"Entah kau percaya atau tidak, tapi semua yang kau alami ini nyata. Termasuk juga apa yang kau alami kemarin di dimensi yang berbeda," ujar Erlangga.
"Aku tidak mengerti," ujarku setengah tertawa.
"Kau ingat, ayahmu sudah dikabarkan meninggal bukan?" ujarnya lagi.
Aku terhenyak. "Bagaimana kau tahu?" tanyaku penasaran. Aku yakin tidak pernah memberitahunya perihal kematian ayahku saat kami bertemu di lesehan itu.
Erlangga tersenyum. "Tapi di dimensi ini, Ayahmu masih hidup," lanjutnya.
"Maksudmu?" tanyaku lagi.
"Sudah kubilang, kita sedang berada di dimensi yang berbeda dengan kemarin, sirkel orang-orangnya akan sama, kecuali ..." dia berhenti bicara, dan hanya menatapku.
"Aku tidak mengerti yang kau bicarakan!" sergahku.
"Kau pernah mendengar tentang relativitas?" tanyanya tiba-tiba.
"Ya tentu saja, aku bukan orang udik yang tidak mengenal Einstein," balasku kesal.
"Hmm, baiklah. Kalau begitu kau tentu menyadari ada berbagai relativitas di Dunia, termasuk juga terhadap dimensi ruang dan waktu." Dia berhenti menjelaskan.
"Ya, ya lantas?"
"Kau tentu juga pernah mendengar tentang benua Atlantis yang hilang?" lanjutnya.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Apa maksudmu? Apakah kau mata-mata yang dikirim tim ekspedisi lain untuk mengorek informasi tentang penelitian kami bersama profesor Zaveer?"
Pria itu tiba-tiba tergelak. Matanya yang memicing semakin membentuk garis lurus saat tertawa. "Tidak, tidak, Anindita. Aku tidak tertarik pada penelitian bodohmu dengan tim mu itu. Karena," dia berhenti tertawa dan kembali menatapku lekat-lekat," karena aku adalah salah satu penghuni benua yang hilang itu."
Sekarang ganti aku yang tertawa. "Apa kamu bilang? Sungguh, kamu terlihat waras, tapi .. hahaha, kau bilang, kau adalah penghuni Atlantis? Hahahaa omong kosong apalagi ini?" kataku sembari menahan sakit perut. Erlangga bercanda, sangat lucu.
"Anindita, aku tidak sedang bercanda," jawabnya serius.
"Sudahlah, aku tidak peduli dengan omong kosong mu. Semua ini pasti mimpi. Aku akan terbangun nanti dan mendapati semuanya kembali normal," kataku, sembari berusaha menahan tawa sampai air mataku keluar.
"Lagi pula, mimpi ini tidak terlalu buruk. Aku bisa bertemu ayahku, dan menikmati fasilitas sebagai putri raja. Yah, itung-itung liburan setelah sekian lama berkutat dengan penelitian," kataku lagi.
"Aku tidak sedang bercanda, Anindita," ujarnya lagi, dengan intonasi sedikit marah.
"Terserah. Kau sangat tidak masuk akal. Gusti Pangeran Erlangga," cemoohku. "Dan aku memilih untuk mempercayai bahwa semua ini mimpi. Mimpi yang cukup menyenangkan, sebelum kamu merusaknya!" bantahku balik.
Tanpa kuduga, Erlangga merangsek maju dan satu tangannya mencengkeram lengan atasku.
"Kau!"
Aku tidak berhasil mengelak, karena dia terlalu cepat. Pun juga, keseimbangan tubuhku tidak terlalu bagus saat mendapat serangan tiba-tiba.
Tanpa bisa dicegah, tubuhku setengah terhempas ke belakang, sehingga segera kuraih bahu Erlangga sebagai pegangan. Satu lengannya meraih pinggangku, mencegah punggungku jatuh menghantam lantai.
"Sekali lagi kukatakan, aku tidak bercanda, Gusti Putri Anindita," balasnya, mencemooh. Dengan jarak yang begitu dekat, bisa kurasakan embusan napasnya yang memburu. Terlihat jelas kalau dia benar-benar sedang berusaha keras melakukan pengendalian amarah yang begitu besar.
Aku tertegun menatapnya, tanpa sadar bahwa posisi kami sangat tidak pantas.
"Ini bukan mimpi," ujarnya lagi, kali ini dengan suara yang berat.
"Buktikan padaku," tantangku tanpa sadar.
Satu alisnya terangkat, bersamaan dengan bibirnya yang membentuk senyuman sinis. Tatapannya begitu mengerikan, seperti hendak menerkam ku hidup-hidup. Lantas sedetik kemudian tangan yang mencengkeram lenganku, berpindah menekan belakang kepalaku.
Mendadak aku merasa sedang berada dalam posisi terancam saat Erlangga mengeratkan pelukannya dan menghapuskan jarak di antara kami.
Bibirnya mendekat ke telingaku sembari berbisik, "akan kuberikan satu bukti untuk membuatmu yakin, Anindita!"
Aku hendak membantah, tapi dia lebih cepat. Bibirnya membungkam mulutku.
Alih-alih meronta, justru mataku terpejam, seolah seluruh napasku tersedot olehnya. Paru-paruku mendadak kosong, dan membuat kepalaku pening. Pusing yang teramat sangat, sehingga membuatku tak mampu lagi menguasai diri.
Semuanya menjadi gelap.
Dalam pikiran, aku merasa sedang melihat kilasan adegan, yang begitu cepat berjalan mundur. Seperti menonton projeksi film yang diputar di layar. Mulai dari ciuman Erlangga tadi, mundur ke adegan kami bertengkar, kemudian saat kami berjalan di aula, dan semakin cepat hingga adegan saat aku dibekap oleh saputangan.
Aku melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi setelah pembekapan itu. Erlangga memasukkan tubuhku yang pingsan itu ke mobilnya, kemudian dia menyetir dan membawaku ke sebuah bangunan yang tampak seperti museum.
Sepertinya aku pernah melihat tempat itu, atau pernah melewatinya. Namun aku lupa di mana. Mobil yang membawaku dan Erlangga diparkirkan di satu tempat tersembunyi. Kemudian ada beberapa orang yang sudah siap menyambut, aku tidak mengenali mereka.
"Silakan Yang Mulia," ujar salah satunya, sembari membukakan pintu mobil.
Erlangga tidak menjawab, tapi langsung turun dan kemudian membopongku masuk melewati gerbang kayu berukir gebyok jati.
Kami melewati lorong-lorong panjang dan sempit, seperti tangga spiral ke bawah tanah, yang akhirnya sampai di depan gerbang Gebyok jati yang sama.
Orang yang tadi, membukakan pintu, dan memberi tanda Erlangga untuk masuk.
"Kunci, dan tinggalkan kami," kata Erlangga pada orang itu, sebelum masuk.
"Baik Yang Mulia," jawab orang itu tanpa membantah. Orang yang tadi mengawal Erlangga tidak ikut masuk, mereka hanya berjaga di luar, seolah sudah mengerti tugasnya.
Erlangga membawaku masuk di sebuah ruang kosong yang cukup lebar. Hanya ada penerangan dari satu lampu di sana. Kemudian, Erlangga menempatkan tubuhku yang masih belum sadar ke lantai, sementara dia duduk bersila. Tangannya mengeluarkan medali berbentuk pipih, mirip tanah liat dari balik bajunya, dan kemudian melemparkan medali itu ke udara.
Sedetik kemudian, medali pipih itu melayang, dan berputar seperti cakram gasing di udara. Suasana di dalam ruangan itu berpendar, seiring dengan udara yang berpikir seperti angin p****g beliung, melingkupi kami berdua.
"Baiklah, Putri. Kita pergi ke masa terakhir Ayahandamu masih bernyawa," ujar Erlangga, yang kemudian diikuti suara dentuman keras dari satu-satunya bohlam yang meledak di ruangan itu.
Cakram medali itu masih berputar, tapi pinggirannya terkikis sedikit demi sedikit. Seiring waktu berjalan, angin yang melingkupi kami berputar semakin cepat, hingga akhirnya seperti sebuah selubung angin tercipta, membumbung tinggi ke langit-langit.
Batu yang menjadi batasan, seperti terlubangi, dan tampak langit biru di atasnya. Erlangga bergeming, memegangi tanganku, saat kami berdua perlahan terangkat dari lantai, seolah tersedot menuju lubang di atas itu.
Tepat saat cakram medali itu habis, kami berdua seperti tertarik dengan sangat kuat, melesat cepat melewati lubang itu. Sampai-sampai Erlangga memelukku begitu erat, hingga akhirnya angin kencang itu memilin kami dan membuat keadaan sekitar tak lagi tampak sama.
Dinding-dinding batu di sekitar kami berubah menjadi hutan, dan tubuhku terhempas di atas tanah. Sementara Erlangga terlempar sedikit jauh.
Saat itulah adegan yang kulihat itu semakin cepat bergulir, Erlangga membawaku masuk ke sebuah istana, dan akhirnya aku terbangun di dalam kamar putri raja. Semuanya makin cepat, sama seperti yang kualami tadi. Hingga akhirnya mataku terbuka.
Melihat wajah Erlangga begitu dekat, hingga dahi kami bersentuhan, aku pun terkejut. Kudorong dia, hingga menjauh. Masih terasa di bibirku rasa hangat yang berangsur dingin terkena udara. Dengan terengah-engah aku rakus menghirup oksigen, yang seolah terlalu lama meninggalkan paru-paru. Hingga akhirnya aku terbatuk-batuk.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Erlangga, sembari kembali mendekat. Tanpa canggung dia membantuku duduk berselonjor. Tangannya masih di punggungku, menopang tubuhku yang terguncang-guncang karena batuk dan syok sekaligus.
"Apa, uhuk! Apa itu tadi! Uhuk-uhuk!" ujarku dengan tersengal-sengal. Persis seperti orang yang baru diselamatkan dari hampir tenggelam.
"Tenanglah," ujar Erlangga dengan nada lebih lembut. Kurasakan elusan halus di punggungku.
"Pelayan! Ambilkan minum!" teriaknya kemudian ke arah pintu.
Tidak sampai semenit, dua emban masuk, membawakan nampan, berisi kendi kuno dan gelas dari tanah liat di atasnya.
"Cepat!" ujar Erlangga.
Kedua emban itu bergerak cekatan meletakkan kendi itu di dekat kami, menuangkan air dan kemudian Erlangga merubah posisi duduknya berada di belakangku. Sekarang aku bersandar padanya, sembari dia memberiku minum.
"Pelan-pelan," katanya lagi.
Aku sudah berhasil mengatur napas, kemudian menyeruput air dari gelas. Rasanya manis dan segar, aku yakin itu bukan air biasa. Seperti, air kelapa muda.
"Sudah?" tanya Erlangga begitu aku selesai menandaskan isi gelas.
Aku mengangguk.
Dia memberikan gelas itu pada pelayan, dan kemudian memberi isyarat pada mereka untuk pergi.
Begitu pintu tertutup kembali, keheningan masih menyelimuti kami.
Aku sibuk memikirkan apa yang baru saja terjadi, saat Erlangga membuka suara.
"Sekarang kau percaya padaku?" tanyanya.
"Apa itu tadi?" aku balik bertanya, menolak untuk menjawab pertanyaan Erlangga.
"Sharing informasi," jawabnya singkat.
Aku tidak tahu harus menimpali apa, jadi aku hanya diam.
"Sekarang kau percaya padaku?" ulangnya lagi.
"Entahlah," jawabku jujur. Sungguh, aku masih syok. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya jika ciuman bisa menjadi alat sharing informasi? Hah? Masuk akalkah itu?
Tidak, tidak!
"Ini pasti hanya mimpi!" teriakku lagi.
"Anindita ..."
"Lepaskan aku! Kamu b******n! Lepaaasss!" Aku meronta sekuat tenaga. Kemudian segera berdiri dan berlari keluar ruangan itu.
"Gusti Putri! Tunggu!"
Tak kuhiraukan panggilan Erlangga, dan dua emban yang berdiri di belakang pintu.
Aku terus berlari tanpa tujuan. Yang jelas aku tidak ingin satu ruangan dengan orang itu. Tidak, tidak, akan. Aku tidak bisa mempercayai ini semua.
Ini semua mimpi, ini semua mimpi! Aku meyakinkan diri sembari berlari melewati lorong-lorong yang dijaga pengawal.
Masih terdengar derap langkah yang mengejarku. Saat menoleh, sebuah tangan kekar meraih pergelangan tanganku, membuatku berhenti mendadak dan terpelanting ke arah orang itu.
"Anindita, tenanglah," ujar Erlangga, yang ternyata dengan mudah bisa menangkap ku.
"Gusti Putri, Gusti Pangeran," sapa para pengawal yang kemudian membuat sikap berlutut dan menundukkan kepala.
"Lepaskan aku!" kataku kesal.
"Tidak, kau tidak akan bisa kabur dariku," ujarnya. Tangannya masih mencengkeram lenganku.
"Lepaskan aku! Erlangga!" Aku meronta dan kemudian menggigit tangannya.
"Arrrggh!" Erlangga berteriak kemudian melepas pegangannya.
Saat itulah aku kembali berlari dan terlihat ada pintu samping yang terbuka. Segera aku berlari menuju pintu itu, sebelum akhirnya Erlangga berteriak.
"Jangan biarkan putri kabur!"
Aku lebih cepat melesat, melewati Cegatan tombak para pengawal. Jarik yang kukenakan sudah tidak berbentuk rapi lagi, jauh lebih longgar dan memudahkan ku untuk berlari.
Keluar dari bangunan itu, aku sampai di sebuah tanah lapang. Keadaan gelap dan semak-semak tanaman di luar, seolah menjadi penyelamat agar aku tidak begitu terlihat oleh mereka.
Tanpa pikir panjang, aku bersembunyi dibalik semak yang cukup tinggi. Mengatur napas sambil mengamati.
Para pengawal itu masuk kembali kebangunan, kemudian keluar sembari membawa obor untuk penerangan.
Tidak berapa lama, terlihat Erlangga berada di luar. Aku bergeming, berharap dia tidak bisa menemukanku. Namun, sepertinya aku salah.