Pertemuan Kembali

1600 Kata
Aku masih tertegun memandangi Ayahanda, ketika suara seorang pria memecah keheningan di antara kami. "Putra Mahkota Anggoro Widjojo, menghadap prabu Rakai Hanggara!" ucap pengawal. Aku menoleh, memandang ke arah masuk, bersamaan dengan Romo. Seorang pria dengan dandanan yang hampir mirip dengan Romo, memasuki ruangan. Spontan aku memekik, "Om Gie!" Namun, pria yang benar-benar mirip dengan Om Gie itu hanya tersenyum sekilas, kemudian berlutut dan menangkupkan tangan di atas kepala, membentuk gerakan menyembah pada Romo. "Anggoro memberi salam pada Ayahanda prabu," ucapnya, mengacuhkanku. "Putraku, bangkitlah," jawab Romo Prabu. "Sendiko Dhawuh," jawab Paman Gie, kemudian berdiri tegak. "Ampuni hamba yang terlambat datang, Ayahanda." "Tidak perlu minta maaf, Anggoro. Romo tahu kau punya banyak tugas di luar sana. Namun begitu, acara malam ini begitu penting, sehingga Romo harap kau bisa hadir di sini," ujar Ayahanda. "Sendiko Dhawuh." "Baiklah, semua sudah lengkap. Mari kita menuju aula utama, dampingi adikmu. Jangan biarkan dia kabur lagi, dan membuat masalah," pesan Romo pada Om Gie. "Baik Paduka ayahanda. Akan kuikat Anindita malam ini, sebelum dia diserahkan pada Erlangga," jawab Om Gie yang kemudian menghampiriku, lantas menggenggam pergelangan tanganku. Oh my God! Sandiwara apa lagi ini? "Om Gie! Romo! Kalian sudah gila atau bagaimana? Apa-apaan ini!" ujarku memberontak. "Diamlah Adinda," pinta Om Gie. "Kakakmu ini tidak akan menyakitimu, hanya memastikan kamu tidak menyelinap kabur lagi. Bisa-bisa Erlangga menyerang kerjaan kita jika hal itu sampai terjadi," ujar Om Gie. "Om Gie ngomong apaan sih? Om, aku ini keponakanmu, bukan adikmu!" sergahku lagi. "Putri Anindita! Tutup mulutmu sejenak. Jangan sampai acara malam ini kacau gara-gara kamu. Atau, kau tidak akan melihat Gending lagi untuk selamanya!" ancam Ayahanda Prabu Rakai Hanggara. Aku pun terdiam, mesti tidak tahu Gending itu siapa. Mungkin itu pelayan, atau entahlah. Namun yang jelas, aku tidak akan membahayakan siapapun. "Baik, maaf," jawabku kalem. "Nah, sebaiknya kau menurut begitu Andinda," timpal Om Gie dengan menyebalkan. Kenapa dia ikut-ikutan jadi aneh begini sih. "Ya sudah, ayo kita ke aula!" tukas Ayahanda prabu, berjalan mendahului kami menuju gerbang yang dibuka oleh pengawal. Om Gie mendekatkan kepalanya padaku. "Sudah, nurut saja cah ayu. Kasihan Ayahanda, pusing lihat tingkahmu," bisiknya dengan setengah mengejek "Om Gie! Serius ada apa ini?" balasku membisik. Saat pengawal mengumumkan kedatangan kami. Om Gie menoleh. "Aku Kakangmu, kenapa memanggilku begitu? Kanda Anggoro," koreksinya, masih dengan berbisik. "Serahlah!" balasku sebal. Sekarang, mataku tertuju pada ruangan besar yang disebut aula utama. Amazing! Aku terkesima pada ruangan besar yang terbangun dari batuan kuno ini, berlangit-langit tinggi dengan ornamen pahatan relief yang rumit dan klasik. "Keren!" bisikku tanpa sadar. Api menjilat-jilat memancarkan cahaya penerangan dari ujung Obor-obor yang ditempatkan dengan sangat strategis. Di kejauhan, tampak panggung berundak dengan tahta kursi sewarna emas yang megah. Aku yakin itu adalah kursi ayahanda prabu. Sementara itu, di kiri kanan kami, berjajar orang-orang dengan pakaian seperti ayah, berdiri memberi hormat dengan sedikit membungkuk, dan menundukkan kepala. Mereka berdiri di atas tatakan seperti bantal yang terdalam indah. Sementara itu, orang-orang di belakangnya yang berpakaian lebih sederhana, bersujud tanpa sedikitpun berani menatap kami. Kain yang dihamparkan sebagai alas untukku berjalan, seperti permadani halus yang sangat hangat dan empuk. Permadani ini terhampar di seluruh ruangan, dengan ornamen yang disulam. Sangat indah. Ayahanda menapaki undakan menuju panggung, aku dan Om Gie berjalan pelan di belakangnya. Ayahanda telah menempati kursi tahta. Sementara itu Om Gie setengah menyeretku untuk duduk di sebelah kaki Ayandanda. Di situ ada seperti bantal empuk besar dan lebar, lebih mirip kasur sih, tapi kecil, cukup untuk aku dan Om Gie duudk bersimpuh. Astaga, gimana duduknya? Sementara lain jarik ini begitu ketat melilit tubuhku, belum juga selendang dan segala macam asessories yang bergemerincing ini. "Anindita, bersimpuh," bisik Om Gie, yang kemudian membantuku duduk dengan melipat kaki ke belakang. "Astaga, Om, susah," kataku, sembari meringis. Enak Om Gie cowok, jariknya lebar dan bisa duduk bersila. "Sudah jangan banyak membantah," bisiknya seraya mencubit punggung tanganku. Persis ketika aku kebanyakan omong, biasanya. "Yang Mulia Gusti Prabu Rakai Hanggara, Gusti Putra Mahkota Anggoro Widjojo, dan Gusti Putri Anindita Nirwasita, telah menempati tahta. Hadirin dipersilakan duduk kembali," ujar pengawal atau entah siapa itu, memberi pengumuman. Aneh, dia tidak pakai microfon, tapi suaranya jelas dan menggelegar di seluruh ruangan. Hmm, seperti ya ruanganini memang didesain untuk bersuara keras. Para hadirin, yang tadi berdiri menyambut kami, kembali duduk. Saat itulah, tatapan mataku bersirobok dengan sepasang mata milik cowok sandal Swellew. Penampakannya terlihat begitu berbeda dalam busana adat ini. Rambutnya yang panjang sebahu dikuncir ke belakang, d**a bidangnya terbuka, memamerkan otot-otot kekar yang terlatih. Ah, apa yang kupandangi barusan? Mataku spontan kembali ke atas, menemukan sepasang mata yang menyipit itu. Satu sudut bibirnya terangkat, memberikan senyuman sinis padaku. Sialan! Ingin rasanya mencakar muka yang menyebalkan itu. "Hadirin sekalian!" Suara Ayahanda akhirnya mengalihkan perhatianku. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, termasuk juga semua sandiwara ini. Namun untuk saat ini perhatianku hanya tertuju pada Romo yang sedang berbicara. " ... para menteri, hulubalang, dan kerabat Kerajaan Jayawangsa. Terima kasih atas kehadiran kalian semua. Seperti yang sudah kalian ketahui, bahwa malam ini kita kedatangan tamu istimewa." Ayahanda berhenti, kemudian memberikan isyarat dengan tangan menunjuk si sandal Swellew. "Putra Mahkota, calon Raja Erlangga, telah hadir di antara kita," lanjutnya. Kemudian, si cowok sandal Swellew itu pun berdiri dan memberi hormat dengan takzim. "Heleh, sok ngartis," cibirku. Om Gie menoleh, lantas memberi isyarat padaku untuk menutup mulut, dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Aku pun menurut. "Kemari lah Yang Mulia Erlangga," kata Ayahanda Prabu. Si sandal Swellew itu perlahan maju, kemudian berdiri di sisi kanan ayahanda. Hanya selangkah lagi, aku bisa meraihnya dan menonjok mukanya. Namun, kegeraman ini kutahan dengan cara mengepalkan tangan. "Hadirin sekalian, malam ini, secara resmi aku umumkan, pernikahan Erlangga dengan putriku Anindita. Yang akan dilaksanakan besok malam, sesuai dengan perhitungan yang terbaik untuk kerajaan kita," kata ayahanda dengan lantang. Tepukan riuh menggema di seluruh ruangan itu, justru menjadi suara yang mampu menghipnotis ku. Sampai-sampai aku tidak sadar saat Om Gie tengah berdiri, dan kemudian dia mengangkat bahuku, agar aku juga ikut berdiri. "Kemari lah putriku," panggil Yang Mulia Prabu, seraya mengulurkan tangannya. Entah bagaimana, aku pun menyambut uluran tangan ayah, dan menggenggamnya seerat mungkin. Jika ini mimpi, aku tidak ingin mimpi ini berakhir. Aku ingin hangat genggaman ayah, tak pernah terlepas lagi. Aku rela jika harus terus hidup dalam mimpi, asalkan bisa bersama ayah lagi. Aku menyesal dulu telah menentangnya dan pergi ke luar negeri. Mungkin Tuhan memberiku sedikit belas kasihan, sehingga aku bisa bersama ayah kembali. Kali ini, aku janji tidak akan pernah meninggalkannya atau melanggar perintahnya. Ayah berdiri di antara aku dan Sandal Swellew. Dia menggenggam tanganku dengan tangan kanannya, dan kemudian merangkul ku hangat. Namun, sejurus kemudian, dia menyerahkan tanganku pada cowok sandal Swellew itu. Erlangga menatapku, kemudian menatap ayah. "Kuserahkan putriku padamu, Erlangga. Jaga dia baik-baik," kata Ayahanda. Tanganku masih menggenggam erat tangan Ayah, enggan untuk melepas. "Baik Yang Mulia Prabu. Saya berjanji akan menjaganya baik-baik," jawab sandal Swellew. "Anindita, mulai saat ini, kau adalah calon istri Erlangga. Romo harap, kau bisa melaksanakan tugasmu demi kejayaan kerajaan kita," ujar Ayahanda. Aku menggeleng, "Dita hanya ingin sama Romo, tidak mau sama dia." Romo menatapku lekat-lekat, beliau tidak tampak marah. Namun terlihat jelas rahangnya mengeras. Sama seperti saat aku membantahnya dulu. "Dita ..." panggilnya tegas. Aku pun tersadar, bahwa kami sedang berada di atas panggung, dan semua melihat. Terutama cowok sandal Swellew yang mukanya sangat menyebalkan itu. "Ampun Romo," kataku pelan. Akhirnya aku pun menunduk. "Baiklah, Romo tahu kau sangat menyayangi Romo. Karena itulah, terimalah Erlangga demi Romo," ujarnya lagi. "Baik," jawabku singkat. Saat itulah genggaman tanganku pada Romo mengendur. Kemudian, tanpa melihat, bisa kurasakan tangan Romo mengulurkan tanganku ke arah Erlangga. Dalam hitungan detik, ada tangan lain yang menangkup punggung tanganku, bersamaan dengan terlepasnya tangan Romo. Aku seperti boneka yang berada di ujung tali kekang. Hanya menurut saat Erlangga menuntunku, berjalan mendekat ke sampingnya. Kemudian, dia merangkul pundaku, dan memposisikan kami berdua di hadapan ayah. Ayahanda duduk di tahtanya. Sementara itu Erlangga membimbingku untuk bersama-sama berlutut di hadapan beliau. Dia memberi isyarat padaku, agar memberikan sembah sungkem pada Ayahku. Air mataku meleleh, entahlah, seolah semua ini sangat menyakitkan. "Kurestui kalian berdua. Putra putriku," kata Ayahanda. "Anindita," panggil beliau. Aku pun mendongak. "Romo tahu jika semuanya terlalu mendadak, tapi Romo mohon, agar kamu bisa mengerti." Aku memgangguk. "Pernikahan kalian akan dilaksanakan besok malam, jadi kalian bisa meninggalkan perjamuan ini lebih awal." Kata Ayahanda. "Baik, Yang Mulia," ujar Erlangga mewakiliku. Kami kembali berdiri, kemudian Erlangga lagi-lagi membimbingku untuk mundur, dan kemudian menuruni tangga. Sorak Sorai hadirin yang ada di situ, beserta ucapan selamat, riuh kudengar dari kanan kiri. Namun, mataku hanya bisa memandangi hamparan permadani, sembari memikirkan semua yang sedang terjadi. Mimpikah ini? "Adinda," panggilan dari suara si sandal Swellew membuatku tersadar. Kami telah melewati gerbang aula besar dan berada di ruangan lain. Bukan ruang perjamuan, tempat aku masuk tadi. Namun ruangan lain yang lebih kecil. "Tolong jelaskan padaku, ada apa ini!" sergahku pada si sandal Swellew. "Tenanglah, Putri. Jangan marah-marah dulu. Duduklah," ujar si Erlangga santai. Dia menghampiri satu bantal panjang dan duduk di sana. "Aku tidak punya waktu untuk semua omong kosong ini! Aku ada di mana? Kenapa semuanya seperti ini?" tanyaku kesal, sembari mengangkat jarik agar lebih mudah berjalan mendekatinya. Erlangga menatapku tajam. Dia bergeming, tapi satu alisnya terangkat. "Duduklah dulu, kita bicara," ujarnya. "Oke!" jawabku sembari kembali mengangkat kain jarik dan duduk bersila di hadapannya. Mata Erlangga sekilas menatap kakiku, lantas kembali menatapku. Barulah aku menyadari jika betisku terlihat, karena posisi duduk bersila dan kain jarikku tersingkap. Segera saja aku perbaiki posisi dudukku, bersimpuh, meski tidak nyaman. Bisa kulihat bibirnya tersenyum singkat. "Bicara! Sekarang!" pintaku, kesal. Spontan senyuman Erlangga menghilang, seiring tatapan mata tajamnya menusuk lurus ke arah mataku. "Baiklah, dengarkan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN