Rania menggeliat kecil, terbangun dari tidurnya yang hanya beberapa jam. Ibu kandung Theodoric itu melangkah maju mendekati pintu masuk, mengintip keadaan di luar. Alisnya bertautan tidak menemukan satu pun, monster yang mengejar-mengejarnya kemarin. Mereka semua seakan hilang meninggalkan jejak darah dimana-mana.
Sejujurnya Rania belum sepenuhnya merasa lega, ia masih kepikiran dengan penjual daging yang sampai sekarang tidak balik. Setelah mengorbankan diri demi menyelamatkan seorang ibu dan anak bayinya yang tidak tahu berterima kasih.
“Semua monsternya menghilang, mereka sama sekali tidak ada di luar.” Perkataan Rania membuat orang-orang yang tertidur jadi terbangun dan mencoba melihat sendiri apa yang perempuan itu katakan benar adanya. “Kalau mereka sudah tidak ada, berarti kita bisa pulang ke rumah masing-masing, kan? Saya juga tidak bisa tidur semalaman, tidak biasa tidur hanya beralaskan Koran.” Kata salah satu ibu-ibu buru-buru ingin melangkah keluar meninggalkan gudang tempat mereka bersembunyi.
“Jangan dulu,” tahan Austin— pemuda berkacamat— menjadi satu-satunya yang termuda di antara para orangtua itu. “Kenapa emangnya, apa lagi yang harus saya lakukan di sini? Kau tidak boleh seenaknya melarang orang pergi dong!” Balas ibu-ibu itu kasar sampai membentak Austin yang mencoba menahannya.
“Kita tidak tahu kalau mereka masih berada di sekitar sini, kalau ibu nekat keluar sekarang … bisa saja berbahaya. Karena keadaannya hening sekali, mereka seperti bersembunyi di suatu tempat. Sedang menunggu kita semua,” tutur Austin mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
“Jangan mengada-ngada, bisa saja kan pemerintah sudah turun tangan. Aparat kepolisian dan juga anggota militer pasti sudah melakukan sesuatu untuk menyingkirkan makhluk-makhluk berbahaya itu.” Tukas si ibu tetap kekeuh dengan pendapatnya, “tapi, tetap saja—“
“Sudahlah, kalau ibu mau pergi silahkan pergi.” Potong Rania mendekat membuat Austin mengernyitkan dahi bingung, “tapi, ingat … jangan menyalahkan kami kalau nanti di depan sana anda tiba-tiba diserang.” Lanjut Rania mengingatkan, mendekati pintu masuk lalu membukanya lebar. “Silahkan keluar, lagian kita semua yang berada dalam gudang ini tidak ada hubungan darah. Jadi, silahkan berbuat sesuka kalian,” jeda Rania sesaat, “bagi yang ingin pergi silahkan meninggalkan tempat ini sekarang.” Sambungnya dengan tegas membuat Austin menganggukan kepala membenarkan.
Setelah mendengarkan perkataan Rania, tidak ada satu pun yang bergerak dari tempatnya. Perempuan itu pun langsung menutup pintu rapat dengan posisi membelakangi orang-orang yang merasa terintimidasi akan omongannya.
“Kalau memang ada aparat kepolisian atau pun anggota militer yang bertugas, pasti kita bisa mendengar suara kendaraan mereka, kan?” Tanyanya lagi berusaha membuka pikiran sempit orang-orang di hadapannya, “tapi, kenyataannya tidak ada yang datang ke sini. Itu berarti, makhluk-makhluk itu bukan hanya ada di pasar ini, melainkan sudah menyebar ke semua tempat.” Lanjut Rania dengan mengutarakan pendapatnya, “benar, melihat tidak adanya pergerakan dari anggota regu penyelamat … sepertinya memang benar. Negara kita sedang dilanda bencana besar, pemerintah pasti sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk menolong rakyatnya.” Sahut Austin menyetujui perkataan Rania— perempuan yang seumuran dengan ibunya itu.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang. Berdiri menunggu tanpa kepastian, kelaparan dan tersiksa seharian di sini?” Tukas bapak-bapak tidak terima, mengusap wajahnya kasar.
“Saya kan sudah menjelaskan tadi, kita tunggu sebentar lagi.” Kata Austin hati-hati, berusaha tidak terdengar seperti membentak. “Saya meninggalkan istri saya di rumah dan dia lumpuh, dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan saya,” Austin langsung merapatkan bibir mendengar penjelasan bapak-bapak yang sudah beruban itu. “Bisa saja kan monster-monster itu datang ke rumah saya, istri saya pasti ketakutan … tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiam di tempatnya berbaring.” Lanjut bapak-bapak itu lagi dengan mata mengembun, Rania menghela napas sesaat. Mencoba mencari solusi, ingin membantu bapak-bapak itu yang terdengar tulus sayang pada sang istri.
“Apa rumah bapak jauh dari sini?” Tanya Rania membuat Austin menaikan alis kirinya tinggi, “lumayan dekat, bisa jalan kaki dari sini.” Jelas si bapak menatap Rania lurus, “baiklah kalau begitu, saya akan menemani bapak ke sana.” Ujar Rania berani, memutuskan untuk mengambil resiko. Karena ibu kandung Theodoric itu paling tidak bisa mendengar kisah sedih pasangan suami istri.
“Ibu beneran mau pergi keluar sekarang? Padahal anda sendiri yang mengatakan untuk tidak nekat pergi karena belum tahu kepastian dimana para monster itu sembunyi.” Kata Austin jadi kebingungan sendiri, “maaf ya, nak. Saya memang plin-plan, tapi tentu saja harus ada alasannya.” Jeda Rania tersenyum samar, “dan alasannya sekarang adalah alasan yang paling menyentuh hati saya.” Lanjut Rania mengedarkan pandangan ke sekitar mencoba mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. “Tapi, sangat bahay kalau nekat keluar sekarang.”
“Tidak apa-apa, setidaknya saya bisa mati saat melakukan hal baik.” Kata Rania kembali tersenyum, menoleh pada bapak-bapak tadi yang langsung mengikuti Rania ke arah pintu masuk.
Austin yang melihat itu jadi terpaksa mengikuti, tidak tenang juga kalau membiarkan dua orang tua itu pergi tanpa senjata. Mengandalkan keberuntungan dan mengacuhkan bahaya yang bisa saja mereka dapat saat di perjalanan.
“Bapak dan ibu kalau masih mau tetap di sini silahkan, saya harus mengikuti om dan tante itu. Saya juga minta maaf karena melarang kalian pergi sedangkan, saya sendiri malah mengingkari omongan saya sendiri.” Pamit Austin berlari kecil mengejar Rania dan bapak tua itu yang sudah agak jauh di depan jalan.
Rania tersentak kecil mendengar suara derap lari Austin yang mengejar langkahnya, “kau kenapa jadi memutuskan untuk ikut?” Tanya Rania jadi mengomeli. “Saya tidak bisa tinggal juga kan, kalian mengingatkan saya pada orangtua saya yang sudah meninggal.” Tutur Austin jujur membuat Rania tersenyum kecil, “kau juga mengingatkan saya pada anak laki-laki saya.” Balas perempuan itu tersenyum hangat pada pemuda berkacamata bening di sampingnya.
“Kalian terlihat seperti ibu dan anak,” komentar bapak-bapak tua itu menatap Rania dan Austin bergantian.
Ketiganya sudah ingin berbelok pada salah satu jalan, suara krasak-krusuk di depan mereka membuat ketiganya menghentikan langkah. Menahan napas dengan kompak berjongkok, sembunyi di balik pagar bambu di samping mereka.
Austin sudah meraih batu besar seukuran dua kepalan tangannya di belakang tubuhnya, pemuda berkamata itu sudah bersiap ingin maju dan mengayunkan batu di tangannya. Namun, suara anak kucing membuat mereka semua jadi saling pandang lalu kemudian menghela napas lega.
Ketiga orang itu pun, langsung berbelok ke jalanan besar. Dan mereka kembali terhenti saat mendengar suara deruman mobil terdengar mendekat ke arah mereka berdiri. Rania tersentak kaget saat mendengar suara derap lari yang ternyata adalah orang-orang yang bersama mereka di dalam gudang semalaman. Mereka berlari kuat sampai ngos-ngosan karena mendengar suara kendaraan bertempur anggota militer. Berharap mereka datang untuk menolong mereka yang memang menunggu bantuan datang.
Mereka semua berdesak-desakan saat melihat kendaraan kini sudah terhenti di bahu jalan. Beberapa dari mereka bahkan saling mendorong satu sama lain sampai Rania terjatuh dan diinjak sengaja oleh orang-orang yang bersamanya kemarin dalam gudang itu.
Austin yang melihat itu langsung sigap menolong, menarik tubuh Rania ke pinggir agar jauh dari orang-orang yang tengah mencemaskan hidup dan mati mereka itu.
Salah satu anggota militer melangkah turun dengan senjata api tersampir pada bahu. Laki-laki berseragam lengkap dan juga memakai helmet dan masker itu berdiri menghadap belasan orang di depannya yang kini menatapnya penuh harap.
“Apa ada yang terluka?”
“Tidak ada,” sahut mereka kompak, terburu-buru ingin segera meninggalkan area pasar tradisional itu. Mereka masih terbayang muka menakutkan monster yang sejak kemarin menyerang mereka. “Tidak semua bisa naik ke mobil, jadi beberapa harus menunggu di sini.” Ujar anggota militer itu menjelaskan membuat orang-orang makin mendorong satu sama lain. Berebutan ingin naik ke atas mobil, tidak mau menjadi korban monster selanjutnya.
Austin, Rania dan bapak tua yang berdiri agak jauh dari kerumunan orang-orang hanya pasrah saja. Lagian mereka juga tidak bisa mengikuti mobil regu penyelamat, karena tujuan mereka sekarang adalah rumah si bapak tua di samping mereka. Laki-laki tua yang masih memikirkan istrinya walau pandemi menyerang.
“Sebaiknya kalian juga naik ke mobil, bantuan sudah datang.” Ujar bapak tua tersenyum samar, “saya berterima kasih, karena kalian sudah berniat mau membantu saya. Tapi, cukup sampai di sini saja.” Lanjutnya menghela napas sesaat, “kalian juga harus menemukan keluarga kalian.” Katanya dengan kembali menarik kedua sudut bibirnya lembut.
“Saya sudah tidak punya keluarga, jadi tenang saja.”
“Anak saya juga sedang berpergian, jadi tidak ada yang harus saya temui.” Kata Rania dan Austin santai.
“Apa kalian bisa menunggu bantuan kedua datang? Tidak akan muat kalau kalian ikut naik,” tutur anggota militer itu meminta maaf. “Tidak apa-apa, kami akan menunggu.” Balas Rania tersenyum kecil, menganggukan kepala sopan pada anggota militer yang langsung menarik gas pergi meninggalkan Rania, Austin juga bapak tua itu.
Kendaraan militer itu sudah melaju jauh, menyusuri jalanan kosong yang seakan tidak memiliki penghuni. Tempatnya yang biasanya ramai dan bising itu kini nampak hening, tenang dan juga beberapa tempat hancur berantakan. Karena dipenuhi dengan jasad-jasad manusia atau pun jasad monster yang mati mengenaskan akibat perlawanan manusia yang ingin bertahan hidup.
“Pastikan, kendaraan lain mengangkut orang-orang yang tersisa.” Kata salah satu anggota militer itu— lebih tepatnya anggota organisasi Castel.
