Suasana di kerajaan Eternal Ice masih heboh, membicarakan tentang menghilangnya pangeran dari istana kerajaan. Sudah beberapa hari tidak ditemukan dan kini para rakyat mulai berspekulasi kalau pangeran telah diusir dari istana atas apa yang selama ini telah menjadi rumor.
Pangeran Yatara dikatakan sebagai penghianat yang akan menghancurkan dan memporak-porandakan kerajaan Eternal Ice dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan yang berbanding terbalik dengan penghuni kerajaan asli Eternal Ice. Sang pangeran sendiri memiiliki kedua bola mata api dan kekuatan yang bisa melelehkan es yang berada di sekitaran istana.
Karena rumor itu, rakyat kerajaan semakin yakin kalau pangeran memang sudah diusir di istana oleh sang raja sendiri.
Di sebuah bangunan yang berbentuk seperti tabung dengan atapnya yang berbentuk seperti payung yang semuanya terbuat dari es, nampak berbeda dari bangunan-bangunan yang terletak di pinggiran jalan itu. Di dalam sana hampir seluruhnya berisi rak-rak lemari yang dimana dipajang banyak obat-obatan yang diracik sendiri oleh sang pemilik tempat.
Seseorang melangkah masuk tanpa permisi, mendudukan diri di salah satu kursi kayu sembari menurunkan tudung jubahnya yang menutupi kepala. Bibirnya tertarik samar melihat laki-laki tua yang tengah menata obat-obatannya tanpa menoleh sedikit pun padanya. Padahal laki-laki itu bisa merasakan kehadirannya di sana.
"Sudah seminggu sejak Yatara pergi, saya dan pasukan akan segera mencari dan mneyeret Yatara kembali ke kerajaan." Jelas pemuda itu dengan mencelupkan telunjuk ke dalam gelas berisi air yang berada di atas meja dekat kursi yang ia duduki.
"Yatara pasti akan kembali sendiri, tidak perlu kalian jemput sampai harus menembus ke dimensi lain. Akan membahayakan manusia kalau kalian semua pergi ke sana," ujar sosok yang tidak lain adalah pengasuh sekaligus guru Yatara— Billy.
Pemuda yang tengah duduk itu tersenyum saja, memainkan air di telunjuknya yang sudah ia bekukan. Dan kini ia mainkan dan satu tetes air itu berputar-putar indah di udara tanpa sentuhan tangannya.
"Kau sepertinya masih mencemaskan anak itu ya? Bukankah kita sudah sepakat, kalau kau sekarang berada di pihak saya?" Tanya pemuda berwajah tampan itu— Virga. "Dan bukankah sudah dibicarakan, jangan menganggu Yatara. Anak itu akan kembali sendiri tanpa harus kau dan pasukanmu seret seperti yang lalu." Kata Billy tajam, meletakan obat-obatnya di atas rak. Lalu menoleh pada Virga yang jadi mengangkat wajah membalas tatapannya.
"Kalau kau sebegitu ingin menjadi raja Eternal Ice, silahkan. Tapi, jangan pernah mengusik Yatara." Tutur Billy memperingatkan membuat Virga beranjak berdiri kemudian menganggukan kepala menurut, "baiklah, kau tidak perlu semarah itu. Sebagai calon panglima kerajaan, kau tidak boleh terlalu memakai amarahmu." Kata Virga menyindir, "besok persiapkan seluruh rakyat kerajaan, karena kita ... akan memulai permainan yang nyata besok. Jangan sampai terlambat," Virga pun melangkah keluar dengan kembali memakai tudung jubah merah maroonnya.
Pemuda itu pun melangkah keluar dari tempat Billy berada, menyusuri jalanan yang hanya diterangi oleh api obor itu. Dengan diikuti oleh tatapan Billy yang masih menatap punggung Virga yang mulai menghilang di balik tembok bangunan di seberang jalan.
Billy mendudukan diri di kursi, mengusap wajahnya kasar dengan perasaan tidak tenangnya. Apalagi setelah menghianati muridnya sendiri dan juga pangeran kerajaan hanya untuk sebuah jabatan di kerjaan Eternal Ice yang Virga tawarkan padanya. Tapi, Billy melakukannya karena sudah tidak ingin terus-terusan menjadi orang yang tidak berguna.
Hanya manjadi penjual obat-obatan, padahal ia sudah mengabdi lama menjadi guru Yatara. Namun, sayangnya raja tidak pernah mengapresiasi kerja kerasnya selama ini.
"Iya, aku melakukan ini demi masa depanku dan juga masa depan kerajaan. Virga pasti bisa menjadi raja yang lebih baik dari raja Samuel," ujar Billy meyakinkan diri sendiri.
**
Pemuda itu melangkah dengan gagah menuju altar istana. Di sekelilingnya ada pilar-pilar tinggi yang menjaga istana tetap kokoh. Ada kolam-kolam kecil di sisi kiri dan kanan dengan pinggiran kolam ditumbuhi bunga kecil yang tengah bermekaran indah.
Lantai istana diambil dari es abadi dengan dicampur sari bunga yang bening dan juga gemerlap.
Saat kotak lantai diinjak akan berubah terang dengan bernada. Sepanjang jalan pun tidak akan terasa membosankan kalau menghabiskan waktu hanya di altar istana.
Pemuda jangkung itu berdiri sesaat, menatap sekeliling yang hanya ada pasukan penjaga istana. Tidak ada para pejabat kerajaan, mungkin mereka sedang berkumpul di ruang kerja.
Alisnya terangkat tinggi dengan tatapan dinginnya yang menatap lantai yang ia pijaki. Setelah beberapa detik kemudian, lantai yang ia pijaki pun perlahan bergerak naik sampai ke lantai paling atas. Tidak ada kaca atau pun penyangga di sana, hanya lantai yang ukurannya 50x60 centi. Kalau bergerak sedikit saja, mungkin pemuda itu akan terjatuh dari lantai atas.
Sosok yang tidak lain adalah Virga itu pun tersenyum samar saat melihat kamar sang raja yang berada ada di depan matanya kini. Kamar sang raja didominasi dengan warna putih yang dihiasi berbagai macam es Abadi yang berbentuk bunga. Yang tentunya memanjakan mata dengan kerlipan indah sari bunga yang seperti pelangi di sana.
"Bagaimana keadaanmu yang mulia?" Tanya Virga sembari duduk di kursi samping ranjang sang raja yang tengah terbaring lemah di atas kasur. "Sepertinya baik." Balas raja Samuel tersenyum samar. Wajahnya masih pucat dengan lingkaran hitam yang sudah tercetak jelas di bawah kelopak matanya.
"Syukurlah, saya benar-benar lega mendengarnya. Semoga yang mulia segera pulih total agar bisa memperhatikan Pangeran Yatara dengan baik," ujar Virga merunduk samar, memasang ekspresi masam. "Ada apa? Yatara membuat masalah lagi?" Tanya Raja Samuel beranjak duduk dengan terbatuk kecil.
Virga menipiskan bibir, lalu perlahan menganggukan kepala membenarkan.
"Yatara sudah seminggu lamanya meninggalkan istana kerajaan. Saat yang mulia sedang terbaring sakit pun pangeran tidak pernah datang menginjakan kakinya ke sini." Jelas Virga mengerjapkan mata sayu, "yang mulia berhari-hari tidak sadarkan diri. Saya sebagai teman sekaligus keluarga dekat yang mulia ... ingin membawa Pangeran Yatara kembali pulang. Namun, sayangnya Pangeran tidak mengindahkan ajakan saya dan para pengawal." Sambung Virga menghela napas sesaat.
"Pangeran memutuskan untuk pergi ke dunia manusia seorang diri, yang mulia." Raja Samuel sontak membulatkan mata kaget mendengar penuturan Virga di samping ranjang.
Kelopak mata raja bergerak tidak tenang, mencemaskan putra tunggalnya yang memang tidak punya hubungan harmonis dengannya.
"Kenapa kalian tidak mengikuti sampai ke sana? Bukankah kau tahu, siapapun yang nekat ke sana tidak akan bisa bertahan hidup. Apalagi dunia manusia suhunya berbeda jauh dengan suhu tempat kita berada," ujar Raja Samuel mengeraskan rahang.
"Saya juga ingin melakukan itu, raja. Tapi, siapa yang akan memperhatikan istana dan juga raja nantinya? Karena itu, saya ingin membiarkan saja Pangeran Yatara menjernihkan pikirannya terlebih dahulu." Jeda pemuda itu berbicara asal, "pangeran Yatara masih terlalu muda untuk mengerti tentang dunia politik di istana dan juga memiliki perasaan simpati terhadap ayahnya yang sedang sakit. Saya ingin memaklumi, pangeran Yatara." Tambah Virga melemaskan kedua bahu pelan.
Raja Samuel terdiam beberapa saat, mengerjap-ngerjapkan matanya sendu.
"Apa anak itu beneran tidak punya peluang untuk menjadi penerus?" Tanya sang raja lirih dengan menggigit-gigit rahagnya, "soal itu kita bicarakan nanti saja, karena yang terpenting sekarang adalah kesehatan yang mulia." Lanjut Virga tersenyum samar sembari membenarkan selimut Raja Samuel yang tersingkap.
"Andaikan saja Yatara bisa seperhatian kau, mungkin aku akan menjadi ayah yang paling bahagia." Kata Raja tersenyum samar membuat Virga menganggukan kepala pelan.
"Sebuah kehormatan kalau saya bisa menjadi anak yang mulia." Balas pemuda itu kembali menarik sudut bibirnya, tatapan teduhnya perlahan menajam dengan rahang yang mengeras kuat.