Semua murid berkumpul di lapangan upacara dengan memakai seragam lengkap mereka tanpa kurang satu pun. Salah satu di antara mereka, ada sosok jangkung dengan rambut panjangnya di bawah daun telinga. Seragam sekolahnya tidak terkancing satu pun, menyisakan kaos hitam polos yang menempela pada tubuh tegapnya.
Sosok itu berdiri di barisan paling akhir di barisan kelasnya, di dalam mulutnya ada permen lollipop rasa coklat yang sedari tadi ia gigit-gigit kasar sampai suaranya menganggu beberapa anak satu kelasnya.
Ketua kelasnya yang berdiri memimpin di depan, sekilas menoleh dan langsung mengalihkan pandangan saat bertatapan dengan pemuda yang dikenal pembuat onar di kelas itu.
Kepala sekolah masih menyampaikan amanat panjang lebarnya, tidak peka terhadap para murid yang sudah mengeluh panas dengan menggunakan bahasa tubuh mereka. Bergerak mengipas-ngipas leher dengan tangan, ada yang duduk karena lelah berdiri, ada juga yang sengaja berdiri mundur ke belakang agar bisa berteduh di bawah pohon.
“Sekali lagi, bapak menekankan … bagi kelas dua belas agar lebih rajin lagi belajarnya. Main-mainnya dikurangi dan jangan sampai melanggar aturan sekolah sampai harus dikeluarkan sebelum kalian ujian akhir,” kata kepala sekolah lagi masih berdiri gagah dengan microphone di depan mulut. “Satu lagi, bapak ingin kali—“ omongan kepala sekolah terhenti saat salah satu murid jatuh pingsan membuat perhatian para murid teralihkan.
Belum ada yang bergerak membantu, mungkin efek panas matahari yang terlalu menyengat. Jadi, sesaat mereka semua cuma melongo tanpa bertindak. Salah satu murid bergerak, melangkah mendekat pada salah satu murid yang pingsan. Langkahnya lebar, dengan kedua tangan yang ia masukan ke dalam masing-masing saku celana seragam. Karena kini ia sudah menampakan diri dan dilihat oleh semua murid yang sedang upacara.
Pemuda itu jadi ternotice, kalau seragamnya urakan. Dari atas kepala sampai kaki, sudah melanggar semua aturan yang sudah sekolah buat. Bisa-bisa pemuda dengan alis kirinya yang seperti terbelah itu panen poin pelanggaran hari ini.
“Ck, menyedihkan. Dia bisa seenaknya bicara panjang lebar karena teduh, sedangkan murid-muridnya dijemur seperti ikan kering.” Kata pemuda itu bergumam sendiri, membuat beberapa murid yang mendengar omongannya jadi menahan napas. “Kau … yang sedang berdiri di sana, apa yang kau gerutukan di situ?” Tanya kepala sekolah menunjuk pemuda jangkung itu— Galang. “Saya?” Tunjuknya pada diri sendiri.
“Iya, kau yang seragamnya urakan. Seperti preman saja,” pemuda yang bernama Galang itu tersenyum miring mendengar ucapan kepsek padanya. Ia pun melangkah mendekat, kini berdiri berhadapan dengan kepsek yang berada di atas podium. “Kau tahu apa kesalahanmu sekarang?” Tanya kepsek dengan berusaha menahan emosi, mukanya sudah memerah padam menatap Galang yang santai saja membalas tatapannya.
“Kau … berdiri di sebelah sini,” titah kepala sekolah menunjuk sebelah kanannya membuat Galang mengangguk saja menurut. “Jesya? Dan Elma? Coba maju ke depan juga,” lanjut kepala sekolah menyebutkan dua murid lain yang membuat para murid mengalihkan pandangan mencari dua nama yang baru saja disebut oleh kepsek.
Seorang murid perempuan melangkah maju, dari seragamnya saja sudah terlihat kalau dia adalah salah satu murid berprestasi. Rambut panjang kecokelatan yang terurai rapi, dasi di kerah seragam yang terkancing dan dimasukan ke dalam rok di atas lutut. Sepatu tali dengan kaos kaki sebetis, tidak lupa name tag kecil di saku seragam yang tertera nama Jesya Katharina di sana.
