kasih atas nama Gunawan Mahendra."
"Baik Tuan." Karyawan tersebut mendongak ke atas dengan penuh rasa sesal, Dirga menatapnya dengan tajam seolah ingin memangsa.
"Pak Dirga saya mohon ampun, saya tidak akan mengulanginya lagi, saya akan perbaiki semuanya," mohon karyawan tersebut.
Dirga beranjak berdiri. "Meeting selesai." Ia lalu beranjak pergi dari ruangan meetingnya dan melangkah masuk ke dalam ruangannya, semua karyawan jelas bergosip soal kejadian di ruang meeting tersebut.
Banyak yang bilang pantas ada yang bilang tidak, namun bermain curang dengan perusahaan ternama terlebih kepada sang pemiliknya adalah salah satu agar cepat mengakhiri hidup. Dirga menyenderkan tubuhnya di kursi kerjanya lalu menghela nafasnya dengan kasar.
"Sebenarnya gue enggak mau ngelakuin kebiasaan buruk ini lagi, tapi gue enggak bisa nahan emosi setiap kali ada yang bermain curang!" cetus Dirga.
Laki-laki tersebut mengambil handphonenya dan menelepon seseorang.
"Halo."
"Iya Tuan."
"Tolong selidiki dalang di balik Gunawan tersebut."
"Baik Tuan."
"Saya tunggu kabar baiknya." Dirga lalu mematikan telepon tersebut secara sepihak, ia meletakkan handphonenya di atas meja.
Ia memejamkan matanya seolah menghilangkan penat, belum juga siang hari namun emosinya sudah naik. "Masuk," ucap Dirga ketika ia mendengar ketukan pintu ruangannya.
"Lu kenapa si marah-marah tadi? Semua karyawan pada ngomongin lu tuh." Dirga menyeringai ketika tahu suara siapa tersebut, itu suara Aji sahabatnya.
Laki-laki tersebut membuka matanya perlahan lalu melihat ke arah sahabatnya yang kini sudah duduk di hadapannya. "Ada apa lu ke sini?" tanya Dirga.
"Ya terserah gue mau ngapain kek," jawab Aji sambil tertawa yang membuat Dirga hanya tersenyum tipis.
Dirga menyela, "Kalau enggak ada keperluan mending pergi aja."
"Dih gitu aja baperan lu!" seru Aji, Dirga kembali menyenderkan tubuhnya di kursi kerjanya.
Aji berdiri dan berjalan ke arah kulkas yang berada di ruang kerja sahabatnya tersebut, ia mengambil minuman kaleng tanpa ijin dan tanpa di suruh, Dirga yang melihat hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Terus kenapa karyawan lu pada ngomongin lu yang marah-marah katanya di ruang meeting."
"Ada apa emang si?" Lanjutnya bertanya, ia kini sudah duduk kembali di hadapan sahabatnya.
Dirga menjawab, "Biasa." Aji jelas menatap jengah lalu memutar bola matanya dengan malas.
"Biasanya lu tuh apaan bambank?!" Laki-laki tersebut yang mendengar jelas tertawa pelan mendengarnya, tanpa pikir panjang ia langsung mengambil handphonenya dan mengklik video untuk di perlihatkan oleh sahabatnya.
Aji jelas terkejut. "Serius? Kalau jadi gue si bukan ngamuk aja tapi gue bakar," cetus Aji yang sedikit emosi.
"Gue ogah masuk penjara!"
"Terus lu yakin dia kerja sendiri?" tanya Aji, Dirga kembali mengambil handphonenya.
Laki-laki tersebut tersenyum simpul dan berkata, "Gue enggak yakin kalau dia kerja sendiri. Gue masih nyari dalang di balik dia." Aji hanya mengangguk-angguk seolah paham apa yang akan di lakukan sahabatnya.
Dering telepon membuat Dirga menoleh ke arah handphonenya, sedangkan Aji hanya melirik seraya penasaran. Laki-laki tersbeut tanpa pikir panjang mengangkat teleponnya.
"Halo. Ada apa?"
"Dimana Om?" Dirga tersenyum tipis ketika wanita tersbeut mempertanyakan keberadaannya.
"Ada apa emng? Kangen sama saya?"
"Dih kangen, pede banget. Jemput! Lu kan janji mau belanja lagi." Dirga lalu melihat ke arah jam di tangannya.
"Loh bukannya kamu masih ada mata kuliah."
Erica mendengus kesal. "Dosennya enggak datang, cepetan!"
"Ya sudah saya kesana sekarang." Erica lalu mematikan teleponnya secara sepihak yang membuat Dirga menatap handphonenya lalu tersenyum singkat, Aji yang melihat hanya mengernyitkan dahinya.
Aji mecetus, "Siapa? Calon bini ya?"
Dirga lalu beranjak berdiri yang membuat Aji hanya menatao melongo. "Eh lu mau kemana?" tanya Aji.
"Jemput." Aji kini senyam-senyum sambil menaikkan kedua alisnya, sedangkan Dirga kini sudah keluar dari ruangannya meninggalkan Aji yang kini menatap melongo. Tanpa pikir panjang ia langsung menyusul sahabatnya tersebut.
Dirga berjalan ke meja sekretarisnya. "Heni, saya ada urusan keluar, tolong handel ya."
Heni berdiri dan menunduk hormat. "Baik Pak." Dirga kembali melanjutkan langkah kakinya, sedangkan Aji yang baru saja keluar dari ruangan Dirga kini mengediplan matanya ke arah Heni sekretaris sahabatnya.
"Ga, tungguin anju!" seru Aji lalu sedikit berlari menghampiri sahabatnya yang sudah mau menaiki lift, untung saja Aji lari cukup kencang jadi bisa menaiki lift bersama sahabatnya.
Dirga melirik sekilas melihat sahabatnya ngos-ngosan karena lari mengejarnya. "Gue ikut." Laki-laki tersebut hanya menatap jengah ke arah Aji, mau di larang juga ya percuma ia akan tetao mengikuti.
Kini mereka berdua sudah ada di parkiran, Dirga memasuki mobilnya begitu juga dengan Aji yang memasuki mobilnya. Mereka berdua melajukan mobilnya tentunya dengan Aji yang mengikuti mobil sahabatnya dari belakang.
"Mau tahu gue siapa yang akhirnya bisa terima sahabat gue ini," gumam Aji sambil menyeringai.
Tak selang berapa lama Dirga sudah sampai di kampu Erica, ia memarkirkan mobilnya dan begitu juga dengan Aji. Mereka berdua keluar dari mobilnya masing-masing, jelas semua terpana melihatnya kedua laki-laki tersebut menjadi pusat perhatian terlebih mereka berdua memakai jas formal. "Mana calon lu?" tanya Aji yang kini bersandar di mobil Dirga.
Dirga menelepon yang membuat Aji hanya memutar bola matanya dengan jengah, kini ia fokus tebar senyuman kepada mahasiswa yang menatapnya.
"Saya sudah di parkiran, kamu di mana?"
"Tunggu, masih di kantin sama Anti. Ot–" Belum sempat melanjutkan Dirga langsung mematikan telepon secara sepihak yang membuat Erica hanya menatap melongo ke layar handphonenya.
"Siyalan nih orang, main matiin aja telepon gue!" seru Erica dengan nada kesal, Rianti yang melihat hanya menatap sambil menaikkan kedua alisnya.
Rianti bertanya, "Siapa si?"
"Dirga!" jawab Erica dengan nada ketus, Rianti yang mendengar hanya ber Oh ria saja.
Erica lalu beranjak dari kantim tentu di ikuti oleh sahabatnya, yaps wanita tersebut kini tidak memakai mobilnya lagi bukan karena di bengkel namun karena Dirga yang bilang akan belanja dan orang tuanya juga mendukung.
"Eh calon lu sama siapa tuh?" tanya Rianti ketika memicingkan matanya melihat ke arah parkiran. Erica jelas ikut melihat dengan seksama lalu menghendikkan bahunya.
Erica berkata, "Ajudannya kali."
Dirga tersenyum tipis melihat wanita tersebut kini sudah berjalan semakin dekat ke arah dirinya. Erica yang baru saja ada di hadapan Dirga malah menoleh ke laki-laki sebelah Dirga. "Siapa?" tanya Erica sambil melirik.
"Kenalin nama gue Aji, sahabat Dirga." Aji lalu mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Erica." Mata Aji kini beralih ke Rianti yang masih cuek bahkan tidak menggubris uluran tangannya.
Erica yang memperhatikan tatapan Aji lalu berkata, "Ini Rianti panggil aja Anti." Wanita tersebut lalu menyenggol Rianti yang hanya mengernyitkan dahi, Erica jelas mengkode melalui matanya saja untuk berjabat tangan dengan Aji.
"Rianti."
"Aji." Rianti jelas langsung cepat-cepat menyudahkan jabatan tangan tersebut.
Dirga hanya menatap sekilas ke arah sahabatnya yang tiada henti menatap Rianti tersebut. "Mau belanja apa lagi emang?" tanya Erica to the point.
"Terserah kamu saja."
"Gue boleh ikut kan?" tanya Aji.
Baru saja Dirga ingin menjawab, Erica sudah berkata, "Boleh dong, sama Anti juga." Rianti jelas menoleh ke arah Erica dengan tatapan tajam yang di balas dengan senyuman penuh arti.
"Sekalian kita nonton, ada film horor terbaru," ujar Aji.
Erica menjawab, "Boleh."
"Ya sudah ayuk." Erica kini ingin menaiki mobil Dirga, namun sebelumnya ia mengerutkan kening ketika sahabatnya juga ingin menaiki mobil Dirga.
Erica mencetus, "Eh lu ngapain naik mobil sini." Rianti jelas mengernyitkan dahinya.
"Lah terus?"
"Tuh lu naik sama si Aji," ujar Erica sambil menunjuk Aji, Rianti hanya menunjuk dirinya yang membuat Erica hanya mengangguk seraya mengiyakan.
Rianti kini berjalan dengan pasrah ke mobil Aji, sedangkan Aji kini tersenyum tipis. Sepertinya ia akan mendukung perjodohan sahabatnya tersebut dengan Erica.
Sedangkan kini Erica sudah berada di dalam mobil Dirga. "Kenapa kamu nyuruh sahabat kamu sama Aji?" tanya Dirga.
Erica langsung menatap penuh curiga. "Terus lu mau Anti di sini dan gue sama Aji? Yaudah kalau gitu," cetus Erica sambil membuka pintu mobilnya namun sangat di sayangkan mobil sudah terkunci oleh Dirga.
"Buka!" Dirga hanya menggelengkan kepalanya.
"Biar gue tukeran sama Anti."
Dirga mendekat ke arah Erica yang membuat wanita tersebut terdiam sejenak bahkan ia memejamkan matanya. "Pakai seatbelt dulu," ucap Dirga sambil memasangkan seatbelt.
Jantung Erica jelas berpacu sangat kencang, mukanya juga mungkin terlihat merah, laki-laki tersebut jels menyadarinya namun tak mau ia ungkapkan takut wanita tersebut akan malu dan ngambek berhari-hari. "Kamu cemburu sama sahabat kamu sendiri?" tanya Dirga.
"Siapa yang cemburu? Enggak?! Pede banget si lu," ucap Erica dengan nada kesal. Dirga hanya tertawa pelan lalu melajukan mobilnya menjauh dari parkiran kampus wanita tersebut.
Selama perjalanan Erica hanya fokus memainkan handphonenya sambil tertawa sendiri yang membuat Dirga bertanya, "Chatan sama siapa kamu?"
Wanita tersebut menoleh ke arah Dirga. "Dih kepo banget si Om."
"Kepo sama calon istri sendiri kenapa emang?" tanya Dirga sambil tersenyum tipis.
Erica menoleh sambil memperhatikan dengan seksama Dirga yang menurutnya lumayan terlihat tampan. "Lu dari mana Om, kok rapih banget pakai jas, tumben," cetus Erica.
Dirga kini memperhatikan dirinya lalu tersenyum simpul. "Ada kerjaan mendadak tadi." Erica yang mendengar hanya ber Oh ria saja kini.
Sedangkan di sisi lain Rianti dengan raut wajah juteknya memainkan handphone. "Emang ada apa si di handphone, sampai sibuk gitu," cetus Aji.
Rianti memutar bola matanya dengan jengah. "Lebih asik si di banding lu!" seru Rianti yang membuat Aji menatap sekilas ke arah wanita di sampingnya.
"Oh iya menurut lu gimana Dirga dan Erica?" tanya Aji tiba-tiba.
Wanita tersebut terdiam sejenak lalu menoleh ke arah laki-laki yang menyetir dengan fokus. "Cocok-cocok aja si, ya mudah-mudahan temen lu bisa ngerubah sahabat gue," ujar Rianti.
"Ngerubah?" Aji jelas mengerutkan keningnya seolah penuh pertanyaan.
Wanita tersebut hanya mengangguk saja. "Erica itu wanita populer dan sangat amad di cintai oleh para kaum laki-laki," jelas Rianti. Aji hanya mengangguk-ngangguk saja mendengarkannya.
"Maksud lu dia pemain hati cowok?" tanya Aji to the point.
"Bisa di bilang gitu, tapi dia punya alasan untuk begitu." Rianti jelas hanya tersenyum tipis seolah mengingat gimana kejadian Erica menjelaskan dirinya soal kenapa ia menjadi 'playgirl'.