Lebih Bahaya Dari Zombie

2271 Kata
Jennie dan Justin mulai memasuki kantor polisi dengan berlari kecil sembari sesekali menolehkan kepala ke belakang. Kantor polisi tanpa pintu yang diterobos oleh banyak zombie sampai beberapa kaca jendela pecah tanpa sisa. Kedua murid sekolah dasar itu menahan napas saat salah satu zombie melihat ke arah mereka berdua. Justin langsung meraih knock pintu dan berusaha mendobrak pintu. Zombie makin dekat membuat Jennie dan Justin merapat pada pintu, pasrah saja. Karena pintu kayu itu tidak bisa mereka buka. Saat keduanya sudah pasrah, sebuah anak panah melesat maju dan menerobos leher zombie sampai anak panah itu menembus tempat masuknya kunci dan pintu langsung terbuka lebar. Jennie sekilas menoleh pada Karina yang menganggukan kepala menyuruhnya masuk ke dalam ruangan. Tentu saja bersama dengan Justin. "Senjatanya dimana?" Tanya Justin kembali menutup pintu saat sudah menarik adiknya masuk. Anak cowok itu mendekati salah satu pagar yang digembok di dekat dinding, sedangkan Jennie menjaga pintu tetap dalam posisi tertutup. "Ini digembok," ujar Justin panik, mengedarkan pandangan berusaha mencari benda yang bisa ia jadikan senjata untuk membuka gembok di depannya. "Coba bantu cari besi atau sesuatu yang bisa kita pakai buat buka gemboknya," kata Justin lagi menoleh sesaat pada Jennie yang langsung menurut. Gadis kecil itu tersentak kecil saat melihat tongkat polisi yang berada di antara tumpukan jasad zombie di depan meja komputer.  Jennie berulangkali meneguk ludah kasar, perlahan melepas pintu. Lalu melangkah keluar dengan langkah hati-hati, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara yang memancing zombie-zombie yang sedang berhadapan dengan Karina dan Ellard. Sebenarnya bisa saja Karina dan Ellard masuk bersama Jennie dan Justin ke dalam satu ruangan senjata tadi. Namun, terlalu beresiko. Kalau mereka berempat nekat masuk ke dalam sana, zombie yang jumlahnya puluhan orang itu bisa saja merusak pintu dan membuat mereka mati mengenaskan. Tidak ada jalan keluar–– mungkin Karina dan Ellard bisa bertahan karena mereka punya senjata. Berbeda dengan Justin dan Jennie yang hanya mengandalkan doa dan harapan mereka. Jennie melangkahi jasad dua zombie yang sudah kaku di bawah kakinya. Mendekati samping meja komputer dimana ada tumpukan lima zombie di sana yang mati terkena tebasan pedang Ellard.  Dengan tangan gemetaran, Jennie mendorong pelan para zombie yang berlumuran darah itu. Berusaha mengambil tongkat besi yang terlihat di celah-celah jasad. "Ya tuhan, bantu aku." Gumam Jennie memejamkan mata erat, menjulurkan tangan berusaha meraih tongkat di celah leher dua zombie. "Astaga!" Latah anak kecil itu kaget saat salah satu zombie menggeliat kecil lalu kembali tidak sadarkan diri.  Setelah berusaha melawan rasa takutnya, akhirnya Jennie bisa mendapat tongkat besi. Langsung berlari masuk dan memberikannya pada Justin yang menunggunya di dalam ruangan. Sembari menunggu Jennie, anak berumur 11 tahun itu sedari tadi berkutat dengan gembok. Menendang rantai besi dengan kaki kecilnya yang kurus. Sayangnya tidak ada yang berhasil sesuai ekspektasinya. "Bagaimana, ketemu senjatanya?" Keduanya menoleh saat Karina kini berdiri di ambang pintu dengan ekspresi panik dan juga kelelahan menjadi satu. "Tidak bisa terbuka," ujar Justin merasa bersalah. Karina mendengkus kasar, langsung melangkah maju dan mengambil salah satu anak panahnya dan menancapkannya pada lubang kunci. Gembok terbuka begitu saja. "Kenapa tidak dari tadi saja, biar tidak buang-buang tenaga?" Decak Justin menggerutu tidak terima, ia sampai keringatan karena berurusan dengan gembok besi itu. "Terus yang berhadapan dengan monster di luar sana siapa? Kau?" Sahut Karina kesal membuat Justin mengatupkan bibir rapat. Pagar besi di depan mereka pun terbuka. Karina langsung mengambil beberapa dan memberikannya pada Justin dan juga Jennie membuat dua anak kecil itu melongo. "Ada apa?"  Jennie menggelengkan kepala pelan, "kami tidak tahu cara memakainya. Dan senjata apinya panjangnya hampir sama dengan tubuh saya dan Justin," lanjut gadis berpipi bulat itu membuat Karina mendecak kasar. "Yasudah, kalian diam saja." Balas perempuan yang menguncir tinggi rambutnya itu pasrah saja. "Terus cara menggunakan senjatanya bagaimana?" Tanya Karina lagi sembari menoleh ke depan halaman kantor polisi, melihat Ellard yang masih bertahan untuk melawan monster yang tidak ada habisnya itu. "Saya tidak tahu, Justin juga." Karina melengos kasar, ingin rasanya memberi pelajaran pada dua anak kecil di depannya. "Terus kenapa kalian tadi menyinggung soal senjata, kalau cara pakainya tidak tahu?" Justin dan Jennie saling pandang sesaat, tidak bisa menjawab karena memang apa yang perempuan bermata ungu muda itu katakan benar adanya. "Apa kau tahu cara menggunakan senjata?" Teriak Karina pada Ellard di depan sana. "Tidak." Sahut Ellard sembari menggelengkan kepala tidak tahu.  "Kembali ke atas, kita tidak akan bisa terus-terusan melawan mereka semua." Titah Karina kini memanggil Jennie dan Justin yang langsung berlari ke arahnya.  Putri mahkota kerjaan Valeria itu pun langsung melesat naik bersama Jennie terlebih dahulu. Kemudian kembali turun untuk membantu Justin yang nampak ketakutan. "Kau juga naik," ujar Karina pada Ellard yang langsung berbalik dan melompat naik ke atas atap, duduk bersama Karina dan dua anak manusia itu. "Coba saja ada yang bisa memakai senjata di bawah sana, pasti akan lebih muda dan menghemat tenaga. Rasanya energiku sudah terkuras habis," tutur Karina merasa kelelahan, perempuan itu pun merebahkan tubuh di atas atap dengan menghela napas ngos-ngosan. "Kau jadi menyesal kan, mengikuti aku sampai di sini, Ellard?" Tanya Karina menoleh ke samping pemuda yang juga menatapnya teduh. "Tentu saja tidak."  Karina tersenyum masam, "kau bisa bicara begitu karena sekarang masih hidup. Coba nanti kalau sudah sekarat dan gugur, kau pasti akan menyesali ucapanmu itu." Ellard kembali menggelengkan kepalanya pelan. "Saya tidak pernah menyesali apa yang saya lakukan, apalagi untuk anda." Balas pemuda itu mengerjapkan mata samar membuat Karina terdiam beberapa saat lalu mengangguk saja, mencoba menguasai air mukanya.  "Kak, lihat!" Teriak Jennie panik membuat Karina, Ellard dan Justin menatap arah tunjuk gadis itu. Mereka semua kompak meneguk ludah kasar, saat zombie-zombie di depannya mencoba menumpuk diri dan kini meraih ujung atap untuk menghampiri mereka yang berusaha bertahan. "Tidak ada jalan keluar lagi," gumam Karina sembari berdiri, meregangkan otot-ototnya bersiap. "Ellard," "Iya, tuan putri." "Maaf, sudah memaksamu datang." "Maaf juga, karena saya hanya bisa mengatakan satu hal sekarang .... bertahanlah!" *** Theodoric menjatuhkan diri dan kini bersandar pada dinding tembok. Pemuda itu keringatan sampai napasnya terasa sesak.  Edgar dan yang lain sudah maju menghadapi para monster yang menyerang mereka. Diketuai oleh Rendy–– komandan anggota militer. Theodoric tidak bisa ikut andil, mendadak ambruk dengan tubuhnya yang terasa panas sampai terlihat asap keluar dari pori-pori kulitnya. Ia meringis kesakitan sampai tiduran di atas tanah berdebu di dekatnya. Berkali-kali merubah posisi, meringkuk merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Edgar yang sedang bertarung sesekali menoleh cemas, ingin mendekat pada pemuda itu. Namun, Edgar tidak bisa pergi karena monster yang mereka lawan sekarang berbeda dari biasanya. Mereka seakan tidak bisa tumbang. Sekali ditebas, kembali bangkit dan menyerang tanpa lelah. "AARRRRGGGGHHH?!"  Theodoric berteriak kesakitan sampai air matanya mengalir pada kedua sudut mata. Pemuda itu makin terisak tertahan saat merasakan ada yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya dan membuat jantungnya makin berpacu cepat. Theodoric berusaha merangkak, memegang sudut tembok dengan keringatnya yang bercucuran sampai menetes dan merembes membasahi tanah berdebu. Pemuda itu bukan hanya merasa kepanasan, tapi juga seperti berada di atas kobaran api. Tubuhnya seakan mendidih dan kini organ-organ dalam tubuhnya seperti meleleh dan membuatnya makin merasakan sakit yang tidak pernah ia rasakan selama ini. Sebelum ia merasa aneh dengan tubuhnya, Theodoric sempat mendengar suara Yatara. Suara bisikan pemuda itu yang membuat Theodoric membulatkan mata kaget. "Kau harus bertahan, walau kau merasa ingin mati!" Kalimat panjang itu entah bermakna apa–– jelasnya Theodoric sekarang sedang sekarat dan bertarung dengan rasa sakit. Theodoric memejamkan mata sesaat, meremas-remas jantungnya dan kembali berguling pada tanah merasa kini terbakar kembali. Pemuda itu lagi-lagi berteriak kuat sampai monster-monster yang ada di sekitar sana menoleh dan berlari ke arahnya. Edgar yang melihat itu langsung melesat maju dan melindungi Theodoric sampai titik darah penghabisan. Begitu pun, dengan Edmund dan juga Halord yang langsung maju membantu. Padahal keduanya adalah salah satu pasukan prajurit penghianat–– di bawah perintah Virga–– sang raja baru Eternal Ice. Edgar dan yang lain sudah berusaha membantu, namun jumlah monster terlalu banyak membuat mereka juga kewalahan. Hampir puluhan mendekati Theodoric dan menindih tubuh pemuda itu sampai Theodoric tidak terlihat. Edgar dan semua orang yang berdiri di dekat pemuda itu membulatkan mata kaget. Karena semua monster itu kini malah mengacuhkan mereka dan mendekati Theodoric yang tengah kesakitan. "Bagaimana ini, apa kita akan membiarkan pangeran dibunuh begitu saja?" Tanya Edmund cemas, ingin melangkah maju namun ditahan oleh Edgar. "Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang, ini bukan karena monster-monster itu. Tapi, karena Theodoric sendiri." Jelas Edgar ambigu membuat Rendy, Allen, Tristan dan juga Deon mengerjapkan mata bingung. Tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya pemuda itu katakan. Teriakan Theodoric kembali menggelegar membuat mereka semua kompak menutup telinga–– terasa berdengung kuat sampai mereka kesakitan. "Bukankah kita harus membantunya?" Tanya Rendy melangkah maju, sudah menyiapkan senjata di tangan. "Tunggu saja, Theodoric sedang bertarung dengan dirinya sendiri." Lanjut Edgar mengeraskan rahang kuat, orang-orang yang berada di sekitarnya makin mengernyitkan dahi bingung. "Tetap saja, kau tidak bisa membiarkan dia kesakitan seperti itu." Kali ini Allen yang melangkah maju, tidak setuju dengan apa yang Edgar lontarkan.  Tanpa menunggu balasan dari Edgar, Allen langsung menarik pelatuk senjatanya bertepatan dengan puluhan zombie yang menindih sampai bertumpuk pada tubuh Theodoric itu pun terlempar jauh membuat debu-debu berterbangan. Allen yang paling dekat dengan tempat kejadian langsung terbatuk kuat–– merasakan beberapa debu masuk ke tenggorokannya. Edgar melebarkan pupilnya, melangkah maju dengan mencengkran gagang pedangnya. Pemuda itu menggigit rahang kuat melihat para monster yang terlempar sama-sama memiliki luka bakar. Sebagian sampai hangus dan membuat tubuh monster-monster itu melepuh dan merembes menyatu dengan debu di atas tanah. Semua orang nampak kaget melihat kejadian aneh di depan mata mereka. Apalagi kini Theodoric perlahan beranjak berdiri dengan tubuh dan pakaiannya yang penuh dengan darah dan juga debu–– menyatu menjadi satu.  Pemuda itu perlahan menolehkan kepala dengan mata terpejam. Sesaat kemudian, Theodoric membuka kelopak matanya membuat iris matanya menampakan kobaran api. Benar-benar kobaran api kecil yang perlahan menurun pada sisi-sisi samping tubuhnya. Ke dua pundaknya lalu ke lengan sampai ke ujung sepatunya. Tubuh pemuda itu mengeluarkan kobaran api yang menyala terang sampai Allen melangkah mundur karena tidak kuat menahan hawa panasnya. Begitu pun, dengan yang lain langsung melangkah mundur dengan meneguk ludah takut. Edgar, Edmund dan Halord meringis dengan merasakan tubuh mereka yang terbakar. Bahkan, rambut perak mereka sampai menguap mengeluarkan asap. "A-apa yang terjadi?" Tanya Deon panik, bingung juga melihat pemuda di depan sana yang masih berkutat dengan kobaran