Kenapa sih dari sekian banyak perempuan di bumi ini, aku yang di pilih untuk mengalami semua ini?
Pertanyaan egoisku yang terkadang masih ada di hati sampai saat ini, mempertanyakan jalan hidupku. Jatuh cinta, menikah dengan pria yang aku anggap adalah cinta sejati tapi malah beri belati, memelihara luka sampai saat ini. Pria itu punya segala hal dari pasangan yang aku harapkan dalam hidupku, namun ternyata tetap saja tidak bisa jadi alasan untuk kami berhasil menua bersama.
Katanya, seiring waktu luka akan sembuh. Seiring waktu segala kenangan baik maupun buruk akan tertinggal di belakang, menjadi masa lalu. Tapi, sampai saat ini terkadang aku merasa baru mengalami patah hati terhebat kemarin.
Aku kembali mendesah, bukannya nikmati akhir pekan ini malah terus saja teringat kisah cintaku dan orang itu. Di mana pun seperti bayangan yang melekat dan mengikuti.
Aku tersenyum kecut saat tatapan mataku melihat satu keluarga kecil terlihat bahagia di depanku, sepasang suami-istri yang terus bergandengan tangan, sang istri sedang hamil dan satu tangan suaminya memangku putri mereka yang aku perkirakan usianya sekitar tiga tahun. Suami-istri yang saling mencintai, utuh.
Apa jika aku hamil dan mempunyai anak saat itu, apa hubungan kami tidak akan berakhir?
Pertanyaan penasaran lain di hatiku muncul, aku tidak yakin jika hubungan kami tetap bertahan. Aku akan bertahan bersama seseorang yang mau berjuang bersamaku. Seseorang yang juga butuh bukan hanya sekadar ingin aku bersamanya. Jika tidak dapat semua itu, ada atau tidaknya anak di pernikahan kami pasti akhirnya pun akan sama. Berakhir.
Aku bahkan ingat sekali jika Kaivan belum setuju untuk memiliki anak di awal pernikahan kami. Mungkin pertimbangan pernikahan kami karena perjodohan, kami belum kenal lama tapi aku yang sudah jatuh cinta. Sementara aku tidak tahu isi hatinya. Dia pasti belum siap punya anak denganku, walau sejak malam pertama dia terlihat begitu menginginkan diriku. Setelah enam bulan terakhir kami bersama barulah mulai program anak. Sayang, Tuhan pasti punya rencana lain sebelum aku hamil, aku pilih mundur dari pernikahan ini.
Duduk bersandar, aku menatap langit dan memejamkan mata lalu serbuan kenangan mengimpit dàda. Kenanganku kembali menuju awal mula kami dekat hingga akhirnya aku lebih dulu jatuh cinta.
Flashback.
Lima tahun lalu, di sebuah acara ulang tahun perusahaan keluarga.
“Anna lihat siapa yang berjalan ke arah kita.” Bisik Sepupuku, Citra.
Aku mencari tahu, hingga tatapan mataku menelusuri seorang pria berjalan tegap dengan setelan tuxedo berwarna hitam yang mahal. Rambutnya tersisir rapi dan wajah rupawannya menjadi daya tarik luar biasa untuk ditatap lebih lama. Dia adalah...
Kaivan Lais.
Pengusaha muda yang banyak di perhitungkan oleh kalangan pebisnis lainnya. Pria yang di incar banyak gadis, lelaki yang di harapkan menjadi menantu oleh para orang tua.
“Selamat malam, Anna.” Dia berhenti di depanku dan menyapaku dengan senyum khasnya.
Bisik-bisik mulai terdengar, ya aku sudah dengar bahwa orang tua kami ada rencana untuk menjodohkan kami. Tetapi, Papah belum bilang apa pun padaku. Sedangkan aku dan Kaivan memang sudah saling mengenal, itu karena Papah selalu membawaku ke acara resmi kolega bisnisnya.
“Selamat malam, Kai.” Balasku.
Kai menunjukkan senyum memikat, jujur aku sudah berdebar hanya karena di tatap lekat dan melihat senyumnya itu. “Boleh aku bergabung di sini?”
“Oh, tentu saja Kai.” Jawaban setuju dengan nada menggebu-gebu itu bukan berasal dari mulutku melainkan Citra.
Kai menarik kursi di sisiku, aku masih bertanya-tanya—mengapa harus di sini? Dia bisa mencari kursi lainnya.
“Anna aku dengar kamu baru selesaikan pendidikan magistermu?”
Kai tahu dari mana? Bodoh! Jelas tahu karena berita kelulusanku meluas ke kalangan dan rekan bisnis keluarga, kerabat dan keluarga dengan cepat.
“Hm, ya satu minggu lalu.”
“Kamu luar biasa sekali, Anna.”
Dia terlalu memujiku, di usia dua puluh tiga aku rasa banyak yang sudah bisa selesaikan pendidikan sampai magister, karena begitu di usia dua puluh satu aku lulus pendidikan S1, aku langsung melanjutkan pendidikan ke S2.
Aku tersenyum untuk membalas ucapannya. “Thank you, Kai.”
Menurutku, dia jauh lebih luar biasa. Di usianya yang masih muda sudah sukses dengan bisnisnya. Tetapi, aku tidak mengatakannya dan memilih menyimpan di dalam hati.
Kemudian kami berbincang banyak hal lagi sampai akhirnya aku mulai nyaman dan mengagumi cara Kai dengan pengalaman yang luar biasa itu. Seperti sebuah mimpiku bisa dapat seorang suami yang ketika bicara denganku kami menemukan kesamaan dan dia punya banyak wawasan yang akan dibagi denganku.
Percayalah, hubungan bisa dimulai dengan perbincangan menyenangkan pastinya membuat nyaman.
“Anna... kamu dengan Kai?” Suara Papah menarik perhatian kami berdua yang sejak tadi berbincang. Aku dan Kai langsung berdiri, Kai dengan sopan menyalami Papah.
“Ya, aku dan Kai—“
“Anna sangat menyenangkan Om, kami bicara banyak sejak tadi dan Anna memang pintar.” Kai mendahului kalimatku, dia memujiku di depan Papah.
Papah dengan senyum khas tetap membuatnya berwibawa. “Apa, Om ganggu kalian?”
“Tentu saja tidak, Om.” Kai kembali menjawab.
Papah terkekeh, sementara aku hanya memerhatikan dua lelaki tersebut. Ketika Papah memberi sebuah tatapan untuk menyampaikan sesuatu tanpa lisan, aku mulai berfirasat akan terjadi sesuatu.
Benar, satu minggu dari sana Orang tuaku mengatakan perjodohan ini. Aku menolak, jujur saja karena yang terpikir saat itu setelah mengejar pendidikan sejauh ini, aku pun punya mimpi untuk karierku sebagai Desain interior.
Keputusanku ternyata tidak sekuat itu, aku mulai goyah dan berubah pikiran seiring seringnya pertemuan dengan Kai, aku menemukan banyak hal yang membuatku terpukau setiap kali bersamanya. Belum lagi debaran di dàdaku, saat ciuman pertama kami dan seringnya aku bersamanya. Hingga akhirnya aku mengerti bahwa aku jatuh cinta pada Kai.
Malam itu aku menemui Orang tuaku, dengan debaran jantung menggila juga tangan berkeringat dingin aku menguatkan diri untuk memgakui dan mengatakan....
“Anna mencintai Kaivan Lais. Apa Papah masih punya niat untuk menjodohkan aku dengan Kai?”
Lima tahun kemudian, aku tidak tahu jika akhirnya berada di satu titik, di mana aku sangat menyesal hari itu. Menyesali bahwa sebuah cinta bisa merusak semua rencana mimpi besarku sejak dulu. Pasti karena aku jatuh cinta terlalu terburu-buru, tidak hati-hati.
Aku menghela napas kembali "Huft!"
Semua sudah terjadi, aku tahu menyesal dan sekuat tenaga untuk kembali ke masa itu tidak akan pernah bisa. Jadi, satu-satunya yang harus aku lakukan sekarang terus melangkah meninggalkan masa lalu dan melupakan sebuah cinta yang pernah membuatku kalah.
Tidak, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa Anna yang sekarang tidak akan goyah meski nanti akhirnya aku jatuh cinta kembali atau aku tidak akan pernah memberi tempat untuk sebuah rasa bernama cinta itu.
Aku mendesah dalam demi bisa menghilangkan sesak di dàda hingga akhirnya aku mulai menyingkirkan sebuah rasa rindu seperti beberapa tahun belakangan, setiap kali aku mengingat Kai.
Tidak membiarkan rindu terhadap wajah, senyum, suara serta aroma tubuhnya juga dekapan hangatnya, semuanya menghancurkan pola hidupku yang sudah kususun dengan baik.
Tidak ada Kai, yang ada hanya aku dan hidupku di kota Amsterdam ini. Di sini aku aman dan nyaman, Kai tidak akan pernah menemuiku.
Aku lalu tertawa, “untuk apa dia menemuiku? Mungkin ingat padaku saja tidak.” Bisikku menyedihkan. Yakin mungkin saja Kai sudah menikah dengan wanita pilihannya bukan pilihan orang tuanya seperti denganku dulu.