Prolog
Suara langit bergerumuh di atas sana. Kilatan cahaya petir berulang kali terlihat yang sesaat membuat langit terang. Tidak ada hujan yang turun, hanya saja langit berisik tanpa henti.
Sosok dengan wajah aneh itu berdiri di hadapan puluhan orang yang kini saling merapatkan diri. Tidak memberinya celah untuk kabur.
Orang-orang di depannya nampak memakai penutup wajah, hanya kedua mata mereka yang terlihat. Kedua mata yang bersinar putih sepenuhnya tanpa ada hitam di sana. Rambut mereka pun berwarna perak gelap yang terlihat seperti irisan es yang meruncing di atas kepala mereka.
Penutup wajah mereka pun sama, terbuat dari es yang membuat sosok tegap yang penuh luka itu mengeraskan rahang.
"Tidak ada jalan keluar lagi, kau hanya perlu menyerahkan diri. Dengan begitu kau bisa selamat." Kata salah satu dari mereka membuat sosok itu makin melangkah mundur, memegangi tangan kanannnya yang perlahan meneteskan darah sampai mengalir pada tanah basah yang ia pijaki.
"Kalian pikir aku akan ikut dengan kalian dan menjadi sembahan untuk suku kalian?" Kata sosok itu kembali menolak dengan tegas, bibirnya meringis samar merasa makin tidak berdaya kini. "Kalau kau menolak, terpaksa kami akan menyeretmu dengan cara kekerasan." Kata salah satu di antara mereka, maju dengan memejamkan matanya sesaat lalu perlahan wajahnya berubah menakutkan.
Kornea matanya menghitam gelap sepenuhnya, dengan suhu udara di sekitar yang mendadak dingin dengan pohon-pohon tinggi itu membeku karena kekuatan mereka.
Pemuda yang terluka itu memegang lengan kanannya yang mati rasa karena suhu udara yang dingin. Bahkan, darah-darahnya yang menetes langsung membeku saat sebelum bersentuhan dengan tanah.
"Tuan Yatara, saya tanya sekali lagi. Apa anda mau ikut dengan kami tanpa harus menumpahkan darah?" Sosok yang bernama Yatara itu langsung menolak dengan tegas dengan menajamkan pandangannya. "Tidak, jangan mimpi."
Orang-orang di depannya langsung maju menyerang membuat Yatara menegakan tubuh, berusaha melawan di sisa-sisa tenaganya. Pemuda itu mengeluarkan kedua pedangnya yang bersinar terang sampai es yang membeku di sekitarnya retak begitu saja dan menjadi air yang mengalir di bawah kaki mereka.
"Sampai akhir pun, kau berusaha sekali ya. Padahal tubuh anda sudah tidak bisa bekerja sama." Yatara tersenyum saja dengan mengedikan bahu pelan, "ini yang namanya insting bertahan hidup. Kalau kau ingin membawaku ke sukumu ... setidaknya kau harus bisa membunuhku sekarang." Kata Yatara kembali memancing lalu berlari secepat kilat melesat ke depan sana dengan pedang tajamnya yang bersinar.
Yatara terpental jauh sampai tubuhnya terbentur bebatuan di ujung lereng gunung. Lelaki bermata merah yang bersinar menyala seperti bola api itu melebarkan mata kaget melihat sosok berjubah putih di hadapannya yang kini menghadang langkahnya.
"Yatara, kau harus menyerah sekarang. Tidak ada cara lain selain kau ikut dengan mereka, kembali ke kerajaan. Kau harus menerima hukumanmu, karena telah berhianat." Yatara tersenyum miring menatap sosok yang selama ini ia percaya malah mendukung musuh. "Kalau kau tidak menurut, terpaksa aku membawamu pergi sekarang. Cepat putuskan apa pilihanmu," Yatara terdiam beberapa saat lalu melangkah mundur berdiri ujung tebing.
"Aku sudah bilang, tidak akan terjebak dengan apa yang sudah kalian rencanakan. Entah ikut ke kerajaan atau aliansi, suku atau apalah itu. Aku tidak akan pernah ikut." Tegas Yatara sembari perlahan melangkah mundur membuat semua orang yang mengejarnya termasuk sang guru di depannya.
Yatara menyentuh udara di depannya membuat pintu dimensi lain terbuka. Dan Yatara pun kabur dari mereka bersamaan dengan pintu itu yang menghilang tanpa jejak.
"Bagaimana sekarang, apa kita biarkan saja dia ke tempat manusia berada?"
"Kita tunggu saja. Cepat atau lambat, Yatara akan kembali ke kerajaan ini. Dia tidak akan bisa bertahan tinggal di tempat yang dipenuhi dengan mahluk-mahluk serakah itu."
"Baiklah, kalau sampai dia seminggu belum kembali. Terpaksa aku dan anggota lain, akan mengejar dan mencari Yatara sampai ketemu. Walau harus menyeberang ke dimensi lain."
Pria berjubah itu mengangguk saja dengan menghela napas gusar membuat kerutan di kedua sudut matanya makin terlihat.
***
Ketukan kuat dari luar pintu membuat pemuda yang sedang tidur tengkurap di atas tempat tidurnya itu mengulet kecil lalu bergumam sesaat kemudian kembali tidur.
"Theodoric! Sampai kapan kau akan tertidur seperti itu?! Kau mau aku kutuk jadi batu, huh?! Theodoric!" Teriakan ibunya di luar kamar membuat pemuda yang tidur dengan singlet yang sudah pudar warnanya itu jadi menendang-nendang udara kesal.
Terpaksa bangun dengan menggaruk-garuk rambutnya yang sudah panjang itu. Ia membuka pintu dan langsung tersentak kaget saat ibunya berdiri di depannya dengan memegang palu besar. Ingin merobohkan pintu kamar sang anak.
"Ibu mau ngapain?" Tanyanya tanpa dosa, masih menggaruk-garuk perutnya sampai ke belakang punggung. Kedua matanya masih menyipit dengan mengusap bekas ilernya yang membuat ibunya menghela napas lelah. "Kenapa aku bisa ngelahirin anak sejorok ini?" Gumam Rania memandangi anaknya yang sudah membuka pintu lemari es dan meminum soda dingin di sana.
"Siap-siap, temani ibu ke pasar." Katanya tidak ingin dibantah membuat Theodoric menggeleng. "Aku sibuk," balasnya sudah menenggak habis soda di tangan.
"Kau sibuk apa? Kau itu pengangguran, jangan banyak alasan. Kalau masih mau tinggal di rumah ini, antar ibu sekarang juga ke pasar. Jangan banyak alasan!" Theo menipiskan bibir melirik ibunya sesaat. "Apa ibu enggak kasihan kalau sekarang maksa aku buat temani ibu ke pasar, padahal aku sedang ngantuk begini? Aku sedang mengumpulkan energi biar nanti malam kerja, bu." Ujarnya beralasan membuat sang ibu mendecak, memeluk tangan di depan d**a.
"Kau kerja apa emangnya? Kesibukanmu itu apa?"
"Tidur, hehe." Rania langsung maju dan mendaratkan pukulan pada lengan, b****g dan juga punggung Theo kasar sampai anaknya itu melompat-lompat kesakitan berusaha menghindar.
"Pergi ke pasar masa harus ditemani, biasanya juga sendiri." Gerutu Theo sudah mendaratkan bokongnya pada sofa. "Ibu mau belanja bulanan, barang belanjaannya pasti berat. Jadi, perlu kau yang anak durhaka ini untuk membantu." Theo melengos sesaat lalu mengangguk saja sembari beranjak berdiri. "Anak durhaka ini akan mengantarmu pergi, jadi tunggu saja!" Kata pemuda itu menunjuk ibunya penuh dendam lalu kembali menghindar cepat saat ibunya sudah ingin kembali melayangkan pukulan.
Beberapa saat kemudian pun, Theo melangkah keluar dari kamar dengan memakai celana training panjang lusuhnya. Atasannya hoodie abu-abu yang di bawahnya masih kelihatan kaos singletnya yang melar dan robek-robek pada ujungnya.
Rambut hitam tebal dan acak-acakannya ia tutupi dengan kupluk hoodie. Tanpa cuci muka terlebih dahulu, langsung mengajak sang ibu untuk ke pasar.
"Kau tidak mau mandi dulu?"
"Cuma ke pasar, ibu."
"Terserah kau saja."
Rania sudah keluar rumah lebih dulu membuat Theo mengekori dengan langkah malas.
___
Theo menguap lebar dengan muka kusutnya, rambut depannya panjang sampai hampir menutupi kedua matanya. Ia sebenarnya paling malas kalau harus keluar belanja dengan ibunya. Apalagi harus berbasa-basi ngobrol dengan penjual. Membicarakan ini dan itu. Supaya bisa dapat diskon belanja.
Itu kata ibunya.
"Ikannya berapaan 1 kilonya, bu?" Tanya ibunya tersenyum sembari mengamati tumpukan ikan di depan yang masih segar itu. "Harga seperti biasa bu, seratus sepuluh ribu perkilo." Jelas si penjual dengan tersenyum ramah.
Saat ibunya tengah bernegosiasi dengan penjual. Theo malah mengedarkan pandangan ke sekitar ingin cepat-cepat pergi saja. Sudah merasa bosan berada di sana. Apalagi bau amis ikan yang bertebaran di sekelilingnya membuat pemuda itu makin tidak betah.
Sendal jepitnya terkena cipratan air ikan membuat ia mendecak kasar. Sembari menarik diri dengan ekspresi jijiknya. Sang ibu yang baru saja berhasil menurunkan harga ikan yang dibelinya mendekat dan langsung menyodorkan kresek berisi ikan pada Theo.
"Bau amis, bu." Rengeknya mendorong kembali pada ibunya yang langsung mendelik. "Kau juga bau amis, dari kemarin belum mandi kan?" Theo menghela kasar, mau tidak mau mengambil kresek ikan di tangan ibunya yang sudah menyelonong pergi lebih dulu.
Berdiri di depan penjual sayur dan bumbu-bumbu dapur. "Anaknya ya, bu?" Tanya penjual yang menunjuk Theo dengan dagu.
"Sebenarnya bukan," balas Rania tersenyum masam membuat Theo mendengus saja. "Tapi, karena kasihan makanya saya akuin sebagai anak." Lanjut wanita itu dengan terkekeh pelan bersama penjual sayur.
"Sekarang anaknya kerja apa, bu?"
"Emmm, jadi beban keluarga, bu."
Theo makin merasa kesal mendengar ibunta yang malah mempermalukannya di depan penjual sayur dan juga ibu-ibu lain yang tengah berbelanja juga.
"Kalau anak saya kerja kantoran, bu. Seminggu yang lalu baru naik jabatan." Pamer ibu di sebelah dengan sengaja menarik lengan baju memperlihatkan gelang emasnya membuat Theo di belakang mendelik saja. "Selamat ya, bu." Kata Rania tulus.
"Anak ibu sudah bisa cariin uang buat orangtuanya. Sedangkan, anak saya .... " Jeda Rania sembari menoleh pada sang anak yang menatapnya keruh. " ... masih jadi kipas rusak, ada tapi tidak berguna." Theodoric langsung melangkah pergi meninggalkan saja ibunya dan ibu-ibu di sana yang masih mentertawainya.
Pemuda yang hanya memakai sendal jepit swallow itu melangkah cepat tanpa mendengar panggilan ibunya di belakang. Ia hanya berjalan lurus ke arah jalan setapak yang mengarah ke jalan raya.
Pasar tradisional yang mereka datangi memang harus masuk ke dalam perkebunan. Para pembeli bisa melewati jalan setapak ini untuk masuk ke sana. Ada juga jalan besar yang langsung mengarah ke pasar, hanya saja lebih jauh dan memutar. Jadinya, Theo memilih jalan setapak yang ditumbuhi pohon jati di sekeliling.
Tumpukan daun jati yang berguguran membuat suara gesekan terdengar. Gesekan antara sendal jepit dan juga daun jati yang sudah kering. Bebatuan besar juga terlihat di sekeliling, sisa pegunungan yang katanya diratakan karena jalanan di sana akan dibangun pasar yang lebih besar lagi.
"Theodoric!"
Suara tegas ibunya di belakang membuat pemuda itu mau tidak mau berhenti tanpa menoleh. Ia mengaduh kecil saat ibunya menabok punggungnya kasar.
"Ibu belum selesai belanja, kenapa langsung pergi begitu saja?" Omel Rania berdiri di sampingnya. "Siapa yang betah berdiri di sana, kalau ibu sendiri malah permaluin anaknya di depan orang-orang." Balas Theo berani.
"Kalau gak mau dipermaluin, ya kerja sana."
Theodoric memutar mata jengah, memandangi punggung ibunya yang sudah melangkah menjauh. Ia ingin mengejar sang ibu, namun perhatiannya teralih pada salah satu benda yang terlihat pada tumpukan daun kering di bahu jalan depannya.
Theodoric pun mendekat, merunduk dan mengambil pedang yang nampak berkarat itu. Panjang pedangnya sepanjang lengannya. Gagangnya masih kokoh dan terasa berat saat digenggam.
Ia masih mengamati dengan menyentuh gambar api pada sisi pedang yang membuat sesuatu bersinar di dalam pedang tersebut. Theo tersentak kaget sampai menjatuhkan pedang ke jalan.
Ia meneguk ludah berulang kali, lalu kembali memberanikan diri mengambil kembali pedang yang baru saja ia jatuhkan.
"Apaan tadi?" Ujarnya bermonolog sendiri sembari kembali menyentuh gambar api di sisi lain yang langsung membuat pedang itu langsung hilang dan terserap ke dalam tangannya.
Sinar pedang tadi juga mengambang di udara dan lenyap begitu saja pada dadanya. Kelopak mata Theodoric beberapa detik menampakan bola mata api yang membara. Kemudian tubuhnya tertarik ke udara dan terbanting kuat ke jalan yang membuatnya langsung tidak sadarkan diri.
Perlahan penglihatannya buram, samar-samar ia hanya mendengar suara ibunya yang memanggilnya dengan cemas.