api yang belum padam itu. Theodoric terlempar kuat ke udara dengan kobaran apinya yang membentuk seperti sayap yang terlentang besar dan membuat semua orang yang masih memandanginya makin melebarkan mata takjub sekaligus takut. "Jangan mendekat, mundur semuanya." Titah Edgar dengan suara seraknya, tidak bisa berlama-lama dengan kekuatan Theodoric–– lebih tepatnya kekuatan Yatara yang sekarang mungkin tersalurkan pada tubuh Theodoric. Entah bagaimana itu bisa terjadi yang pasti, Edgar dan orang-orang yang berada di sekitar sana akan berada dalam bahaya. Bahaya zombie tidaklah seberapa, mungkin setelah mereka tergigit mereka akan langsung menjadi zombie. Beda halnya kalau terkena kekuatan Theodoric atau pun pedang api pemuda itu–– besi saja bisa meleleh. Apalagi hanya tulang yang terbungkus daging. Perlahan Theodoric menapak di tanah dengan kobaran api dari tubuhnya menghilang. Bertepatan dengan pakaian pemuda itu yang berubah drastis. Dari hoodie putih lusuh menjadi pakaian perang kerajaan–– lebih tepatnya pakaian pangeran kerajaan dengan jubah kecil yang menutupi kepalanya. Juga terlihat dua pedang apinya yang menyala sampai merambat pada kedua tangannya membuat Edgar memejamkan mata sesaat. Benar-benar seperti melihat Yatara sekarang, namun dengan tubuh Theodoric. Allen berdehem kuat saat tidak sengaja bertatapan dengan pemuda yang baru saja bertransformasi itu. Entah berasal dari mana dan kenapa bisa seperti itu. Yang jelas Allen gemetaran, apalagi tatapan dingin nan menusuk pemuda itu membuatnya merasa terintimidasi. "Ba-bagaimana kalau kita dibunuh oleh dia?" Bisik Deon pada Tristan di sebelahnya yang langsung mendecak kasar menyuruhnya diam saja. "Kalau kita juga dibakar bagaimana?" Sahut Allen tidak sadar berbisik pada Rendy yang langsung menatapnya tajam.  Edgar yang berhasil lepas dari rasa sakitnya akibat kekuatan Yatara yang sekarang dimiliki oleh Theodoric akhirnya bisa berdiri tegap. Pemuda itu ingin melangkah maju, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara deruman mobil mendekat. Semua yang berada di lokasi termasuk Theodoric menolehkan kepala, melihat dua kendaraan bertempur yang berhenti di samping mereka. Kemudian beberapa anggota militer–– lebih tepatnya aliansi Castel melangkah turun sembari menodongkan senjata pada mereka semua. "Kalian semua diharapkan ikut masuk ke dalam mobil!" Titah salah satu dari mereka membuat Rendy sebagai komandang anggota militer mengernyitkan dahi. Ingin menentang, namun pemuda itu kini ditodong banyak senjata membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan diri. Begitu pun dengan yang lain, langsung menjatuhkan senjata dan masuk ke dalam mobil tanpa protes. Salah satu anggota mendekati Theodoric membuat Edgar menolehkan kepala dan menegur, "jangan ganggu dia, kalau tidak ingin ada bencana." Kata pemuda itu mengingatkan. "Emangnya kau siapa berani menasehati aku?!" Balas salah satu anggota tidak terima, langsung mendekati Theodoric yang masih berdiri tegap dengan pakaiannya yang entah sejak kapan kembali memakai hoodie putih. Bedanya sekarang hoodienya bersih tanpa noda. "Kau ketuanya, makanya kau tidak ingin ikut bersama ke dalam mobil?" Ujar anggota castel masih menodongkan senjata ke depan wajah tampan Theodoric. "Kau merasa harga dirimu direndahkan karena sekarang diperlakukan seperti ini?" Lanjutnya belum berhenti. "Kau bis––" omongan pemuda itu terhenti saat Theodoric maju dan mencengkram mulutnya membuat semua orang menoleh kaget. Apalagi saat anggota Castel itu perlahan meleleh dengan lelehan tubuhnya yang menetes pada tanah.  "Dia itu .... makhluk apa?"  Edgar menoleh pada salah satu anggota Castel di sampingnya, "aku sudah memperingatkan, tapi kalian tidak dengar. Kalau mau selamat, sebaiknya pergi sekarang." Kata pemuda itu kembali mengingatkan. Karena tatapan Theodoric sekarang seperti orang tidak sadar–– tatapan iblis yang haus akan tangisan pilu dan juga rasa sakit orang-orang yang mengganggunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN