Ciumannya menuntut, bibir saling bertaut dengan lidah menyusup masuk ke dalam mulut mencecap rasa satu sama lain, aku hanya bisa mendesah dan seperti biasa berserah pada tawanan pria ini. Selalu pintar membuatku hampir lupa caranya bernapas, kakiku tidak bertenaga hampir luruh ke lantai jika bukan karrna dekapan erat dipingangku.
“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku sengaja mengakhiri pagutan tersebut, napas kami terengah-engah. Aku menatapnya dengan lekat. Ini bukan ciuman pertama, tapi debaran di jantungku masih sama seperti pertama kali mendapatkannya. Pertama kali dia menciumku di mobil saat mengantarku pulang waktu awal kedekatan kami.
“Kamu...” jawabnya kembali menciumku. Tangan yang berada di pinggangku mendekap erat sebelum membawa langkah kami, membuat tubuhnya sendiri berbaring diatas sofa, sementara aku berada di atasnya. Mengikuti intuisi yang akrab, aku melepaskan kancing-kancing kemeja yang melekat di tubuhnya. Satu demi satu, sampai jariku bisa menyentuh tubuhnya langsung, mengusap provokasi.
Dia masih menciumku, tapi aku senang ketika sentuhan membuatnya mendesah atau menggeram. Mata kami bertemu dengan jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat gairahnya. Dulu saat pertama kali melakukan ini, aku tidak pernah berani membuka mata, tapi dia yang memintaku untuk menatapnya.
Tatap mataku, Anna... aku ingin kamu selalu bisa ingat yang kita lakukan ini. Ucapnya pada waktu itu.
“Kai...” aku mendesahkan namanya, ketika tangannya mulai menari-nari di punggungku yang masih berbalut gaun tidur tipis. Sementara bibirnya mulai beralih mencium nadi tepat di leherku. Menyesap kuat, perih tapi nikmat hingga bisa menghantar getaran yang meremangkan.
Aku kembali mendesah, tangannya mulai lincah menarik seutas tali yang ada di pundakku hingga bagian atas terbuka. Dia mulai bermain di puncak dadaku.
Kai menghentikannya, memandang wajahku yang sedang menggigit bibir. Aku sudah sama-sama menginginkan dirinya juga. Lalu dengan mudah dia mengangkat tubuhku, hingga kini aku berganti terlentang di bawahnya.
“Kamu tidak lelah, Kai?” bisikku, melingkarkan tangan di tubuhnya.
Tawa Kai terdengar begitu merdu di telingaku, aku sengaja mengulum telinganya.
“Kamu bertanya, tapi tangan dan bibirmu terus menggoda... Anna dan tidak ada kata lelah untuk yang satu ini” jawabnya. Aku tersenyum masih menggodanya.
Selanjutnya Kai melepas pakaianku dengan sangat mudah hingga tidak ada sehelai pakaian yang menempel di tubuhku.
Dia menurunkan wajah, merapatkan tubuh kami. Aku menyambut kembali ciuman yang lebih menggelora. Napas kami beradu seiring sentuhannya kian membuatku terus mendesah dan menginginkan dia segera menyatukan tu—
“Huh! Hah! Huh!”Aku seperti tertarik pada sebuah cahaya, mata berusaha mengerjap beberapa kali dengan napas yang terengah-engah.
“Oh... astaga, apa yang baru aku mimpikan?” segera memastikan keberadaanku, syukurlah masih berbaring di ranjang tepat di kamar apartemen yang aku tempati seorang diri beberapa tahun pelarian. Bukan di atas sofa, ruang kerja yang ada di rumah pernah aku tinggali bersama dirinya.
Tunggu, bagaimana mimpi itu terlihat sangat nyata?
Aku segera bergerak hingga duduk, menarik kedua kaki menekuk sebelum mengusap wajah berulang kali. Tidak seharusnya aku mimpi erotis bersama mantan suamiku.
Sekali lagi aku mengusap wajah, terdiam. Bayangan mimpi atau masa lalu yang terulang dalam mimpi bisa-bisanya membuat dadaku bergemuruh hebat seperti ini.
Aku memejamkan mata dan memgumpat kembali “Oh Shit... s**t!” sialnya bayangan erotis bersama mantan suamiku di masa lalu itu kembali berputar.
Tidak tahan dengan mimpi yang tidak seharusnya mengganggu, aku bergegas turun dari tempat tidur, masuk ke kamar mandi dan langsung membasuh wajahku berulang-ulang. Berharap air dapat menyegarkan pikiranku.
Kuulangi terus menarik napas dalam-dalam hingga jantungku mulai bisa berdebar dibatas normal kembali. Aku menegakkan punggung, menatap diriku sendiri pada cermin. Titik-titik air menghiasi.
“Tidak... Anna... jangan terpengaruh, dia hanya sedang membangun rindu menyusup melalui mimpi lalu menghancurkan dua tahun sudah kamu jalani” ucapku pada diri sendiri. Aku tidak boleh terpengaruh. Itu hanya mimpi yang tidak berarti, bukan sebuah rindu akan sentuhan atau kemesraan kami di masa lalu.
Yakinku.
***
Naif, ya itulah diriku di masa lalu. Meski yang mengikat kami adalah perjodohan lalu aku yang jatuh cinta lebih dulu pada Kai. Setelah pernikahan tidak ada tidur di kamar masing-masing seperti di sebuah film atau buku romantis tentang perjodohan.
Kai langsung menyentuhku di malam pertama kami jadi suami-istri. Dia yang pertama bagiku dan ketika sedang menyentuhku itu, aku merasa pernikahan kami sempurna bukan hanya karena perjodohan atau aku yang mencintainya melainkan seperti kami yang saling mencintai satu sama lain. Membutuhkan satu sama lain, Kai tidak pernah membuat ranjang kami dingin. Dia selalu menginginkan diriku... atau tepatnya tubuhku.
Aku pikir ketika hubungan kami sudah berjalan sejauh itu, tanpa ada batas. Itu cukup. Namun, Lamban-laun terjawab bahwa itu saja tidak cukup membuat aku memenangkan hati seorang Kaivan Lais. Mungkin bagi Kai aku hanya bagian dari wanita yang dia butuhkan untuk menyalurkan hasrat biologisnya.
Aku sudah memberikan segalanya, hidup, tubuh, dan hatiku. Tapi, Kai tidak memberiku segalanya terutama hatinya. Cinta katanya mengajarkan kita caranya bersabar, bertahan. Ternyata aku tidak sehebat itu untuk terus menunggu dan menghancurkan hati sendiri.
“Anna... Aku memanggil kamu sejak tadi!” Abbas menarik tanganku.
Aku tersentak, menatapnya yang sedang mengernyit memperhatikan aku.
“Kamu pucat sekali...” Abbas menyentuh wajahku, aku segera berpaling.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kamu yakin?”
Aku mengiyakan.
Setelah mimpi itu, semalam aku tidak bisa tidur lagi. Terjaga sampai pagi. Jelas saja wajahku pucat.
“Wajahmu mengatakan sebaliknya.” Kata Abbas tidak langsung percaya begitu saja.
Aku mengulum senyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk.
“Setelah minum kopi pasti aku semakin baik-baik saja” aku mengerakkan cup berisi kopi yang tadi aku beli.
Abbas menghela napas, ikut duduk. Dia membeli kopi yang sama ternyata. “Sebentar lagi musim gugur akan berakhir, akan masuk musim dingin. Kamu harus jaga kesehatan.”
“Tentu, terima kasih” aku mengangguk. Teringat dulu pertama kali tinggal di sini. Cuaca yang jelas sangat berbeda dari negara asalku buat tubuhku harus banyak menyesuaikan.
Selanjutnya tidak ada perbincangan pribadi lagi, kami mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku berusaha untuk konsentrasi, kurang tidur benar-benar bisa mengacaukan aktivitas. Itulah yang aku rasa sekarang.
Begitu petunjuk waktu akhirnya sampai di jam pulang, aku bisa bernapas sangat lega.
“Aku antar, kumohon kali ini jangan menolakku” Cegah Abbas pas keluar kantor bersamaku.
Aku biasanya menolak, lebih suka pulang sendiri. Tidak kali ini. Aku tidak yakin akan kuat berjalan menuju stasiun “baiklah...”
Abbas tersenyum senang mendengar aku tidak perlu mendebat dulu lalu menolak.
“Nah, begitu! Ayo!” Abbas berjalan lebih dulu, aku mengikutinya.
Mobil melaju di jalan menuju tempat tinggalku, kami berbincang ringan dan Abbas selalu bisa membuat aku tertawa dengan kekonyolan dirinya.
“Kamu, tahu Abbas. Saat pertama tahu kalau rekan kerjaku ternyata ada dari negara yang sama. Aku senang sekali, setidaknya aku tidak akan merasa terlalu asing di sini.”
“Sungguh kamu berpikir begitu?”
“Ya.”
“Kalau begitu, itu juga yang aku rasakan.” Kata Abbas.
Aku tertawa.
“Berapa lama kamu tidak pulang ke Indonesia?” tanyaku.
Abbas, “lama sekali, tiga tahun.” Abbas lebih dulu menetap di negara ini “aku sudah mengajukan cuti untuk pulang. Kamu mau ikut bersamaku?”
Anna menggeleng tegas, “belum waktunya aku pulang.”
“Kenapa?” Aku hanya menjawab Abbas dengan senyum kecut, “Apa tebakan aku benar selama ini?
“Tebakan yang mana?”
“Kalau kamu patah hati dan negara ini adalah pelarianmu” jawab Abbas santai, aku yakin dia hanya sedang menebak asal saja. Aku berusaha untuk terlihat tebakannya salah, padahal tepat sekali.
Tawaku terkesan di paksakan, Abbas menyadari. Dia menoleh dan sempat menatapku aneh. Hanya beberapa detik sebelum dia sendiri tersenyum.
“Apa aku terlihat seperti itu?” tanyaku setelah berhenti tertawa.
Dari ujung mata aku menangkap senyum Abbas yang tulus.
“Tidak. Aku salah. Mana mungkin wanita secantik kamu patah hati? Pria bodoh mana yang akan sia-siakan wanita sepertimu hm?”
Aku terdiam, melarikan tatapan pada luar jendela di sisiku.
Ada, dia adalah Kaivan Lais. Jawab hatiku.
“Anna...” panggil Abbas, aku mengerjap untuk menghalau rasa mendesak di dalam rongga dadaku.
“Ya?”
“Keberatan kalau kita mampir makan malam dulu?” tanya Abbas.
Aku menggeleng kecil, mungkin makan malam keluar dengan Abbas bisa membuat aku berhenti terpengaruhi bayangan mantan suamiku. Bayangan erotis kami di masa lalu “kita akan makan malam di mana?”
Abbas menoleh dan tatapan kami beradu beberapa detik sebelum sudut bibir tertarik membentuk lengkungan yang manis “aku senang, hari ini kamu tidak menolak setiap ajakan dariku.”
***
“Kamu masih juga tak mau berhenti?” tanyaku, setelah berhenti tertawa. Abbas baru cerita, jika beberapa hari lalu dia berkenalan dengan wanita yang ternyata datang bersama kekasihnya. Abbas hampir dapat pukulan, jika tidak berkelak bahwa wanita itu lebih dulu mendekatinya.
“Berhenti apa?”
“Mendekati banyak wanita. Menetaplah pada satu wanita.” Kataku sambil menyuap sepotong daging lembut ke dalam mulut. Mengunyahnya tanpa kendala.
Abbas menatapku lekat kemudian tersenyum kecil “mungkin suatu hari nanti. Kalau sudah ada yang benar-benar aku inginkan untuk jadi wanita terakhirku.”
“Sekarang, memang tidak ada yang menarik untukmu? Buat kamu penasaran.”
Abbas mengambil gelas berkaki. Menghirup aroma Wine sebelum menyesap. Hal lain yang aku temukan selama tinggal di sini, orang-orang lebih suka minum Wine dibanding air putih saat makan malam seperti sekarang. Aku tentu tidak ingin hilang kendali dan berbuat hal yang akan kusesali jika berani menyentuhnya.
Air mineral jelas lebih sehat juga.
“Ada.”
“Lalu?”
“Dia terlihat lebih tertarik jadi temanku.”
“Sungguh? Kamu sudah bilang padanya.”
“Belum. Hanya menebak saja” selama bicara begitu Abbas tidak lepas tatapan dari wajahku.
“Bagaimana bisa kamu tahu, kalau kamu tidak pernah bilang. Abbas, dengar... ada yang bilang bahwa tindakan lebih baik dari hanya sekedar kata-kata. Memang, itu benar. Tapi, tanpa kamu mengungkapkan dengan kata-kata, seseorang tidak akan tahu isi hatimu. Kata-kata di sini bukan rayuan kosong. Melainkan ungkapan hati apa adanya.”
“Benarkah begitu?”
“Ya.”
“Jadi aku harus mengatakan padanya?”
“Tentu, masa Players sepertimu tidak berani.”
“Justru aku terlalu terbiasa dan mudah mendapatkan wanita yang aku mau. Di tolak bisa membuat egoku terluka.”
Aku tertawa mendengar kejujuran Abbas.
“Kalau begitu jangan langsung bilang, tapi dekati dulu dan ambil hatinya dengan benar.”
“Ah, baiklah. Saranmu akan aku pikirkan baik-baik.”
“Setelah itu berhenti main-main dengan yang lain.”
“Nah, bagian itu yang sulit” Abbas mengedipkan satu mata.
Aku menggeleng kecil dan kembali menyuap, sama sekali tidak menyesal telah setuju keluar malam ini dengan Abbas. Kami kembali banyak berbincang sampai pertanyaan pribadi Abbas lemparkan padaku.
“Kamu curang, aku selalu terbuka perihal kisah asmara padamu. Setelah dua tahun mengenalmu, aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu, Anna.”
Aku sudah selesai menghabiskan steik diatas piring, meletakan garpu dan pisau dengan benar. Posisi garpu menelungkup, manner di meja makan yang aku dapat. Aku mengelap bibir lalu minum lebih dulu.
Kutatap Abbas, mungkin kisah asmaraku sangat pahit tapi aku tidak ingin berbohong tentang statusku. Abbas menganggapku teman, begitu pun sebaliknya. Aku ingin dia dengar langsung dariku.
“Aku sudah ber—“
“Permisi, Miss... ini ada titipan dari seseorang untuk anda” Seorang pelayan resto datang menghentikan kalimatku.
“Ya? Untukku?” aku terima setangkai bunga mawar putih. Bunga favoritku.
Deg!
Hanya orang terdekatku yang tahu hal-hal pribadi ini. Pelayan itu hanya mengatakan dia diminta seseorang memberikan padaku. Seseorang itu sudah tidak ada di tempat.
“Wah, sepertinya kamu punya pengagum rahasia... Anna.”
Aku terdiam, memandang lama setangkai bunga mawar putih. Mataku masih mencari entah siapa orang yang telah memberikan bunga ini. Firasatku langsung tidak nyaman, aku mengusap tengkukku merasa di perhatikan oleh seseorang yang mungkin bebas bisa menatap aku, sedangkan aku tampak bodoh terus mencari seseorang itu di tengah pengunjung resto.
“Anna... kamu baik-baik saja?” tanya Abbas lagi, aku masih diam dengan isi kepala yang mulai bercabang dengan banyak pertanyaan.
Tidak mungkin dia! Tapi, siapa yang memberiku bunga ini?! batinku.
Aku mengulum senyum tipis, bersembunyi dibalik kata baik-baik saja “Ya. Abbas, sebaiknya kita pulang. Kita sudah selesai juga, kan?”
[to be continued]