Mawar Putih, malam semakin larut tapi aku masih betah memandang satu tangkai bunga mawar putih. Tergeletak begitu saja di atas ranjang, sementara aku telungkup mengerakkan kedua kaki tanda aku cemas. Sementara dua tangan terlipat menjadi bantalan kepalaku.
Aku mendesah, hingga aroma mawar itu terhirup menenangkan. Senyumku perlahan muncul. Melihat bunga ini, membawa banyak kenangan di masa lalu.
Kenangan seperti apa?
Tidak, meski ada luka yang begitu besar tercipta di pernikahanku dulu, aku tidak bisa mengubur kenyataan bahwa banyak juga kenangan bahagia yang aku dapat. Dengan momen-momen tertentu, membuat aku di masa lalu lupa bahwa hidup tidak selamanya tentang bahagia. Bahwa waktu bergerak, setiap yang di dapat dalam satu detik belum tentu bisa terus digenggam di detik berikutnya. Orang yang bersamaku tidak selamanya akan ada.
Aku menarik tangkai bunga itu, menghirup semerbak yang sangat harum seiring mataku terpejam dan membawa pada satu momen terhubung dengan mawar putih di masa lalu. Awal mula aku jatuh cinta pada bunga mawar putih.
Tidak banyak hobi yang aku sukai, satu-satunya hobi ya yang turun dari mendiang Mama adalah aku ikut suka berkebun karena dulu sering ikut bersamanya, bermain di kebun.
“Ada banyak warna mawar, kenapa Mama suka sekali?”
Aku memandang banyak tanaman bunga mawar yang sedang mekar sangat cantik dihalaman rumah orang tuaku, mulai dari warna merah, pink hingga pandanganku jatuh pada yang berwarna putih.
Selain mawar, Mama juga koleksi banyak tanaman bunga anggrek dari yang ungu sampai putih.
“Mama suka semua bunga, yang harum dan warnanya menarik.”
“Dari semua, mana yang paling Mama sukai?”
Pagi ini Mama masih memegang selang air menyirami tanaman di depan dengan rata. Jari telunjuk menunjuk bunga mawar.
“Kenapa?”
“Mawar sering kali menyimbolkan cinta, setiap warnanya punya floriografi masing-masing.”
Aku tahu karena sudah membaca juga artikel tentang floriografi dari ragam warna bunga mawar “Mawar putih adalah sebuah simbol awal dari cinta abadi.”
“Benar sekali, sayang.”
“Mulai sekarang mawar putih akan jadi bunga kesukaanku.” Kataku pada saat itu berusia sepuluh tahun, Mama tersenyum lalu merangkul pundakku dengan sayang.
“Kelak akan ada seorang pangeran yang akan memberi kamu bunga mawar putih, seperti artinya dia akan jadi cinta abadimu.”
“Seperti cinta Mama dan Papa?” tanyaku polos, senyum Mama kian merekah cantik.
Aku terenyuh, air mataku jatuh ingat satu kenangan berharga awal mula aku jatuh cinta pada mawar putih karena Mama. Beberapa kali duri yang ada ditangkai bunga mawar melukai tanganku, tetap saja tidak bisa menghentikan rasaku yang begitu menyukai mawar ini.
Setelah dewasa, memang ada seseorang yang memberikan aku bunga favorit itu, tapi ternyata floriografi tidak menjadi kenyataan ketika hubungan berakhir dan dia bukan cinta abadi yang semesta pilihkan untukku.
Mawar putih ini membawaku kembali pada ingatan lain, satu kenangan bersamanya dan jadi paling berharga dari hubungan dua tahun yang aku miliki.
Aku terkena demam berdarah, tiga hari dirawat intensif di rumah sakit. Aku merasa sudah lebih baik. Terus meminta pulang pada Kai.
“Kamu tidak akan berhenti minta pulang sebelum dituruti, kan?” Suamiku berdiri masih dengan pakaian kerjanya, hanya jas saja yang sudah lepas dari tubuhnya dan tergeletak di lengan sofa yang ada di ruangan ini.
Rambutnya masih rapi, Kai tidak pernah betah rambutnya panjang bahkan hanya melewati telinganya sedikit. Dia lebih suka berpotongan pendek dan rapi.
“Mau pulang, aku udah sehat kok.” aku bersikeras.
Kai menghela napas, lelah mungkin menghadapi diriku serta dia tidak punya pilihan untuk mendebatku yang sedang sakit. Walau sakit menyebalkan, melihat Kai yang banyak mengalah dan menuruti apa pun yang aku mau, aku jadi menikmati momen ini. Karena di hari biasa, jangan harap menemukan Kai yang seperti ini.
“Oke. Besok pagi kita pulang. Tapi, setelah Kaflin mengecek kondisimu dan membolehkan pulang” Kaflin adalah adik Kai, dokter muda tampan yang bekerja di rumah sakit ini. Rumah sakit keluarganya. Kaflin menjadi dokterku selama aku di rawat di sini.