Berbanding terbalik dengan seorang gadis satunya lagi—Elma Clarissa— gadis dengan seragam yang sebelas dua belas dengan Galang Arkana. Ibaratnya Elma adalah Galang versi perempuan. Tidak ada bedanya.
Ketiga murid itu kini berdiri di hadapan semua murid Bhinneka. Guru-guru pun, tidak mengerti kenapa tiga murid yang memang paling terkenal di kalangan semua murid itu dipersatukan dan kini dijadikan bahan tontonan dan perhatian.
“Bapak harap, kalian semua bisa mencontoh Jesya Katharina … murid berprestasi yang selalu menjadi juara umum di sekolah.” Puji kepala sekolah tulus, “bukan hanya itu, Jesya selalu menjadi murid yang taat akan aturan sekolah. Selalu datang paling cepat dari murid-murid lainnya.” Lanjutnya masih mengelu-elukan Jesya yang hanya menampakan ekspresi datar, seakan sudah biasa dengan pujian semacam itu.
“Sekarang, coba kalian lihat dua murid ini!” Tunjuk kepsek pada Elma dan juga Galang yang berdiri mengapit Jesya di tengah-tengah mereka. “Satunya terkenal suka bolos, murid dengan rangking terakhir. Pernah ketahuan merokok, bahkan seragamnya sekarang tidak terkancing, bahkan masih bisa mengunyah permen di saat saya sedang bicara.” Kata kepala sekolah lagi membuat beberapa murid mentertawai Galang.
Pemuda itu biasa saja, mengorek-ngorek telinga dengan kelingking. Tidak menanggapi dan pura-pura tuli saja dengan apa yang kepala sekolah katakan. Dan sudah terbiasa dengan orang-orang yang menganggapnya sebagai bahan becandaan.
“Bapak harap, jangan sampai kalian menjadi seperti anak ini … Galang Arkana. Namanya saja seperti preman, pasti dia merasa dirinya adalah tokoh utama di film-film, makanya seenaknya melakukan apa yang dia ingin lakukan.” Kata kepala sekolah masih menjelek-jelekan pemuda itu di hadapan ratusan murid-muridnya. “Selanjutnya, kalian pasti sudah tahu tanpa saya jelaskan apa keburukan salah satu murid yang terkenal dengan masalah yang dia buat akhir-akhir ini.” Ujar kepala sekolah dengan menyindir Elma yang mendengus saja, “menjadi satu-satunya murid perempuan yang pernah ketahuan membawa rokok di sekolah. Membully teman kelasnya sendiri, dan juga pernah menyuri uang teman kelas saat jam olahraga.” Jesya yang mendengar itu memejamkan mata sesaat, berusaha sabar mendengar kepala sekolah yang terus-terusan mempermalukan Elma dan Galang di hadapan semua murid dan juga guru-guru yang hadir.
“Kalau mau sukses hidup kalian, tiru dan jadikan Jesya sebagai panutan kalian semua. Pasti masa depan kalian cerah dan jauh lebih sukses dibanding anak-anak bermasa depan suram seperti mereka berdua,” tunjuk kepala sekolah pada Elma dan Galang yang diam saja.
“Bapak kepala sekolah, masih lama ya?” Ucapan Jesya menghentikan omongan kepala sekolah membuat semua murid jadi saling pandang, kaget karena gadis itu bisa-bisanya tersenyum samar menoleh pada kepsek. “Kenapa ya, Jesya? Kau ada lomba lagi setelah ini, makanya kau ingi cepat-cepat ke kelas?” Jesya menggeleng pelan, masih dengan ekspresi santai.
“Tidak, saya hanya tidak suka mendengar bapak terus-terusan bicara.” Kata Jesya makin berani, kini menampakan ekpresi datar membuat dua orang di sisi kiri dan kanannya menatapnya aneh. “Jesya, kau sedang bercanda ya? Bapak maafkan ucapan kamu barusan karena kamu adalah murid berprestasi.” Ujar kepsek berusaha tersenyum.
Jesya menaikan alis tinggi, tersenyum miring dengan menunduk sesaat. Lalu, gadis itu mendongak lagi memandangi kepsek yang masih menatapnya bingung.
“Kenapa kalau saya yang berbuat salah selalu dimaafkan, kenapa mereka berdua tidak? Emangnya kesalahan apa yang Elma dan Galang lakukan sampai bapak kepsek membunuh karakter bapak sendiri di hadapan semua murid ini?” Kata Jesya telak membuat kepsek terdiam beberapa menit, hilang kata dengan apa yang Jesya tuturkan padanya. “Pembunuhan karakter? Bukannya sudah jelas, Elma dan Galang adalah pembuat onar di sekolah ini? Ketahuan merokok di—“
“Bukan Galang yang merokok, buktinya sudah jelas … kalau dia difitnah oleh teman kelasnya sendiri.”
“Dia selalu melanggar aturan sekolah, seragam tidak dikan—“
“Bapak sendiri yang sudah mencengkram dan menarik semua kancing seragam Galang karena emosi bapak.” Potong Jesya lagi dengan menguasai ekspresi dinginnya, “kau … sekarang sedang mencoba melawan bapak?” Jesya menggeleng dengan tersenyum sinis.
“Tidak, saya hanya memperingatkan bapak untuk tidak menyalahkan orang lain sebelum melihat kebenarannya. Padahal bapak tahu sendiri, nama Elma dan Galang jelek bermula hanya karena omong kosong anda kan, bapak kepala sekolah?”
“Jesya Katharina?!”
“Iya, ayah?” Semua melebarkan mata kaget mendengar itu, termasuk Elma dan Galang yang kini melotot pada Jesya yang menatap kepsek yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri.
“Saya ingin berusaha sendiri dengan otak, keringat dan usaha saya sendiri. Tolong, jangan menyingkirkan duri atau apapun menuju jalan masa depan aku, karena aku … tidak butuh itu.” Jesya pun melangkah pergi meninggalkan suasana hening yang canggung itu.
Elma dan Galang pun, perlahan membubarkan diri. Berjalan menuju kelas mereka masing-masing tanpa beban, seakan tidak ada yang terjadi barusan. Begitu pun dengan guru-guru, jadi membubarkan diri. Berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka dengar barusan.
**
Elma berlari kecil mengejar Jesya yang melangkah di koridor kelas. Gadis itu langsung menghadang langkah pendek Jesya, memeluk tangan di depan d**a.
“Kau sengaja melakukannya, kan?”
“Apa?” Balas Jesya tidak paham, membalas tatapan tajam Elma yang lebih tinggi darinya.
“Kau sengaja mengatakan kalau kepsek adalah ayahmu kan? Biar semua orang makin mengelu-elukan kau,” jeda Elma tersenyum sinis, “berprestasi, kaya raya, ayah seorang kepsek dan juga ketua yayasan di sekolah ini, kau … benar-benar beruntung ya?” Lanjut Elma sengaja menyindir halus.
“Jangan cari gara-gara, aku sedang tidak ingin diganggu.” Kata Jesya hendak melangkah maju, namun Elma malah menahan bahu Jesya menyuruh gadis itu diam saja. “Kau selama ini menikmati hidup seperti ini? Menjadi siswa berprestasi dengan bantuan ayahmu, bisa mendapatkan dengan mudah segala macam piagam dan penghargaan hanya dengan menyogok orang-orang yang ayahmu kenal.” Kata Elma makin menjadi-jadi, “kau jelas menikmati hidupmu yang menyedihkan ini ya, Jesya?” Sambung Elma sengaja memancing amarah Jesya—mantan sahabat— sekaligus mantan teman yang selalu ikut olimpiade dengannya—dulu.
“Hm, sangat menikmati.” Balas Jesya tegas, “kau benar-benar tidak tahu malu ya, masih bisa menampakan wajahmu yang menyebalkan itu setelah apa yang sudah kau lakukan terhadap masa depan orang lain?” Sentak Elma kini melangkah maju, menekan bahu Jesya kuat.
“Kau sendiri?”
“Apa?” Balas Elma kini menggigit rahang kuat, “berhenti menyalahkan orang lain, harusnya kau tahu … siapa penyebab utama kau jadi seperti ini.” Kata gadis itu telak membuat Elma terdiam membisu. “Yang menyebabkan kau jatuh itu kau sendiri, jangan terus-terusan menjadikan aku sebagai pelampiasan emosimu.” Lanjut Jesya berbalik pergi, langkahnya terhenti sejenak saat melihat sosok jangkung Galang yang berpapasan dengannya.
Jesya melirik Galang sekilas, gadis itu refleks mengalihkan pandangan.
Teriakan seseorang di belakang gedung sekolah membuat Jesya jadi menghentikan langkah, ia tersentak kecil saat seorang murid berlari ke depannya dan sesaat kemudian ada murid lain yang melompat dan menindih tubuh murid cewek tadi.
Jesya terdiam, memperhatikan tubuh dua murid yang masih saling menindih. Ia perlahan mendekat berusaha membantu, karena merasa ada yang aneh dengan keduanya. Jesya sudah hampir memegangi lengan murid laki-laki yang belum juga menarik diri menjauh dari murid perempuan yang ditindihnya. Tapi, gerakannya terhenti saat sebuah tangan menarik lengannya agar menjauh.
“Kena—“ omongan Jesya terpotong saat Galang di belakangnya langsung membungkam mulutnya, “ssstttt,” Galang mengisyaratkan untuk menutup mulut, karena pemuda itu memang merasa ada yang tidak beres.
Keduanya membulatkan mata kaget saat melihat dua orang di depannya kini menatap mereka dengan penampakan menyeramkan, mulut mereka penuh dengan darah dan juga bola mata mereka yang putih tanpa ada hitam di sana.
Jesya membatu kaget, saat dua murid di depannya maju dan ingin menyerangnya dan Galang. Namun, gadis itu makin tersentak saat lengannya ditarik cepat agar segera meninggalkan koridor kelas. Galang yang sedang susah payah melawan dua murid yang aneh itu berbalik pergi dan mengekori Jesya dan Elma yang berbelok ke salah satu ruangan.
Mereka masuk ke salah satu kelas, mengunci pintu cepat dengan perasaan berdebar takut karena baru pertama kali melihat teman-temannya seperti orang kesurupan.
“Kenapa mereka mau menyerang kita?” Tanya Elma panik, berbalik dan menutup semua jendela kelas yang terbuka. “Kalian lihat kan, bagaimana anak cowok tadi menggigit cewek yang ditindihnya? Darah tadi juga, kalian lihat kan?” Elma masih panik dengan kelopak matanya yang bergerak tidak tenang.
Galang mendecak saja mendengar Elma yang terus-terusan berbicara dengan panik, menggebu-gebu sampai menunjuk-nunjuk dua murid yang kini membentur-benturkan kepala mereka pada kaca jendela kelas. “Kenapa mereka berdua begitu? Kalian bisa tidak, jangan diam saja.” Decak Elma merasa kesal karena Galang dan Jesya hanya diam saja.
“Tidak, bukan hanya mereka berdua.” Gumam gadis itu dengan kelopak matanya yang bergetar.
Galang dan Elma sontak melihat ke depan lapangan sana, semua saling mengejar dengan teriakan dan suara-suara menakutkan terdengar. Bukan, hanya di lapangan tapi juga di koridor-koridor kelas dan juga di ruangan guru yang dari jauh saja mereka bisa melihat bagaimana hancurnya sekolah Bhinneka dalam beberapa menit. Serangan mendadak entah dari mana, saling membunuh dan membuat yang terbunuh terjangkit virus ingin membunuh yang lainnya lagi.
“Apa ini … yang namanya kiamat?” Gumam Elma dengan meneguk ludah kasar.
“Sepertinya akan menyenangkan,” sahut Galang malah tersenyum miring.
“Doaku benar-benar terkabul,” ujar Jesya menipiskan bibir, “doa agar sekolah hancur dalam sehari, dan semua orang mati saja.” Lanjut gadis itu antara shock dan juga gemetaran