Aidan mengerjap-ngerjapkan matanya takut, mencengkram obor yang dipegangnya. Berusaha memberanikan diri walau lutut sudah gemetaran sejak tadi. Apalagi sosok jangkung di hadapannya kini mendekat dengan mata memerah bagai darah dan sesekali terlihat seperti kobaran api.
Anak kecil itu makin meneguk ludah kasar, memejamkan mata saat sosok di depannya—Theodoric mengayunkan dua pedang tajamnya pada Aidan.
"Eh, astaga!"
Aidan langsung membuka matanya saat mendengar suara latah kaget Theodoric yang kini berdiri bersembunyi di belakang tubuh mungil Aidan. "Bagaimana bisa kau ... membunuh mereka?" Tanya Theodoric pada anak kecil yang masih shock itu. "Kau membakar mereka semua? Serius?" Tanyanya setengah tidak percaya, tapi tidak bisa menolak kebenaran karena monster-monster tadi sudah terlahap api sampai hangus dan bahkan ada yang menjadi abu.
"Ternyata anak kecil di Eternal ice pun, mampu membunuh monster hanya dengan obor." Gumam Theodoric merasa takjub sendiri, "keren, benar-benar keren! Harusnya tadi aku abadikan dengan hape." Katanya menggebu-gebu, "benar juga, hapeku kayaknya tidak ada di ransel." Tutur Theodoric heboh sendiri, Aidan yang berdiri di depannya yang menjadi saksi bagaimana pemuda itu bertransformasi sebagai sosok menakutkan membuat Aidan masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Seperti dua wujud yang berbeda. Berbanding terbalik dengan sosok yang mengayunkan pedang padanya tadi.
"Tapi,sekarang kita harus sembunyi dulu." Ajak Theodoric menarik lengan Aidan, menuntunnya ke atas batu besar di tanjakan gunung. Tempat ia bersembunyi tadi.
Aidan pasrah saja saat tangannya digandeng oleh Theodoric, dan obornya pun diambil alih oleh sosok jangkung yang baru satu hari ia kenal itu.
Saat dalam perjalanan, Theodoric merasa ada yang aneh. Sepertinya tadi ia sedang bersembunyi di balik batu besar di atas gunung sana. Kemudian ia menemukan ada sosok mungil Aidan yang berkeliaran di dalam hutan sendirian. Sesaat setelah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi.
"Apa karena stress berada di Eternal ya sampai aku bisa pelupa begini?" Gumam pemuda yang memakai hoodie putih itu bermonolog sendiri. "Terus, kenapa kau bisa main ke dalam hutan malam-malam begini?" Aidan menghela napas sesaat. "Obat yang biasa kakek minum, sudah habis. Jadi, saya datang mencari di sini." Jelas anak kecil itu jujur membuat Theodoric menggelengkan kepala heran.
"Aku pas kecil, pergi ke kamar mandi aja harus ditemani sama ibu. Ini anak, malah main ke hutan sendirian buat cari obat kakeknya."Tutur Theo jadi merutuki diri sendiri, "ternyata aku semenyedihkan itu ya?" Lanjutnya menepuk keningnya gemas.
"Eh, bentar. Kau bukannya harus cepat pulang ke rumahmu sekarang? Sebelum monster-monster itu bangun atau manggil teman-temannya." Kata pemuda itu lagi sesekali menolehkan kepala ke belakang, entah kenapa jadi ngeri sendiri kalau para monster yang tengah dilahap api itu mendadak bangun dan menyerang ia dan Aidan. Apalagi sekarang tidak ada Edgar yang bisa membantu mereka.
"Bisa kau ceritakan, bagaimana kau membunuh monster-monster tadi. Kau mengeluarkan jurus seribu bayangan seperti di naruto? Atau kekuatan es seperti elsa?" Aidan melongo saja mendengar ucapan sosok yang tinggi di sebelahnya itu. "Naruto dan Elsa berasal dari kerajaan mana?" Theodoric langsung melengos kasar, melanjutkan langkah bersama Aidan menuju desa Haba sesekali menoleh ke belakang melihat situasi. "Entah Edgar atau Yatara, kalian sama saja pertanyaannya. Setiap apa yang aku bicarakan, pasti dikaitkan dengan kerajaan atau kekuatan apalah yang kalian bilang."
Theodoric menghentikan langkahnya saat kini berdiri di atas gunung, pemuda itu mengerjap-ngerjapkan mata kaget melihat asap tebal dimana-mana di depan sana. Ia yakin kalau tempat asap-asap itu berada ialah desa Haba. Bukannya asap, ada juga kobaran api yang membuat desa Haba seperti diselimuti asap hitam tebal.
Aidan yang menyadari itu, langsung berlari cepat meninggalkan Theodoric yang nampak kaget melihat anak kecil yang berdiri di sebelahnya itu langsung melesat pergi tanpa sepatah kata.
Entah sudah berapa lama Theodoric menyusuri jalanan naik turun di atas gunung yang jalannya terhubung dengan desa Haba. Ia pun, akhirnya sampai di ujung desa. Sembari menghela napasnya yang ngos-ngosan, Theodoric mengedarkan pandangannya ke setiap sudut desa yang sudah hancur berantakan tanpa sisa.
"Ini semua ... perbuatan monster?" Ujar Theodoric dengan meneguk ludah kasar, ia semakin tidak bisa berkata-kata saat melihat Aidan yang terduduk lemas di samping tubuh kaku yang kalau tidak salah adalah tubuh Anna— adik perempuan Aidan.
Isak tangis tertahan Aidan membuat Theodoric ikut hanyut dengan kesedihan anak kecil yang seumuran dengan anak tetangganya di sebelah rumah.
Theodoric menepuk pelan bahu Aidan yang makin sesegukan dalam, air matanya pun menetes tanpa henti membuat Theodoric memilih untuk melihat situasi sekitar. Kalau terus-terusan bersama dengan Aidan, mungkin ia yang akan sesegukan dalam karena paling tidak suka dengan perasaan sesak begini. Ia sudah cukup merasakan saat kehilangan sang ayah sedari lama.
Jadi, sebisa mungkin Theodoric tidak mau kembali mengenang luka yang sama seperti saat kehilangan ayahnya sendiri.
Theodoric melebarkan mata kaget, mendengar suara menakutkan di depan sana seakan berkumpul. Ia pun, melangkah cepat berusaha mencari sumber suara berasal. Alisnya bertautan melihat para monster itu seakan mengejar sesuatu yang perlahan membuat Theodoric membatu di tempatnya bersembunyi.
"Itu kan, pintu ... " omongannya terhenti saat ia melihat monster-monster itu masuk ke dalam sana. "Bentar, kalau mereka keluar dari pintu itu ... berarti mereka ... akan ke dunia manusia? Tempat aku tinggal?" Gumam Theodoric jadi cemas sendiri, "ibu." Katanya meneguk ludah getir.
Ia melangkah gontai, memandangi pintu di depannya yang perlahan menutup sendiri. Bukan, lebih tepatnya ada yang mengendalikannya. Sesosok berjubah berdiri jauh di depan sana, baru saja mengirim para monster itu ke dunia manusia.
"Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan?" Gumam Theo makin panik, "Yatara ... apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku datang ke kerajaanmu untuk membantu, tapi sekarang bagaimana ... dunia tempat aku tinggal juga terancam sekarang." Lanjutnya bergumam sendiri, mengigit bibir bawah kasar berusaha memutar otak agar bisa mencari jalan keluar untuk situasi sekarang. "Yatara ... aku harus melakukan apa sekarang?"
"Ck, ya tuhan ... aku harus bagaimana? Tidak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah dengan keadaan. Jangankan untuk menolong orang lain, menolong diri aku sendiri ... aku tidak bisa." Ujarnya nelangsa, memejamkan mata fsrutasi sembari mengusap rambut gondorngnya ke belakang.
Theodoric tersentak kaget, saat tidak sengaja bertatapan dengan sosok berjubah merah maroon di depan sana yang baru saja mengirim semua monster seperti zombie atau pun vampire itu ke dunia manusia.
"Kau ... siapa?"
Theodoric membulatkan mata kaget melihat sosok tadi kini sudah berdiri di hadapannya, entah sejak kapan melesat datang ke depannya. "Tempatmu sepertinya bukan di sini, manusia rendahan!"
**
Virga menatap lurus sosok pemuda di hadapannya yang terasa familiar dan juga asing dalam bersamaan. Auranya seperti seorang pangeran tapi juga seperti pembuat onar yang bakalan butuh kesabaran ekstra untuk menghadapinya.
Virga bisa merasakan kehadiran sesosok manusia yang kini malah datang mengunjungi kerajaan Eternal Ice atau bisa dia terjebak di dalam sana. Entah sedang melakukan sesuatu hal yang makin buat Virga merasa penasaran.
"Kau kenapa bisa berada di sini? Tujuan kau datang ke kerajaanku apa?" Tanya sosok itu kini menatap—Theodoric dingin.
"Emangnya kau siapa, pertanyaanmu tidak harus aku jawab kan?" Balas pemuda itu santai buat Virga tersenyum miring mendengar balasannya yang terdengar berani. "Kau sama sekali tidak kenal takut. Padahal kau sedang berbicara dengan seorang raja." Virga menaikan alis tinggi saat melihat respon sosok jangkung di depannya yang seperti kaget akan perkataannya.
Seperti tidak mempercayai apa yang baru saja Virga lontarkan, "emangnya raja bisa semuda ini?" Gumam pemuda itu lagi mengernyitkan dahi bingung.
"Perasaan Yatara bilang, ayahnya seorang raja. Jadi, ini .... ayahnya Yatara?" Tunjuk Theodoric ke depan muka Virga tanpa dosa.
"Kau kenal Pangeran Yatara?" Theodoric ingin menjawab, namun mulutnya kembali merapat saat melihat Edgar kini melesat ke sampingnya. "Loh, kau juga kenal dengan pengawalnya. Ada apa ini?" Tanya Virga terkekeh pelan, menaikan alis tinggi menatap keduanya curiga.
"Kau tidak hanya menjadi pengikut penghianat pangeran Yatara, tapi kau juga membantu manusia masuk ke kerajaan?" Tuduh Virga kini makin mendekat pada dua orang itu, "kau ... benar-benar sesuatu ya, Edgar. Tidak ada hal baik yang bisa kau lakukan selain melanggar aturan kerajaan Eternal?" Lanjut Virga masih mengintoregasi pemuda yang hanya mengeraskan rahangnya kuat.
"Kau sendiri, apa yang kau lakukan sampai membuka pintu ke dunia manusia. Dan mengirim semua monster ke luar sana?" Edgar kini balik bertanya, menatap Virga tajam.
"Karena aku ingin menyelamatkan kerajaan Eternal." Jawabnya santai, "aku baru beberapa hari menjadi seorang raja. Aku tidak ingin sampai sesuatu hal menganggu rencana aku yang sudah matang," lanjutnya tersenyum, memandangi ekspresi Edgar yang mengeras. "Kau benar-benar licik, mencari kesempatan disaat yang mulia Raja Samuel sakit."
Virga menggelengkan kepala pelan, "sekarang paman Samuel sudah tidak merasakan sakit lagi." Edgar yang mendengar ucapan tidak sopan Virga yang menyebut Raja Samuel tanpa sebutan penghormatan. "Apa maksudmu?"
"Kau tidak memperhatikan sama sekali ya, para monster tadi." Tutur Virga menggelengkan kepala heran.
"Salah satu di antara mereka ada yang mulia Raja yang kau agung-agungkan itu." Edgar refleks melotot kaget dengan mulut terbuka kecil, berbeda dengan Theodoric yang diam saja karena berusaha mencerna dengan baik apa yang Edgar dan Virga perdebatkan. "Kau yakin dengan ucapanmu?" Tanya Edgar lagi mengeraskan rahang.
"Hm, penyakit aneh yang dia derita itu berujung menjadikan dia seperti seorang monster. Dan menyerang orang-orang sampai mengisap darah mereka habis,"
"Jaga bicaramu, Virga."
"Kau juga harus jaga bicaramu, aku ini sekarang adalah seorang raja. Kau mengerti?" Balas Virga membentak, tidak sadar meninggikan suara.
"Jadi, maksudmu ... salah satu monster tadi adalah ayahku?" Edgar yang mendengar itu jadi menaikan alisnya tinggi, begitu pun dengan Virga yang kini tersentak kaget saat pemuda tadi melangkah mendekat dan menatapnya tajam. "Katakan yang sebenarnya, apa yang sudah kau lakukan?"
"Yang aku lakukan? Tidak ada." Balas Virga santai, kemudian mengeryitkan dahi sesaat. Baru sadar tadi mendengar sesuatu yang seharusnya tidak dia dengar. "Tapi, kau ... anak muda. Kenapa kau menyebut yang mulia raja dengan sebutan ayah?" Theodoric tersentak, mengerjap-ngerjapkan mata tersadar dengan menepuk kedua pipinya pelan.
"Aku juga tidak ta–– eh?" Theodoric memekik kaget saat tubuhnya tertarik begitu saja, dengan pintu menuju dunia manusia kembali terbuka.
Edgar dan Virga kompak mengernyitkan dahi melihat apa yang baru saja pemuda itu lakukan.
"Edgar, apa kau sadar?"
Edgar tidak menanggapi pertanyaan Virga di sampingnya, "kenapa anak itu bertingkah seperti Yatara. Tidak masuk akal kan, kalau satu tubuh memiliki dua jiwa?" Tutur Virga telak membuat Edgar merapatkan bibir, tidak bisa mengelak dan mengatakan sepatah kata lagi. Karena ia juga bingung, kenapa Theodoric bisa membuka pintu yang hanya bisa dilakukan oleh Pangeran Yatara dan juga beberapa anggota kerajaan lainnya.