“Pasti Kaflin akan membiarkan aku pulang” percaya diriku. Kaflin adalah adik ipar favoritku. Meski usianya di atasku, tapi kami bisa jadi teman baik.
“Kita lihat bagaimana hasilnya, Anna.” Kata Kai lembut.
Papa yang ada di ruangan itu memerhatikan aku dan suamiku, dan berdecak “jangan selalu dituruti begitu, Kai. Anna bisa makin keras kepala.”
“Papa!” aku protes dengar ucapan Papa.
Kai duduk di sisi ranjang, membuat aku segera merapat dengan tangan menyelinap di lengan dan bersandar manja. Anak semata wayang membuat aku jadi punya sikap manja, atau kata Papa aku si kepala batu. Setelah menikah dengan Kai aku punya tempat terbaik untuk bermanja.
“Lho kenapa marah? Papa hanya mengingatkan suamimu, sikap kepala batu kamu ini suatu hari akan menyusahkan Kai.”
“Kepala batu Anna, masih di batas wajar, Pa.” Jawab Kai, aku merasa dia dipihakku.
Aku mencebikkan bibir, semakin mengeratkan pelukan di lengan Kai dan memainkan tangan besarnya. Menyatukan jari-jari kami, merasakan hangat menyelimutiku.
“Kamu beruntung, Anna. Kai sangat menyayangi kamu.” kata Papa.
Aku mengulum senyum, yang terlihat Kai memang begitu. Lalu kecupan di puncak kepala membuat aku menoleh.
“Aku mandi dulu.” Bisiknya.
“Tidak mandi juga suamiku tetap ganteng kok” cegahku, sementara Papa sudah sibuk dengan ponselnya lagi.
Kai terkekeh, tangan yang bebas terangkat menyentuh wajahku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga sebelum memberi usapan lembut berulang-ulang di pipiku.
“Badanku lengket. Sebentar aja.”
Aku akhirnya melepaskan suamiku, “Aku udah tiga hari tidak mandi. Bisa bayangkan rasanya?! Ugh!”
Kai sudah berdiri, masih memaku tatapannya pada wajahku “setelah kamu sehat, aku yang akan bantu kamu mandi—“
Aku membulatkan mata, mencubit perutnya “Kai, ish ada Papa!” cicitku, merasakan wajahku memanas.
Tetap cool, Kai melepas dasi dan satu persatu kancing kemejanya, membuat jari-jariku gatal ingin menggantikan dirinya. Setelahnya adalah bagian kesukaanku, menari diatas kulit telanjang tepat di da-da bidangnya lalu turun keperutnya yang seperti roti sobek itu. Liat. Aku suka merasakan otot-otot kencang hasil gym rutinnya selain Kai sangat menyukai olahraga basket. Lalu aku paling suka menikmati debaran jantungnya.
Kai sepertinya menyadari apa yang sedang aku pikirkan, dia mendekat dengan jari menjepit daguku. Membuat aku mendongak dengan tatapan sayu.
“Sepertinya kamu memang sudah sehat.”
“Apa?”
“Pikiran nakalmu—“
“Kai!” teriakku sampai Papa menoleh dan mengernyit.
“Ada apa Anna?” tegur Papa dengar teriakanku.
Aku menggigit bibir kecil, “Eh.. hm, bukan apa-apa Pa!” Kai tidak membantu sama sekali, dia malah tersenyum senang berhasil menggodaku.
Sialan!
***
Aku terdiam menatap Kaflin dan Kai sedang berbincang, Kaflin sedang membaca laporan kesehatanku.
“Bagaimana dokter tampan, bolehkah aku pulang?” tanyaku sengaja menarik atensi kedua pria yang sama-sama punya karismatik tersendiri. Jika Kai sangat cocok dengan setelah kerja dan dasi, maka Kaflin sangat cocok dengan jas putihnya. Tinggi mereka sama, jika berdiri bersisian begitu Kai dan Kaflin tidak bisa dibedakan mana yang adik dan kakak.
Kaflin berjalan hingga berdiri di sisi ranjang, “Kakak ipar, kamu boleh pulang.”
Senyumku merona, aku sudah tidak betah berbaring di ruangan ini meski fasilitas seperti hotel bintang lima sekali pun.
“Thank you, Kaflin—“
“Kamu yakin, Kaf?” tanya Kai memastikan, membuat senyumku surut.
“Kai...”
“Aku hanya memastikan aja, Anna.” Kai menjawab protesku. Papa sudah pulang tadi, jika ada pasti dia pun akan bertingkah sama seperti menantunya.
“Dia sudah tidak sabar untuk pulang.” lanjut Kai pada adiknya.
Kaflin terkekeh, mengedipkan satu mata dengan menyeringai “Padahal ranjang rumah sakit yang kamu tiduri sudah paling bagus.”
“Tetap berbeda dengan ranjang di rumah.” Jawabku, Kaflin bersedekap masih memandang dengan tatapan menggoda “berhenti menatapku begitu, Kaf!”
Kaflin mengangkat tangan, “Oke. Sori! Kamu sudah galak, sudah sehat.”