***
Semua orang berkumpul di dalam ruangan bernuansa putih tulang itu dengan dinding-dindingnya hampir semua dari kaca. Duduk pada kursi berbentuk persegi panjang dengan satu kursi yang menjadi pusat ruangan para pejabat elit itu.
Orang-orang nampak memakai jas rapi, duduk di kursi masing-masing yang ada tanda nama dan juga jabatan mereka di sana. Juga ada microphone yang terpasang untuk semua orang yang hadir dalam rapat negara itu. Yang akan diketuai oleh bapak presiden sendiri—Arya Perwira sakti.
Para regu penyelamat juga hadir, anggota militer, aparat kepolisian, petugas medis, dan juga profesor yang mengerti tentang berbagai macam virus juga hadir. Para menteri juga mulai mengisi kursi sembari menunggu kedatangan presiden negara.
Pintu ruangan terbuka lebar, seseorang pun melangkah masuk membuat semua orang yang tengah duduk rapi itu langsung berdiri dari kursi masing-masing lalu menjadikan sosok yang sudah beruban itu sebagai pusat perhatian mereka.
“Silahkan duduk,” ujarnya pada semua yang hadir, sontak seisi ruangan kembali duduk dengan perasaan cemas. “Kota apa saja yang terkena serangan makhluk itu?” Tanya bapak presiden tanpa basa-basi. “Pusat kota adalah yang paling mengkhawatirkan, karena selain pusat kota itu sendiri ada dua tempat yang terkena serangan juga … yaitu pasar tradisional dan sekolah Bhinneka.” Jelas salah satu pejabat yang hadir.
“Pusat kejadian sendiri itu dari sekolah Bhinneka, kemudian merambat ke pasar tradisional lalu ke pusat kotanya sendiri.” Sambung laki-laki berkumis itu menjelaskan semua informasi yang dia dapat. “Jadi, serangan bukan dari Pusat Kota?”
“Bukan, karena Pusat Kota menjadi tempat terakhir para makhluk itu berada. Mereka terakhir kali ditemukan di Pusat Kota, jadi dipastikan insformasi terakhir … makhluk-makhluk itu memang tujuan akhirnya ke sana.” Ujar orang itu lagi dengan yakin, merunduk pada tablet di atas mejanya membaca semua informasi yang dia dapat.
“Juara sekali mengarangnya,” ucapan pemuda anggota militer itu di meja sebelah kanan membuat semua orang langsung menolehkan kepala kaget. “Maksud anda apa ya? Kenapa bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu?” Tanya salah satu pejabat elit tidak terima mendengar perkataan lancing pemuda itu. “Ya, tidak apa-apa. Saya hanya merasa aneh mendengar penjelasan anda yang terdengar seperti omong kosong,” lanjutnya makin berani membuat Arya— presiden negara menatapnya lurus.
“Komandan Anjas, apa anda punya pendapat lain? Sepertinya anda tidak setuju dengan apa yang beliau katakan.” Tegur Presiden menautkan alisnya satu sama lain membuat pemuda bernama Anjas itu menganggukan kepala membenarkan. “Serangan awal berasal dari sekolah SMA Bhinneka itu benar.” Kata pemuda itu kini berdiri, menyalakan tablet yang dipegangnya lalu menyambungkannya ke monitor di depan semua orang yang berada di dalam ruangan.
Anjas Prasetya— ketua komandan 2 itu memperlihatkan rekaman CCTV di sekolah Bhinneka.
“Dilihat dari munculnya mereka dari belakang gedung sekolah sangat tidak masuk akal,” jeda pemuda itu dengan kembali menekan layar tabletnya memperlihatkan foto area belakang sekolah Bhinneka. “Tidak ada satu pun, jalan masuk untuk monster-monster itu masuk. Namun, tidak ada juga tanda-tanda mereka muncul di depan gerbang sekolah.” Lanjut ketua komandan itu dengan meletakan tabletnya di atas meja.
“Mungkin saja dari salah satu murid yang terkena sebuah penyakit atau apa, saat di sekolah baru dia menyadari perubahan tubuhnya yang tidak biasa itu.” Sahut yang lain berpendapat.
“Tidak, mereka bukan berasal dari murid, guru atau pun staff di sekolah Bhinneka. Karena pakaian yang monster ini pakai bukanlah pakaian sekolah. Dan juga pakaian mereka seperti pakaian orang-orang kerajaan terdahulu,” Anjas masih dengan memperlihatkan gambar-gambar yang ia dapat dari hasil penelitiannya beberapa hari ini.
“Jadi, sudah dipastikan mereka masuk dari tempat yang kita tidak bisa lihat, lebih tepatnya tempat ghaib?” Ujarnya membuat semua orang yang berada dalam ruangan menggelengkan kepala tidak setuju, juga mentertawakan perkataan pemuda itu yang terdengar seperti omong kosong. “Sepertinya anda yang terdengar mengarang sekarang komandan Anjas,” sindir bapak presiden membuat pemuda itu tersenyum masam.
“Anda akan menarik ucapan bapak barusan setelah melihat rekaman CCTV ini,” kata Anjas langsung memperlihatkan rekaman seorang pemuda yang menebas makhluk-makhluk itu dengan pedangnya. Pedang yang entah datang dari mana membuat semua orang melongo di tempat mereka duduk.
“Itu editan?”
Anjas sontak tersenyum miring, kemudian menggelengkan kepala pelan. “Tentu saja tidak, emangnya saya seperti orang yang banyak waktu luang untuk melakukan hal yang tidak berguna?” Kata pemuda itu kesal, “intinya monster yang asli berasal dari sekolah Bhinnek, kedatangan mereka darimana itu masih jadi pertanyaan sampai sekarang.” Jelas Anjas dengan ekspresi yakin.
“Pusat kota, pasar tradisional dan tempat-tempat lain hanyalah tempat sabotase salah satu oknum yang mengambil kesempatan dari adanya pandemic ini.” Tutur Anjas lagi kembali memperlihatkan dua monster yang berasal dari sekolah Bhinneka dan pusat kota atau pun tempat-tempat lain.
“Sabotase?”
“Ya, iris mata mereka berbeda. Kuku-kuku mereka juga berbeda, dan darah mereka juga berbeda.” Jelas pemuda itu lagi dengan yakinnya membuat alis presiden bertautan satu sama lain. “Iris mata, atau pun kuku mungkin saja bisa berbeda. Tapi, darah … memangnya darah bisa berbeda dari segi apanya?” Tanya presiden bingung, tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya ketua komandan itu katakan.
Anjas kembali memperlihatkan bekas luka pada beberapa monster atau pun zombie yang terluka, “darahnya hijau dan juga bentuknya tidak seperti darah pada umumnya. Lebih mirip slime yang biasa jadi mainan anak-anak.” Kata pemuda itu lagi kemudian menutup tabletnya dan kembali ke kursi tempatnya duduk.
“Jadi, hal pertama yang harus bapak presiden lakukan adalah … temukan laki-laki yang tertangkap kamera. Pasti munculnya monster-monster itu ada kaitan erat dengan dia,”
Presiden terdiam beberapa saat, “dan pastikan jangan sampai menyakitinya, karena bisa saja dia menjadi senjata rahasia kita untuk menghentikan penyebaran monster-monster ini.” Lanjut Anjas dengan tesenyum kecil pada bapak presiden yang berusaha mencerna dengan baik semua yang Anjas sampaikan.
“Baiklah, kerahkan pasukan untuk mencari pemuda itu … dengan catatan jangan melukai dia sedikit pun,” kata presiden akhirnya setuju membuat Anjas tersenyum lega karena omongannya diterima dengan baik.