"Ladies and gentlemen, welcome to Juanda International Airport. Local time is 13.30. For your safety and comfort, we ask that you please remain seated with your seat belt fastened until the Captain turns off the Fasten Seat Belt sign. This will indicate that we have parked at the gate and that it is safe for you to move about.
We remind you to please wait until inside the terminal to use any electronic devices. On behalf of Garuda Indonesia and the entire crew, I’d like to thank you for joining us on this trip and we are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"
Pengumuman dari pilot tadi yang kemudian diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia, membuatku sedikit lega. Akhirnya, perjalanan panjang sehari semalam dari GRU Airport di Brazil, sampai juga di Surabaya sesuai jadwal.
Usai melepas seat belt, aku mengambil tas ransel imut dari kompartemen atas, lalu memakainya di punggung. Tidak banyak penumpang kelas bisnis yang ikut penerbangan kali ini. Jadi aku hanya perlu antri keluar pesawat dengan beberapa orang saja.
Air mataku sudah kering saat transit di Jakarta pagi tadi, hanya menyisakan sembab dan terasa sedikit lengket. Kabar duka yang kuterima tiga hari lalu, membuatku tidak bisa berhenti menangis. Walau begitu, tekad untuk pulang ke tanah air sangat kuat. Untungnya bisa mendapatkan tiket penerbangan tercepat ke Indonesia.
Aku harus berterima kasih pada Profesor Zaveer. Beliau cukup banyak membantu, serta memberikan izin cuti tanpa batas dalam ekspedisi kali ini. Entah kapan bisa kembali bergabung dengan team arkeolog untuk penyelidikan Atlantis itu lagi, aku tidak tahu. Sekarang yang terpenting adalah bisa pulang ke Indonesia. Walau tidak mungkin lagi melihat Ayah untuk yang terakhir kali, aku ingin mendoakannya dari dekat.
Oh, itu koperku. Ukurannya sedang dan warnanya hitam, model standard seperti koper pada umumnya. Dengan satu tangan aku menyeret koper, sembari berjalan ke pintu keluar. Sementara tangan yang lainnya memegangi ponsel untuk menelepon.
Setelah dua kali nada sambung, akhirnya diangkat juga.
"Halo! Om Gie, ini Dita."
"Halo, halo ... " Telepon pun terputus.
Ah, sinyal di sini tidak bagus. Sepertinya aku harus ke luar dulu supaya bisa menelepon dengan baik.
Akhirnya ponsel kumasukkan lagi ke dalam tas ransel. Setelah itu, aku kembali berjalan agak cepat sembari menyeret koper. Mendekati pintu keluar, suasananya jadi cukup ramai. Mendadak serombongan orang yang mengenakan seragam batik melintas. Aku pun melangkah mundur dengan spontan.
"AWW!!"
Suara berat seorang cowok mengagetkanku. Rupanya saat mundur tadi, tanpa sengaja koperku menabraknya.
"Maaf, maaf, saya tidak sengaja," ucapku segera.
Cowok berwajah asia yang mengenakan kemeja pantai itu meringis dan memegangi kakinya. Kamera yang menggantung di lehernya ikut berayun saat dia jalan berjingkat ke pinggir. Tanpa sungkan dia duduk di lantai sambil melepas topi. Rambut gondrongnya pun terurai sebahu.
Aku segera meninggalkan koper dan mendekatinya. Aku benar-benar merasa bersalah.
"I'm so sorry, Sir."
"Its okey Miss," katanya sambil meringis.
Aku merasa tidak enak, melihatnya memegangi jempol kakinya yang baru saja dilepas dari sandal jepit. Cukup nyentrik juga dia.
Kini orang-orang yang lewat mulai memandangi kami.
"Sudah tidak apa-apa," katanya sembari meninggalkanku. Dia menuju koper yang tergeletak, dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku melongo beberapa saat. Lalu tersadar ketika dia sudah jauh.
"Aaaaaa, loving you is A loosing Game !" Ringtone Lagu Arcade berbunyi dari dalam ransel. Pasti itu telepon dari Om Gie.
Screenlock ponsel ber-casing anime samurai X itu kubuka, lalu menge-tap tombol terima.
"Dita?"
"Iya, Om. Maaf tadi sinyalnya jelek," jawabku
"Om udah di parkiran." Suaranya terdengar rileks.
"Iya, aku otewe ke luar ini," kataku sambil menyeret koper keluar lobby.
Setelah melihat sekeliling, aku melihat pria itu di kejauhan. Kemeja navy lengan panjang yang digulung sampai siku, celana jeans light blue model lurus, sepatu kets merah, kacamata hitam, dan topi army. Pokoknya sangat mudah dikenali penampilan adik ibuku yang ajaib itu.
"Om Gie!" teriakku.
"Dita, sini!"
Aku segera menghampiri beliau sambil menutup telepon. Setelah cukup dekat, dia memelukku. Rasanya aku ingin nangis lagi.
Om Gie segera mengambil alih koper dari tanganku. Selanjutnya, kami berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sini.
"Kita makan dulu, baru lanjut ke Blitar," katanya lagi, setelah kami masuk mobil. Koperku diletakkannya di kabin tengah. Aku mengangguk setuju lalu memasang seat belt.
Mobil pun melaju membelah keramaian jalanan kota Surabaya. Tidak seperti Rio de Janero, yang selalu macet setiap saat. tempat aku menetap beberapa tahun terakhir. Kebetulan aku mendapat beasiswa dan ikut team ekspedisi Profesor Zaveer. Seorang peneliti dari Cambridge University, yang sedang mengadakan penelitian di Brazil.
Sebuah keputusan yang mengorbankan restu Ayah. Beliau tidak setuju aku pergi ke luar negeri. Dia ingin aku tetap di Indonesia agar lebih dekat dan sering pulang ke rumah.
Mungkin Ayah kesepian sejak ditinggal Ibu, tapi kupikir banyak saudara di sana, pasti tidak akan jadi masalah. Sayangnya keputusanku itu salah. Bahkan aku tidak bisa cepat pulang untuk melihat beliau terakhir kalinya.
Air mataku menetes lagi. Teringat pada Ayah. Ketika liburan tiba, beliau selalu mengajakku menjelajahi alam, tempat-tempat eksotis seperti gunung dan pantai. Ya, kami hanya berdua, karena aku anak tunggal dan Ibu tidak terlalu suka petualangan outdoor.
Yang paling menarik adalah, Ayah sangat suka mengajakku mengunjungi situs-situs purbakala. Mungkin inilah yang membuatku menyukai sejarah dan arkeologi. Like father like daughter, kata orang.
"Makan ayam goreng?" tanya Om Gie tiba-tiba. "Atau lesehan?"
"Lesehan saja Om, aku kangen sambel. Sama cari yang ada toiletnya, mau ganti baju," jawabku sambil tersenyum.
"Oke siap!"
Mobil pun menepi saat mendekati tempat makan yang cukup asri. Entah di mana ini, aku tidak tahu.
"Dita ambil baju dulu," ujarku begitu mobil sudah terparkir. Aku turun, kemudian membuka pintu tengah, hendak mengambil baju ganti dari dalam koper. Namun, betapa kagetnya aku begitu melihat tag name di koper itu bukan Anggita Nirwasita, melainkan Erlangga O.
"Aduuuuuh! Gimana ini?" keluhku.
"Kenapa Dit?" tanya Om Gie.
"Koperku tertukar," jawabku lemas.
Memandangi koper hitam yang sama persis dengan milikku ini, pikiranku langsung tertuju pada satu orang. Pasti tertukar sama koper turis di bandara tadi.
Aku masih tertegun memandangi koper, ketika Om Gie berkata, "Buka saja, Dit. Siapa tahu ada nomor telepon atau apa, yang bisa buat menghubungi orang itu."
"Oh, iya iya Om. Ide bagus," timpalku bersemangat meraih resleting koper. Namun semangat itu menghilang ketika melihat kunci kombinasi. "Lock pake kombinasi angka, Om."
"Halah, gampang itu. Kamu minggir dulu." Om Gie menggantikan tempatku berdiri. Dari saku, dikeluarkannya kunci dengan gantungan pisau serbaguna.
"Waduh, dirusak Om?"
"Gimana lagi, yang penting bisa terbuka kan? Mumpung juga kita belum jauh," timpalnya.
Iya juga ya? Kalau masih sekitaran sini bisalah nanti kita tukar. Semoga di dalam koper itu ada identitas atau nomor telepon yang bisa dihubungi.
Perhatianku terpusat pada tangan Om Gie yang sibuk mengutak-atik kunci koper. Lalu tiba-tiba terdengar ringtone OST Arcade-ku berbunyi.
Buru-buru aku ke kabin depan untuk mengambil ponsel di dalam ransel. Terlihat sederet nomor tidak dikenal di layar. Aneh, nomor ini kan baru, siapa juga yang telepon?
Belum juga kutekan tombol terima, panggilan itu terputus.
Enaknya aku menelepon balik atau mengabaikan panggilan itu, ya?
Mendengar suara ringtone berbunyi kembali, langsung saja kuterima.
"Halo, ini nomer teleponnya Embak yang kopernya ketuker sama punya saya, ya?" kata suara medok di seberang.
Tidak salah lagi. Dia pasti si turis itu.
"Eh, ini mas rambut gondrong yang pake sendal jepit swalew ya?" balasku.
Duh, perkenalan macam apa ini?
Seketika aku teringat kalau Om Gie sedang berusaha merusak kode koper milik turis medok itu.
"Om, Om, ini orangnya telepon. Jangan dibongkar dulu," kataku pada Om Gie.
"Klak!" Suara itu memberikan sebuah jawaban. Peringatan yang kuberikan, sedikit terlambat.
"Yah, telat Dit. Sudah rusak," kata Om Gie.
"Oh, maap Mas. Kami cuma mau mencari identitas, tapi syukurlah Mas sudah telepon duluan," ujarku berusaha menenangkannya.
"Terus gimana urusannya ini?"
"Oh, maap Mas. Begini, saya harus segera ke Blitar, tapi sekarang lagi istirahat di lesehan Pawon Mbok'e. Mas-nya bisa ke sini?" tanyaku berusaha sopan.
"Ya sudah, aku ke sana. Tunggu, namanya situ benar Anindita, kan? Saya Erlangga."
"Iya, Mas. Saya Anindita. Kami tunggu ya."
"Key sip."
Setelah menutup telepon, aku pun merasa lega. "Untung orangnya nggak marah," ujarku.
"Iya, tapi gimana dia bisa dapat nomormu, Dit?" tanya Om Gie.
"Nggak tau."
"Paling kopermu sudah dibuka,"timpal beliau.
"Hah, iya ya? Waduuuhhhh!" Gawat nih, padahal di dalam koper itu aku asal saja masukin baju. Sama sekali nggak tertata. Cowok itu bakalan liat semua barang pribadi, termasuk pakaian dalam dan juga ... tidaaaaaaaaak!
"Ya sudahlah, kita pesan makanan saja dulu sambil nunggu. Kamu bersih-bersih aja, nggak perlu ganti baju."
Perkataan Om Gie membuatku kembali pada kenyataan. "Oke, Om."
"Ya sudah sana. Om pesen makanan dulu, ntar ketemu di gazebo situ," katanya lagi.
Aku pun meraih tas ransel bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari tempat parkir.
*
Dua puluh lima menit berlalu, tapi belum tampak tanda-tanda kemunculan Erlangga sendal Swelew. Begitulah namanya ku-save di kontak telepon.
Aku berkali-kali melongok setiap ada orang yang datang. Namun ternyata mereka pengunjung lain lesehan dengan konsep gazebo besar ini. Kubuka lagi layar ponsel, berharap ada balasan dari pesan WA yang sudah terkirim beberapa kali. Lagi-lagi aku harus menelan kecewa, saat dua centang abu-abu sama sekali belum berubah biru.
"Mana sih, orang itu," sungutku.
Rasanya pengen tambah ayam geprek dan tempe bacem. Padahal jatahku yang disajikan sudah ludes di meja. Saat cemas dan gugup seperti ini, aku memang suka mengunyah untuk menghilangkannya.
"Sabar, paling bentar lagi," kata Om Gie, yang masih on process menyelesaikan eksekusi gurame bakar.
"Ntar kita kemalaman lagi di jalan. Jam segini tuh orang belom nongol juga," gerutuku sambil menyeruput es beras kencur dari sedotan.
"Permisi," sapa seseorang.
Spontan aku menoleh. Akhirnya si Mas gondrong itu datang juga! Penampilannya masih sama seperti saat kami pertama kali bertemu. Kemeja pantai dan celana gombrong tiga perempat. Kali ini dia tidak memakai topi. Namun sandal jepitnya masih dipakai.
"Erlangga?" tanya Om Gie.
"Iya, Pak. Maaf, nunggu lama ya," jawabnya sedikit kikuk. Dia berdiri di dekat meja kami.
"Iya, Mas. Lama banget," sambarku tak sabar. "Mana koperku?" Aku pun berdiri.
"Ada di mobil saya," katanya, sambil memasukkan satu tangannya ke saku celana.
"Koper Anda juga masih di mobil," balasku formal. "Om Gie lanjutin aja makan. Biar Dita yang ambil koper di mobil," kataku sambil mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. Suara penanda otomatis terdengar, begitu kutekan remote untuk membuka kunci.
"Oh, ya udah kalo gitu," kata Om Gie, lalu lanjut makan.
Erlangga pun mengikutiku menuju tempat parkir yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari gazebo. Hanya saja terhalang tanaman hias yang agak tinggi sehingga tidak terlihat jika sedang duduk lesehan. Cuma ada beberapa mobil di parkiran dan tidak ada seorang pun selain kami berdua.
"Mobilmu di mana?" tanyaku, begitu kami sampai di dekat mobil Om Gie.
"Di sebelah sana," jawab Erlangga sambil menunjuk sebuah mobil merah. Hanya terpisah tiga mobil dari sini.
"Oh, itu," kataku sambil membukakan pintu tengah untuk Syailendra. "Silakan diambil kopernya. Maaf karena kuncinya dirusak sama Om. Tapi kami belum sempat membukanya kok. Jadi isinya masih aman. Silakan di cek kalau perlu."
"Makasih ya Mbak." Erlangga tersenyum, "Nggak perlu ngecek segala, saya percaya kok. Tapi, maaf kopernya Mbak sudah saya buka. Untung ada bekas kartu SIM yang terselip, makanya saya bisa menghubungi Mbak Anindita," ujarnya.
"Iya deh, nggak apa-apa," jawabku pasrah.
Erlangga mengambil koper dari tempat duduk dan meletakkannya di paving. Kemudian pegangannya yang panjang ditarik.
"Barangkali Mbak Dita mau ikut, ngecek kopernya juga. Saya nggak ngambil apa-apa kok," katanya menawariku untuk ikut ke mobilnya.
"Oke."
Erlangga menungguku menutup pintu, lalu kami berjalan menuju mobilnya. Betewe, ternyata dia tinggi juga. Padahal aku 160 cm, dan kepalaku setinggi pundaknya. Mungkin dia 180 lebih.
Begitu sampai, dia membuka pintu bagasi dan memasukkan koper.
"Loh mana punyaku?" Koperku tidak ada di dalam bagasi mobil merah berkapasitas lima penumpang itu.
"Di dalam mobil," jawabnya sambil menutup pintu bagasi, lalu berjalan ke depan.
"Oh." Aku mengikutinya, sambil berharap koper itu baik-baik saja. Maksudku, semoga Erlangga tidak mengobrak abrik isinya.
"Silakan," kata Erlangga setelah membuka pintu penumpang. Lalu dia mundur beberapa langkah untuk memberiku jalan.
"Makasih," jawabku sambil berjalan mendekat.
Erlangga tersenyum sembari mengeluarkan saputangan dari saku celana. Udara siang ini memang cukup panas. Mungkin dia mau menyeka keringat yang terlihat membasahi pelipisnya.
Aku segera berbalik menghadap kabin, mengalihkan pandangan dari cowok berambut gondrong yang berdiri di belakangku. Rasanya aku jadi ikutan gerah.
"Loh, mana kop—" Aku hendak protes begitu melihat koperku tidak ada di sana. Namun, kain setengah lembab tiba-tiba menutupi mulut dan hidungku. Bersamaan dengan itu sebuah lengan kekar melingkari tubuhku dengan ketat. Punggungku menempel erat pada d**a bidang yang sekeras batu.
Serangan panik menguasai saat bau menyengat yang terhirup semakin banyak. Dadaku sesak, Kepalaku pusing, dan pandanganku mulai kabur.
"Mmpppp! Hmmmmp!" teriakku sambil meronta dengan sisa tenaga. Lalu, beberapa saat kemudian, semuanya menjadi gelap.