Gusti Putri

1660 Kata
"... segeralah bersiap ... acara ... dimulai ..." "Saya akan membangunkannya..." Samar terdengar suara-suara bersahutan. Walau begitu, mataku masih saja lengket. Seolah-olah kelopak mata yang menutup ini berbobot sekian kwintal. Hanya kilasan cahaya yang gelap dan terang melintas bergantian. Syukurlah kepalaku tidak lagi pusing, meski masih bingung dengan orientasi posisi. Sementara itu, tubuhku terasa melekat dengan alas tempat berbaring. Kembali aku menajamkan pendengaran, berharap ada satu kalimat lengkap yang bisa kumengerti. Kendati ingatan tentang peristiwa terakhir yang terekam di ingatan, tidak lebih dari pembekapan oleh Erlangga sandal Swallew. Sialan! "Gusti Puteri, bangun! Gusti Putri, hamba mohon, bangunlah." Suara seorang wanita di dekatku. Tubuhku diguncang beberapa kali. Aku berusaha membuka mata, juga mulut untuk bicara. "Hmmmm," tapi hanya itu yang keluar. "Gusti Putri, kita tidak punya banyak waktu, hamba mohon bangunlah," pintanya. Sekali lagi aku berusaha membuka mata, Yap perlahan-lahan. Masih memicing, mataku beradaptasi dengan sorot cahaya yang membuat silau. "Gusti putri, bangun Nggih. Anda harus siap tepat waktu." Suara itu tidak berhenti menggangguku. "Hmm, tutup jendelanya," pintaku akhirnya. Tampak bayangan samar saat seseorang meninggalkanku dan menuju satu tempat. Lantas, sekelilingku yang tadinya terang benderang menjadi temaram. Sekarang, aku bisa melihat dengan jelas semuanya. Langit-langit tinggi dari batu? Obor yang menempel di dinding batu? Batu? Kenapa semuanya dari batu? Astaga, di mana aku? Seketika itu aku buru-buru bangkit dari posisi berbaring, lalu duduk. "Sembah Gusti putri, sudah bangun," kata perempuan yang ocehannya selalu terdengar sedari tadi. Dia bersimpuh di sisi tempat tidurku yang terbuat dari kayu. Bajunya sungguh seperti hanya kain batik jarik, yang dililitkan sebatas d**a lalu ditutup dengan semacam stagen. Satu perempuan lagi dengan baju sejenis terlihat berlalu lalang mempersiapkan segala sesuatu di meja. Aku mengacuhkan keduanya dan memandangi sekeliling. Ruang kamar yang sangat luas. Mungkin sebesar empat kali lipat kamarku di rumah. Dekorasi interiornya benar-benar kuno, seolah aku sedang berada di dalam candi kerjaan kuno. Tempat tidur yang sedang kududuki berukuran cukup besar. Terbuat dari kayu jati yang diukir. Lemari, meja rias, semua brang di kamar ini terbuat dari kayu jati. "Mari, Gusti Putri, lekas bangun. Hamba bantu untuk bersiap-siap," ujar perempuan pelayan itu sembari bangkit mendekatiku. Aku masih kebingungan dengan keadaan ini. Pakaian yang kukenakan masih jeans dan kemeja flanel seperti semula. Ah, aneh benar. Bagaimana aku bisa sampai di sini? "Hamba mohon Gusti putri, cepatlah. Gusti Prabu akan sangat marah jika kita terlambat," kata perempuan yang lain lagi. Aku benar-benar bingung. "Gusti Prabu? Siapa Gusti Prabu itu?" "Gusti Putri, hamba mohon jangan begini. Semuanya sudah disiapkan oleh Gusti Prabu, sebelum Gusti putri melarikan diri. Untunglah Gusti pangeran menemukan Gusti putri dalam keadaan tidak kekurangan suatu apa pun. Tapi, kelihatannya benturan di kepala Gusti putri cukup parah, sampai lupa pada Gusti prabu, huu huu huuu," ujar perempuan yang berada di sebelahku, sembari menangis tersedu-sedu. "Gusti putri lupa dengan Gusti Prabu, apalagi dengan hamba yang tidak berharga ini," ujar yang satunya. "Apa maksud kalian?" teriakku spontan. Aku sungguh tidak mengerti. "Aku ada di mana?" "Huuuuu, Gusti Putri tidak ingat sama kita," kata salah seorang perempuan yang lebih tua. "Sebaiknya beritahu Emban Sepuh, kita harus bagaimana?" "I-iya," jawab perempuan yang lebih muda. Kemudian dia pergi ke luar kamar, melewati pintu kayu besar. "Mari Gusti Putri," kata perempuan yang masih tersisa di dalam kamar. "Saya bantu membersihkan diri. Air hangat sudah siap, di pancuran. Kita harus bergegas." Mendengar kelembutan ajakan perempuan itu, aku pun luluh dan menurut. Jujur saja, aku masih bingung dengan keadaan yang serba aneh ini. Tapi, aku bisa apa? Mau teriak seperti orang gila, atau melarikan diri dari sini? Kalau belum tahu Medan, tentu sangat tidak menguntungkan. Lebih baik kuikuti saja skenario ini, sembari mengamati keadaan. Siapa tahu aku bisa menyusun strategi untuk meloloskan diri dari semua omong kosong ini. * Suara gamelan yang mengalun, terdengar lebih jelas begitu keluar kamar mandi. Aku sekarang berdiri di dekat dipan, sembari memandangi pantulan cermin. Jarik klasik tanpa lengan membalut tubuhku dengan sempurna. "Gusti Putri, Sugeng Dalu," sembah seorang wanita yang sudah cukup tua. "Mohon ampun, hamba diberi kabar jika Anda tidak ingat sama sekali dengan kami." "Iya, aku tidak tahu bagaimana bisa berada di sini. Bahkan aku tidak kenal dengan kalian semua. Bisakah kau ceritakan aku sedang ada di mana?" tanyaku pada perempuan yang terlihat bijak itu. Sementara itu, dua perempuan lain, mulai mendandaniku. Kain jarik, stagen, roncean kembang melati, kain panjang, dan ... entah apa lagi yang disematkan mereka di tubuhku. "Ampun Gusti putri, Anda adalah Rara Anindita Nirwasita Jayawangsa, putri bungsu Prabu Rakai Hanggana Jayawangsa," ujarnya. "Tunggu, tunggu. Namaku memang Anindita Nirwasita, dan Ayahku memang Rakai Hanggana. Tapi kami bukan anggota kerajaan seperti yang kalian sebutkan. Kami hanya orang biasa. Ayahku seorang pengusaha properti dan aku dosen. Kalian tidak sedang bercanda kan?" Si perempuan tua itu memandang dua perempuan lain yang sedang mendandaniku. Mereka mengangguk, begitu kain-kain itu sudah melekat sempurna di tubuhku. Hmm, ini seperti busana adat solo basahan, memakai kemben, tapi lebih simpel. "Ampun, Gusti putri. Saya tidak mengerti yang Anda katakan. Malam ini, calon suami Anda sudah hadir untuk meminang. Karena itulah, kami harus segera mempersiapkan Anda. Mohon ampun, jika hamba tidak bisa meladeni pertanyaan Gusti putri. Kita harus bergegas," tukas perempuan itu, lalu memapahku menuju tempat duduk. "Silakan Emban Sepuh," kata perempuan pertama yang membantuku mandi. Dia menyerahkan secawan entah apa itu pada perempuan tua yang disebut Emban sepuh. Dia memulas wajahku dengan berbagai warna. Sementara satu perempuan yang paling muda menata rambutku menjadi sanggul sederhana yang terlihat elegan. "Dan untuk sentuhan terakhir," kata perempuan yang membantu Emban Sepuh tadi. Dia berjalan mendekat serta membawa sebuah kotak kayu berukir, "Mahkota warisan keluarga, akan melengkapi penampilan Gusti putri dalam pertemuan malam ini." Diletakkannya kotak kayu itu di meja rias, lantas membukanya perlahan. Kemudian sebuah mahkota emas bertahtakan beberapa batu permata dikeluarkan dari sana. Modelnya sederhana, seperti mahkota harian seorang putri raja. Sekarang perempuan itu berdiri di belakang. Kedua tangannya membawa Tiara itu ke atas kepalaku. Kemudian mahkota bertahta batu permata itu disematkannya pada puncak sanggul. "Sempurna," katanya. "Anda sangat cantik, Gusti putri," puji Emban Sepuh. "Terima kasih." jawabku tulus. Penampilanku yang bisanya tomboi dan seadanya, kini benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Sangat feminim dan ... kalau boleh kupuji diri sendiri sih, terlihat cukup elegan dan berkelas. Seperti dandanan hendak melakukan karnaval dengan busana tradisional. Memang, banyak yang bilang wajahku seperti peranakan bule. Sama seperti Ayah, walau tidak begitu kentara. Hanya postur tubuh dan kulitnya saja yang putih, sementara wajahnya seperti orang blasteran kebanyakan. Yang aku tahu, Ayah adalah anak angkat. Makanya beliau dan Om Gie memiliki penampakan yang berbeda. Aku pun tahu hal itu ketika kebetulan beliau cerita tentang sejarah keturunan raja-raja masa lalu, waktu kami berkunjung ke petilasan candi. Namun, tidak dijelaskannya tentang asal usul beliau secara detail. Dua perempuan yang membantu Emban sepuh tadi berpandangan. "Baiklah," potong potong Emban sepuh, "Sebaiknya kita tidak membuang-buang waktu lagu. Gusti putri sudah siap. Mari saya antar ke depan. Ayahanda Anda dan para tamu pasti sudah menunggu." Dua pembantu emban sepuh segera mundur tanpa berkata-kata lagi. "Mari," ajak Emban sepuh sembari menengadahkan tangannya. Aku tidak mengerti. "Apa yang kau minta?" tanyaku. "Letakkan tangan Anda, Gusti putri, lantas berjalan pelan-pelan dan anggun. Biarkan semua orang menunggu, tidak perlu terburu-buru," kata Emban Sepuh menjelaskan. "Oh, maafkan saya." Kemudian kuikuti perintahnya. Emban Sepuh mengangguk maklum. "Mari," ajaknya. Begitu keluar, aku sempat terkejut saat mendapati dua orang pengawal berdiri di luar pintu. Mereka hanya mengenakan kain semacam sarung dari jarik, juga ikat kepala dari kain. Dua pedang terselip di pinggang, serta memegang tombak. Tombak itu ditegakkan begitu aku lewat, untuk memberi jalan. Sepanjang lorong, juga dijaga pengawal lain dengan seragam serupa. lainnya berdiri di kiri kanan, sepanjang lorong yang kami lewati. Ada sekitar tiga pintu lain yang mungkin menuju ke kamar atau ruangan berukuran sama seperti kamarku tadi, sampai kami tiba di sebuah tikungan. Setelah berbelok di ujung lorong, barulah kusadari ternyata kami sampai di sebuah ruangan yang sangat luas. Di seberang sana tertata rapi sebuah meja panjang yang diitari sekitar dua puluh kursi. Semua terbuat dari kayu berukir dan klasik. Ada banyak makanan, juga minuman di atas meja itu. "Silakan Gusti putri, hamba hanya bisa mengantar sampai di sini," kata Emban Sepuh. Dia memberi hormat, lalu undur diri. "Emban, tunggu!" Perempuan itu mengabaikan panggilanku dan terus melangkah tanpa menoleh lagi. Aku hendak mengejarnya, tapi dua pengawal segera bergerak menghalangi. Ini sebenarnya aku tawanan atau bagaimana sih? Aneh! "Ananda Anindita," sapa seseorang. Aku menoleh, lantas terpaku. Berdiri di seberang ruangan, adalah Ayahku. Meski mengenakan segala bentuk kain adat dan mirip karakter di pewayangan, tapi aku yakin dia ayahku. Sungguh, aku benar-benar tidak percaya ini. Bukankah, Paman Gie memintaku pulang karena Ayah sudah meninggal? Tidak, ini pasti tidak nyata. Tapi, aku benar-benar rindu pada Ayah. Aku ... "Ayaaaahh!" aku berlari menghambur lalu memeluknya. Beliau bergeming sesaat, sebelum balas memelukku. "Jangan manja putri. Sebentar lagi kau akan menjadi seorang istri," ujarnya. Aku mengurai pelukan. Menatap wajah Ayah lekat-lekat. "Dita kangen Ayah. Paman Gie bilang ... Ayah ... Ayah .... sudah meninggal, tapi ...." "Putri, kamu pasti mengigau. Jatuh dari gending rupanya membuatmu hilang ingatan. Romo baik-baik saja sampai sekarang. Namun, ada satu hal yang Romo harus bicarakan denganmu," kata beliau serius. Seolah ada hal lain yang lebih serius jika dibandingkan dengan keanehan di sini. Ayah berjalan sedikit menjauh, kemudian bicara lagi. "Ananda Anindita, utusan Angger Muni memintaku tunduk pada mereka," kata Ayahanda Prabu dengan formal. Penyebutan nama depanku dengan lengkap, sedikit membuat canggung, meski memang biasanya beliau menyebut dirinya Romo—panggilan Ayah dalam bahasa Jawa. "p*********n terhadap Sultan Angger Muni dengan bantuan Kawulan kemarin gagal. Posisi kerajaan kita terpojok. Kita harus mencari sekutu baru agar lebih kuat, sehingga Romo berharap, Ananda mau berkorban untuk kerajaan kita. Malam ini, Erlangga meminangmu," ujarnya, yang sukses membuatku bingung. "Tapi, Ayah ...." "Jangan berani menolak keputusanku, Anindita Nirwasita! Seluruh kerajaan harus bersatu melawan mereka. Ini adalah pernikahan demi negara. Kau mengerti?" Apa? Pernikahan! Astaga, sepertinya aku sedang bermimpi. Semua ini pasti terjadi hanya ada di otakku. Atau jangan-jangan si cowok sandal Swelew itu menggunakan obat bius untuk membuatku berhalusinasi. Semua ini pasti tidak nyata!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN