Rania berdiri di depan pagar rumah dengan cemas, melongokan kepala berharap sang anak muncul di ujung jalan. Seharusnya ia tidak mengomeli Theodoric tadi hanya karena masalah pintu. Jadinya sang anak tidak pergi selama ini setelah diomeli, Rania hanya takut Theodoric sampai tidak pulang ke rumah.
Tidak ada keluarga lain yang bisa pemuda itu mintai tolong. Atau pun, menginap di rumah teman. Setahu Rania, Theodoric selama ini tidak memiliki teman dekat. Hanya teman alumni SMA, itu pun kalau berpapasan mereka hanya sibuk membanggakan diri.
Theodoric memang anaknya tidak terlalu suka dengan teman-temannya yang seperti itu. Alhasil Theodoric hanya berteman dengan teman game virtualnya. Setiap malamnya pasti terdengar cekikikannya, bahkan tergelak di tengah malam.
Makanya, Rania merasa cemas dengan sang putra. Takut Theodoric nanti cuma bisa dekat dengan teman virtual. Amit-amit juga kalau sampai nikah virtual dengan orang yang tidak berwujud.
"Aku pulang,"
Rania tersentak kaget saat mendengar suara Theodoric di samping, pemuda itu melangkah gontai sembari membuka pintu gerbang.
Ekspresinya masam dengan bibir yang melengkung ke bawah. Rania tahu betul kalau sekarang Theodoric masih ngambek seperti anak-anak pada umumnya. Jadi, Rania akan memberikan sesuatu asupan yang bisa mengembalikan mood Theodoric.
"Enak ya, malam-malam begini makan somay." Ujar Rania dengan nada riang, berusaha memancing mood Theodoric yang masih mengeraskan wajah. "Atau bakso larva? Biasa kan kemarin kamu suka makan itu," lanjut Rania masih berusaha.
Theodoric tidak menanggapi, melangkah masuk saja ke dalam kamarnya yang tidak berpintu.
"Sepertinya ada yang aneh, biasanya kalau itu anak disogok pakai somay atau bakso ... langsung cerah ceria mukanya." Gumam Rania memicingkan mata, "ada yang aneh," katanya masih bingung.
Perempuan itu mendekat pada kamar Theodoric, mengamati anaknya yang sudah tidur dengan posisi menyamping. Entah beneran tidur atau hanya pura-pura, yang jelas ada yang aneh dengan Theodoric.
"Tidak apa-apa kok kalau pintunya rusak, ibu tidak marah. Lagian kan kamu tidak sengaja." Kata Rania berdeham samar, "jangan merasa bersalah begitu. Ibu juga tadi gak marah-marah banget kok, cuma kaget aja pintunya jatuh di depan ibu." Ujar Rania menjelaskan dengan menipiskan bibir sesaat.
Theodoric menghela napas samar, merubah posisi. Kini tidur telentang menatap ibunya di ambang pintu.
"Siapa juga yang merasa bersalah? Orang aku lagi capek aja, cuma pintu doang." Gerutu Theodoric kembali memejamkan mata. "Oh? Sekarang mulai kurang ajar ya, dikasih hati minta jantung." Omel Ibunya mendekat dan langsung memukul lengan Theodoric pelan.
"Aduh,"
Theodoric sontak mendudukan diri dengan ekspresi kesal. Sedangkan, ibunya kini membulatkan mata kaget merasa ada yang aneh.
"Kau sakit ya?" Ujar ibunya kembali berbicara kasar. Menjulurkan tangan kemudian meraba kening lalu turun ke leher sang anak yang terasa panas. "Heh! Beneran panas, kau demam ini." Panik Rania kembali memegang dahi Theodoric yang masih panas seperti berada di atas api.
"Kita ke dokter sekarang, kau kenapa bisa sakit begini sih? Kau sering sakit loh akhir-akhir ini." Kata ibunya cemas, menarik lengan Theodoric agar segera berangkat ke rumah sakit.
Namun, Theo menggeleng cepat dengan kembali merebahkan tubuh santai. "Suhu tubuh aku emang biasanya begini, bu. Jangan menganggu, aku mau istirahat." Ujar pemuda itu pelan, mengibaskan tangan mengusir ibunya dari kamar.
Rania yang cemas sebenarnya tidak ingin keluar dari kamar sang anak. Tapi, melihat Theodoric yang nampak baik-baik saja membuatnya menjadi dilemah.
Suhu tubuh Thedoric memang tinggi sekarang. Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau Theodoric sedang demam atau sakit. Tidak mengeluh dan juga meringis kesakitan seperti biasa. Ingin dimanja, minta dibelikan ini dan itu.
"Theodoric, baik-baik saja, ibunda."
Rania mendelik kaget mendengar ucapan Theodoric yang terdengar menggelikan. Bukan, hanya Rania yang merasa geli mendengar kalimat itu. Theodoric juga, karena yang baru saja mengendalikannya adalah Yatara.
"Ba-baik, ibunda keluar dulu ya anakku." Balas Rania tidak sadar jadi mengikuti.
Beberapa menit setelah ibunya keluar dari kamar. Theodoric mendecak samar, mendudukan diri dengan memejamkan mata sesaat berusaha bersabar.
"Kau kan sudah janji, untuk tidak mengendalikan aku seenaknya." Kesal Theodoric pada Yatara yang berada di dalam tubuhnya. "Aku hanya ingin kau segera pergi ke kerajaan, karena aku cemas dengan keadaan ayah." Jelas Yatara tidak menampakan diri.
Theodoric mendecak samar, mengusap rambut tebalnya ke belakang. "Kau tidak berniat jahat, kan? Aku ke sana cuma untuk menemui orang yang kau bilang akan membantu mengeluarkan kau dari tubuhku. Bukan dijadikan sebagai tumbal atau semacamnya, kan?" Tanya pemuda yang hanya memakai singlet lusuh itu cemas.
"Tidak ada hal semacam itu di kerajaan." Balas Yatara tenang membuat Theodoric bisa bernapas lega.
"Aku beneran cuma bertemu orang yang bisa membantu kita berdua, kan?" Tanya Theodoric kembali memastikan, "iya, kau juga tidak diperlukan di kerajaanku. Jadi, tidak akan berlama-lama di sana." Jawab Yatara apa adanya, Theodoric sontak mendelik dengan menggerutu sendiri.
"Sebentar lagi bulan purnama,"
"Kenapa emangnya kalau bulan purnama?" Tanya Theo mengernyitkan alis, duduk bersandar pada kepala kasur sembari menatap Yatara yang kini duduk bersilah di depannya. Tubuhnya transparan tapi Theo bisa melihat dengan jelas bagaimana tampannya sosok itu. "Sebelum bulan purnama aku harus segera kembali ke kerajaan. Karena pasukan para penghianat itu tidak akan membiarkan aku berlama-lama di tempat manusia, tempat kau berada." Jelas Yatara dengan menajamkan pandangannya.
"Apa yang akan mereka lakukan kalau kau tidak pulang ke kerajaanmu?"
"Mereka pastinya akan datang mencarimu." Theodoric refleks mendelik tidak terima, "memangnya apa salahku? Kenapa mereka datang mencariku?" Yatara mengerjapkan mata samar, mengedarkan pandangan ke semua sudut kamar Theodoric.
"Sekarang aku berada di dalam tubuhmu. Sudah pasti kau dicari juga," jelas Yatara sudah berdiri, mendekat pada pintu yang disandarkan pada dinding kamar. Pemuda itu berusaha mengarahkan tangan kanannya ke pintu, namun tidak ada yang terjadi apa-apa. "Kau sedang apa?"
Yatara menoleh pelan, "aku ingin membantu membentulkan pintu." Theodoric sontak terkekeh mendengar perkataan itu. "Kalau mau, harus ada papan baru. Juga harus ada paku sama palu, kau tahu itu kan?" Yatara diam saja, memperhatikan gerak-gerik Theodoric kemudian menggelengkan kepala berulangkali.
"Kenapa ekspresimu begitu?" Theodoric merasa tersinggung melihat bagaimana Yatara menatapnya tidak bersahabat.
"Sebenarnya aku tidak sepenuhnya yakin, tapi coba kau arahkan tanganmu ke pintu ini." Tunjuk Yatara pada pintu yang terbelah itu membuat Theo menaikan alis tinggi merasa aneh dengan permintaan sosok yang lebih jangkung darinya itu. "Buat apa?" Decak Theodoric menjulurkan tangan kanan ke arah pintu kamarnya. Kemudian Yatara juga ikut berdiri di tempat Theodoric berdiri. Kini Yatara seperti bayangan pemuda pengangguran itu.
Beberapa saat kemudian sinar terang seperti kobaran api keluar dari telapak tangan Theodoric membuat pemuda itu langsung melompat ketakutan.
"Ka-kau ... mau membakar rumah aku?" Sentak Theodoric tidak sadar meninggikan suara sembari memandangi telapak tangannya yang memancarkan api tadi.
Yatara yang berdiri meniru posisinya kini perlahan menarik diri dengan menggelengkan kepala pelan.
"Tidak mungkin, setahu aku tidak mungkin bisa." Gumamnya sendiri membuat alis Theodoric di sampingnya saling bertautan. "Apanya yang tidak mungkin?" Pemuda itu bertanya sembari melangkah mendekat ke lemari, membuka singlet lusuhnya dan melemparnya ke lantai. Kemudian membuka lemari mengambil salah satu kaos dan memakainya cepat. "Sepertinya ada yang aneh dengan kekuatanku," ujar Yatara menggerakan matanya tidak tenang.
"Kekuatan apa, sih? Jangan bicara yang tidak-tidak. Bikin orang penasaran saja," decak Theodoric menggelengkan kepala merasa heran dengan sosok di depannya yang mengaku sebagai pangeran kerajaan.
Yatara tidak menanggapi omongan Theodoric, pemuda itu lagi-lagi berdiri menghadap pintu di depannya. Mengarahkan tangan kanannya dengan memejamkan mata sesaat, memfokuskan pikiran. Perlahan ia membuka mata lalu mulai mengeluarkan kekuatannya.
Tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang keluar. Dan tidak ada gerakan yang terasa saat kekuatannya mengalir keluar pada telapak tangannya.
Yatara menghela samar, menoleh ke belakang Thedoric yang melongo di sisi ranjang. Mengamati gerak-geraknya sedari tadi.
"Sepertinya, kekuatan aku ... berpindah tangan,"
"Hah? Apanya? Pindah tangan, bagaimana?" Tanya Theodoric bingung, berdiri dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Coba kau ulurkan lagi tanganmu ke sini, jangan panik." Ujar Yatara menatap Theodoric lurus, menunjuk pintu dengan dagu.
Theodoric mengambil napas sesaat, lalu mengembuskannya samar. Kobaran api tadi masih teringat jelas yang membuatnya ingin mengurungkan niat. Namun, tatapan Yatara di sebelahnya membuat pemuda itu entah kenapa menurut saja. Seakan terbius oleh aura mahalnya sang pangeran.
"Theodoric! Sudah berapa kali ibu bilang, jangan teri––" ucapan Rania terhenti saat melihat sosok transparan di samping sang anak.
Yatara dan Theodoric saling pandang karena ibunya bisa melihat Yatara yang refleks menghilangkan diri. Lenyap begitu saja dengan cahaya kecil yang seakan terserap masuk ke dalam tubuh Theodoric.
Rania yang melihat itu makin membulatkan mata kaget, melangkah mundur dengan mulut menganga.
"Bentar, barusan itu ... apa? Kau sedang belajar main sulap ya?" Tanya Rania polos membuat putranya menggeleng cepat. "Itu tadi ... sebenarnya ..." Theodoric menggantungkan omongannya, tidak tahu juga harus menjelaskan bagaimana.
Mengatakan kalau Yatara adalah seorang pengeran dari kerajaan yang kabur ke dunia manusia. Terus bersembunyi di dalam pedangnya karena suhu tempat tinggal manusia terlalu panas. Kemudian, tidak sengaja Theodoric menemukan pedang itu dan sesuatu hal menakjubkan terjadi. Pedangnya terserap masuk ke dalam tubuh Theodoric sampai sekarang.
Pasti ibunya akan mengatainya gila.
"Theo, jangan sampai ibu tendang kau keluar ya! Jangan aneh-aneh, tadi itu apa?" Geram Rania kini berkacak pinggang, mengedarkan pandangan mencari sosok transparan tadi. "Apa tadi itu ... setan?" Lanjut Rania mengernyitkan dahi bingung, "tapi, walau sekilas ... ibu bisa melihat ... kalau setan tadi tampan." Sambung Rania menganggukan kepalanya yakin membuat Theodoric sontak melengos kasar.