Aku memutar bola mata, malas. Kai dan Kaflin jelas punya sikap berbeda. Jika Kai kadang Cool sekali, maka Kaflin suka sekali bergurau. Serius saat jadi dokter aja, menghadapi pasien-pasiennya. Lalu dia pamit keluar untuk memeriksa pasien lain, sementara Kai mendekat dan duduk di sisiku.
Aku langsung bersandar pada dadanya “Kai...”
“Hm.” Gumam Kai, matanya fokus pada ponsel dan aku tidak suka diabaikan oleh perhatiannya sekarang, aku mengambil ponsel membuatnya terkejut “Anna—“ dengan berani aku mengecup bibirnya.
Kai awalnya terkejut, tapi tidak lama dia mengambil alih ciuman kami. Tangan yang lain mendekap pinggangku lalu merapatkan tubuh kami, dia menggigit bibir atas dan bawahku bergantian, lidahnya menyusup mencari lidahku dalam permainan yang nikmat. Tentu walau sudah tiga hari aku tidak mandi, aku masih rajin gosok gigi—
“Oh, astaga! Kalian keterlaluan!” Itu suara teriakan Kaflin yang kembali, memergoki kami. Kai tersenyum santai, tidak langsung menyudahi.
“Tolong ya kalian berdua, ini rumah sakit dan ya, aku bisa lihat sekarang kalau Anna memang sudah sangat sehat untuk membalas ciumanmu, Ka!”
Pipiku merona, aku sengaja menyembunyikan wajah di da-da Kai.
“Kaflin!” protesku, yang ditanggapi tawa adik-kakak itu.
***
Esok harinya aku bisa pulang ke rumah, Kai ada rapat penting dan tidak bisa menjemputku. Mertua perempuanku yang menjemput bersama sopir.
“Kalau butuh apa-apa, kamu tinggal bilang ya.” Kata mertuaku setelah sampai di dalam kamar.
Aku tersenyum, menerima usapan lembut mertuaku penuh sayang “makasih, Mama.”
“Ya. Kamu istirahat.”
Ketika akhirnya aku dibiarkan sendiri, bukannya tidur, aku malah mengambil ponsel dan mengirim pesan pada suamiku.
Me : Hubby. Aku sudah di rumah.
Kai tidak langsung membalas, dia pasti masih ada pertemuan penting dengan beberapa kolega. Aku bosan, menurunkan kaki. Duduk beberapa saat, meresapi apa ada sisa sakit kepala. Setelah memastikan tidak bergoyang barulah aku bangun dan melangkah perlahan menuju balkon kamar.
Aku memejamkan mata sebentar begitu semilir angin lembut membelai wajahku. Aku kian melangkah, lalu langkahku terpaku mencium aroma semerbak yang familier. Kuikuti aroma itu hingga di tengah balkon kutemukan satu pot besar dengan banyak bunga yang bermekaran.
“Mawar putih? Sejak kapan?” tiga hari lalu meninggalkan rumah aku ingat tidak ada tanaman ini di balkon kamar.
Aku baru akan melangkah mendekat ketika dering ponsel dari dalam kamar menarik perhatian, dengan tidak sabar aku kembali dan tersenyum begitu nama suamiku dan fotonya muncul.
“Kai...”
“Aku tebak, kamu sudah melihatnya?”
“Ya, apa ini Kai? Tanaman bunga mawar putih?” aku menunggu jawaban darinya.
“Kamu mengeluh bosan, sekarang kamu punya tugas merawat bunga favoritmu itu.”
Aku terkekeh, sangat bahagia. Setelah menikah dengan Kai, aku memang tidak bekerja. Kai lebih suka aku di rumah, “tidak ada romantisnya sama sekali!”
“Romantis versi diriku, ya ini. Mana ucapan terima kasihnya, Anna?” tanya Kai.
Aku menggigit jariku, lalu merebahkan diri di atas ranjang dengan ponsel masih di telinga “Thank you, Hubby. Cepat pulang. Aku merindukanmu!”
Kenangan yang satu itu adalah bagian favoritku. Aku bisa merasa jika Kai terlihat sangat sayang atau hatiku merasa dia juga mencintaiku, caranya memperlakukan diriku. Namun, semua itu semu seiring waktu seperti bunga yang setelah mekar perlahan akan layu dan kelopak bunga satu persatu akan jatuh meninggalkan keindahan yang telah berlalu.
Rasa mengantuk perlahan datang, aku terlalu malas membenahi posisi karena sudah nyaman. Membiarkan tidur memeluk satu tangkai bunga mawar putih, pemberian dari si tanpa nama. Namun, aku merasa sesuatu yang akrab begitu menggenggam mawar ini. Rasa tenang dan bahagia. Malam itu aku tutup hari dengan sebuah senyum yang aku sendiri tidak tahu alasannya karena apa...
Tentu saja, aku tak berharap bunga dalam dekapanku ini pemberian dari dia.
Tidak mungkin, karena dua tahun ini aku sudah terbiasa tanpa dirinya. Jarak terlalu membentang diantara kami, aku di sini dan dia entah dimana.