Theodoric memutar mata jengah mendengar ucapan ibunya yang sempat-sempatnya memuji Yatara. "Ibu kenapa ... bisa melihat orang ini?" Tunjuk pemuda itu pada udara di sebelahnya, belum sepenuhnya sadar kalau Yatara sudah menghilang.
Rania jadi mengikuti arah tunjuk sang anak, alisnya bertautan merasa gemas dengan Theodoric yang makin sinting.
"Kau menunjuk apa? Tidak ada orang di situ," Theodoric sontak menoleh, mendelik samar melihat Yatara yang sudah tidak ada di sampingnya.
Theodoric mendekati ibunya, memegang kedua bahu sang ibu pelan dengan ekspresi serius.
"Ibu, lihat kan ... orang yang trasnparan tadi?"
"H-hm? Sepertinya iya." Jawab Rania ragu.
"Ibu masih ingat saat di rumah sakit, aku menceritakan semua kejadian yang aku alami pada dokter. Soal pedang yang aku temukan dan terserap masuk ke dalam tangan aku, masih ingat kan?" Racau Theodoric, menggerakan kedua matanya tidak tenang. "Ingat pastinya, dan dokter berspekulasi kalau kau memiliki riwayat penyakit kejiwaan." Ujar Rania kini membalas tatapan Theodoric yang menggebu-gebu.
"Oke, pedang yang masuk ke dalam tubuh aku itu adalah milik seseorang. Dan pemiliknya yaitu orang yang ibu lihat tadi, yang transparan." Jelas Theodoric yakin.
Rania mendecak samar, memukul kening anaknya pelan dengan telapak tangan membuat Theodoric mengaduh kecil sembari mengusap keningnya yang berdenyut nyeri. "Bicara apa kau, makin tidak masuk akal. Bagaimana bisa pedang masuk ke dalam tubuh kau? Emangnya itu makanan? Kalau pun makanan harusnya masuk lewat mulut turun ke kerongkongan lalu diolah sama lambung." Cerocos Rania mengomeli, "terus kau bilang pedang masuk ke tubuhmu? Sebelum masuk, harusnya kau sudah mati sekarang karena tenggorokanmu langsung terbelah." Sambung perempuan itu dengan menggeleng-gelengkan kepala heran.
"Kenapa ibu tidak bisa percaya sama aku, sih? Yang aku katakan sekarang itu benar ibu, ini semua kenyataan." Decak Theodoric frsutasi, "kalau begitu, ibu harus dengar sendiri penjelasan orang yang punya pedang." Kata pemuda itu menghela napas kasar, menjambak rambutnya kemudian mendudukan diri pada sisi kasur.
"Kau bisa kan menunjukan diri sekarang?" Kata Theodoric malas, mendengar pertanyaan anaknya, Rania jadi gugup sendiri. Takut kalau Theodoric selama ini mengikuti sekte aliran sesat. Dan bisa saja orang yang tadi sempat dilihatnya adalah iblis atau setan atau apalah itu yang datang menagih tumbal pada Theodoric.
"Kalau kau sekarang tidak menunjukan diri, aku tidak akan bisa pergi ke kerajaanmu." Ujar Theo setengah mengancam membuat Yatara terpaksa menampakan dirinya yang transparan. Rania yang melihat itu refleks membulatkan mata kaget, berulangkali mengucek-ngucek matanya berusaha memastikan kalau apa yang dia lihat sekarang adalah nyata adanya.
"Selamat malam," sapa Yatara sopan, menganggukan kepala pelan berdiri tegap di hadapan Rania kini yang sudah melongo di ambang pintu. "Saya adalah pemilik pedang yang sekarang bersemayam di dalam tubuh Theodoric, nama saya Yatara." Rania tidak terlalu mendengarkan ucapan sosok transparan di depannya, mata dan pikirannya hanya fokus pada wajah tampan Yatara yang seakan bisa membiusnya.
"Bentar, kalau kau bisa bersembunyi di dalam pedang ... kau pastinya bukan manusia, kan?" Tebak Rania memicingkan mata, "saya datang dari kerajaan Eternal Ice. Saya kabur dari sana karena satu situasi yang dimana mengharuskan saya datang ke dunia manusia." Jelas pemuda itu dengan tatapan dinginnya membuat Rania memicingkan mata masih merasa ada yang mengganjal.
"Yang dibilang anak saya benar? Kau dan pedangmu masuk ke dalam tubuhnya?" Tanya Rania berusaha memastikan, Yatara pun mengangguk mengiyakan.
"Saya tidak bisa menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi. Karena saya juga tidak paham, kenapa seorang manusia bisa bertahan sampai sekarang." Perkataan Yatara membuat Rania memgernyitkan dahi bingung, "di bangsa saya ... kalau ada kejadian seperti ini. Yang punya tubuh, pasti ... akan mati." Jelas pemuda itu dengan mengerjapkan mata samar. Tidak sadar kalau ibunya Theodoric sudah melebarkan mata kaget.
Sedangkan, Theodoric hanya diam saja. Sesekali menggerutu samar mendengar penjelasan Yatara. Ia juga mendecih pelan mendengar ibunya yang berbicara lembut pada sosok asing yang mengaku sebagai pangeran itu.
"Kalau begitu, kau harus segera keluar dari tubuhnya Theodoric. Jangan membahayakan anak saya," Rania mendekat sembari makin menatap lurus Yatara yang kini merunduk karena tubuh pendek perempuan itu.
"Itu masalahnya,"
"Loh? Kenapa itu masalahnya? Kau tidak bermaksud mengatakan, kalau kau tidak bisa keluar, kan?" Tebak Rania takut, saat Yatara menganggukan kepala membuat perempuan itu makin melebarkan mata kaget.
"Jadi, Theodoric ... akan mati?" Theodoric yang mendengar itu sontak memutar mata malas. "Ada satu cara," sahut Yatara menoleh sesaat pada Theodoric di sisi kasur. "Apa?"
"Theodoric harus pergi ke kerajaan Eternal Ice. Di sana ada seseorang yang bisa membantu menyelesaikan masalah ini," jelas Yatara yakin.
Rania terdiam beberapa saat, menipiskan bibir. "Jadi, Theodoric akan pergi ke kerajaanmu?" Yatara kembali mengiyakan. "Kalau memang itu satu-satunya cara, ya ... sudah." Theodoric mendelik mendengar ibunya yang menyutujui dengan mudah. Padahal anaknya akan dibawa ke kerajaan yang entah dimana keberadaannya Theodoric tidak tahu.
"Ibu kenapa bisa-bisanya menyetujui perkataan dia dengan segampang itu?" Kesal Theodoric sudah berdiri, menggigit rahangnya kuat.
"Tidak mudah, nak. Kalau pun ibu menolak, berarti kau akan mati." Ujar Rania menggelengkan kepala berulangkali. "Setidaknya kau harus pergi ke kerajaan anak ini, ibu di sini akan membantu dengan doa." Sambung Rania dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kapan kalian pergi ke kerajaan Eksternal itu?"
"Eternal Ice," ralat Theodoric cepat dengan ekspresi gregetnya. "Iya, itu ... kapan kalian akan berangkat ke sana?" Yatara terdiam sesaat, menjulurkan tangan ke udara menghadap jendela kamar Theodoric. "Di sini tidak bisa terbuka."
"Apanya yang terbuka?" Tanya Theo kebingungan, "pintu menuju ke sana, kita harus mencarinya." Jelas Yatara kembali mengarahkan tangannya berusaha mencari tempat yang bisa ia jadikan pintu menuju ke kerajaannya.
Yatara memperlihatkan sesuatu di depan mereka. Sebuah sekolah yang terkenal dengan murid-muridnya yang seperti preman.
"Di belakang tempat ini, kita harus ke sana. Kau tempat ini, kan?"
Theodoric mengangguk membenarkan, "itu sekolah namanya, isinya para berandalan. Kalau bisa perginya malam hari, kalau pagi atau siang pas ada muridnya. Aku tidak mau," kata pemuda itu menolak dengan tegas.
"Kenapa?"
"Karena bisa saja aku jadi bubur sebelum pergi ke tempatmu."
"Hm?"
"Anak-anak di sekolah itu akan menghajarmu kalau bertemu atau sekedar berpapasan dengan mereka. Apalagi nanti kita akan ke sekolah mereka, ngeri." Ujar Theodoric mendelik samar, mengibas-ngibaskan tangan menolak.
Yatara mengiyakan saja, walau kemudian bergumam sendiri.
"Padahal kau bisa membunuh orang dengan kekuatanku sekarang."