I Hate Monday

1802 Kata
I hate Monday. Kalimat itu sejatinya berlaku pada sosok Dinar sekarang. Setelah melewati weekend paling kelam dalam hidupnya, kini ia harus kembali ke kantor untuk bekerja. "Selamat pagi, Bu Dinar!" sapa seorang satpam ketika perempuan itu baru sampai pelataran gedung setelah turun dari ojek online. "Pagi, Pak Jaya!" Setelah membalas sapaan satpam kantor, Dinar melanjutkan langkah menuju lift karyawan. Di sana sudah terlihat kerumunan orang yang bersiap menunggu lift turun dan mengangkut mereka ke lantai kerja masing-masing. "Selama pagi, Bu Dinar!" "Selamat pagi, Bu!" Beberapa orang yang mengenalnya, satu per satu menyapa hormat. Penampilan Dinar yang selalu elegan dan penuh percaya diri selalu membuat semua orang menatapnya segan. Sikapnya yang tegas dan selalu berwibawa menjadikan sosok Dinar begitu mudah dihafal. Selain itu —yang utama sebab jabatannya sebagai seorang manajer, tentu tidak dianggap main-main oleh sebagian besar karyawan. Terlebih prestasi Dinar yang banyak orang ketahui selalu mengagumkan, membuat banyak karyawan enggan bertingkah macam-macam. Lift sebelah kiri berdenting. Tampak kosong, seketika membuat orang berebut untuk masuk. Sebagian dari mereka memberi jalan bagi Dinar untuk masuk lebih dulu. Beruntung baginya karena dengan jabatannya tersebut, membuatnya sedikit lebih diistimewakan dibanding orang-orang yang memiliki jabatan lebih rendah darinya. "Terima kasih," ucap Dinar pada seorang karyawan laki-laki yang memberinya jalan. "Sama-sama, Bu." Tidak semua orang kebagian masuk. Waktu pagi yang selalu penuh orang, membuat kapasitas lift yang hanya mampu memuat sepuluh orang dewasa harus menyisakan beberapa orang di luar. Yang mau tidak mau harus menunggu lift sebelahnya terbuka. Dinar jelas beruntung. Meski sebenarnya ia juga tidak terlambat, tetapi dengan jabatannya sekarang, bisa saja membuat ia yang datang telat akan diberikan prioritas. Suasana di dalam lift terasa sunyi, hanya suara kotak besi yang bergerak naik terus ke atas untuk berhenti di setiap lantai yang ditekan oleh karyawan. Seperti yang para karyawan lakukan, begitu juga Dinar, perempuan itu diam, sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun hanya helaan napas yang ia usahakan tak berbunyi. Hingga akhirnya lift berhenti di lantai sepuluh, Dinar pun keluar. Dengan langkah tegas meski sebenarnya banyak pikiran yang menggangu suasana pagi harinya, perempuan itu tetap berusaha untuk terlihat baik di mata para staf. "Selamat pagi, Bu Dinar!" sapa seorang perempuan muda berkaca mata dengan nama Zara di name tag-nya. "Selamat pagi, Zara!" balas Dinar seketika berhenti dan berdiri di depan meja gadis tadi, yang tak lain adalah sekretarisnya. "Bagaimana tugas yang saya berikan, apakah sudah selesai?" "Sudah, Bu. Sudah saya letakkan juga di meja Ibu." "Ehm, bagus. Tugas itu memang sudah harus selesai sebab hari ini Pak Dikta memintanya." Zara tampak mengangguk hormat. Ia merasa senang karena Dinar memuji pekerjaannya yang selesai. "Baiklah, kalau begitu saya permisi. Jangan lupa tolong buatkan kopi panas, yah!" "Baik, Bu. Segera saya buatkan." Setelah berbincang dengan sang sekretaris, Dinar kemudian masuk ke ruangannya. Pekerjaan yang sudah menanti untuk ia kerjakan, membuat suasana hatinya yang buruk mau tidak mau harus ia kesampingkan untuk sementara waktu. Ruangan berukuran sedang, khas ruangan seorang manajer pada umumnya, adalah tempat bagi Dinar menghabiskan sebagian hidupnya sejak ia bekerja di perusahaan tersebut. Kini ia yang tengah dilanda masalah setelah kejadian one night stand kemarin malam, seperti kehilangan semangat bekerjanya selama ini. Di saat Dinar tengah bergelut dengan pikirannya yang membuat sumpek, terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Masuk!" teriak Dinar kemudian. Handle pintu terlihat diputar. Lalu, papan tebal berwarna coklat tua itu didorong perlahan dari luar. Tampak Zara membawa secangkir kopi di atas nampan kayu, berjalan perlahan ke arah sang atasan. "Taruh saja di situ, Ra!" perintah Dinar menunjuk sisi meja sebelah kanannya yang kosong. "Terima kasih," ucap Dinar kemudian. "Apa ada hal lain yang Ibu butuhkan?" tanya Zara sebelum ia pamit pergi. "Untuk sementara ini tidak ada. Kamu bisa kembali ke mejamu sekarang. Saya akan panggil kalau memang membutuhkan." "Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi." "Iya." Meninggalkan Dinar yang kemudian ditinggalkan oleh Zara sendirian di ruangannya, di tempat lain di gedung yang sama, ada seorang laki-laki yang terlihat santai berjalan menuju salah satu ruangan. Bersama tiga orang laki-laki lain, lelaki yang tak lain adalah Ardian itu tampak tenang mengikuti tahapan wawancara pekerjaan di mana dirinya yang ternyata melamar pekerjaan di perusahaan di mana Dinar bekerja. "Selamat bergabung. Mulai hari ini kalian semua sudah resmi diterima di perusahaan ini. Untuk itu saya harap kalian bisa memberikan kontribusi terhadap perusahaan. Bekerja dengan tekun dan baik, dengan tidak memalukan citra perusahaan dan menjaga nama baik perusahaan di mana pun kalian berada." Seorang laki-laki yang merupakan seorang manajer personalia, sedikit memberikan kata-kata sambutan dengan memberikan briefing pada empat orang karyawan baru tersebut. Terlihat Ardian mengangguk bersama ketiga kawan barunya itu. Mereka yang terlihat muda, tampak penuh semangat dan bergejolak. "Baiklah, saya akan umumkan di bagian mana saja kalian akan bekerja." Tampang yang penuh harap-harap cemas seolah sedang menunggu pengumuman kelulusan, padahal nyata mereka sudah berhasil lolos dan tinggal menunggu posisi di mana mereka bekerja. "Sony Septian!" "Saya, Pak!" Seorang lelaki berkaca mata mengangkat kelima jarinya alias telapak tangan. "Kamu akan bekerja di divisi humas sesuai dengan pendidikan kamu." "Baik, Pak. Terima kasih." Lalu, kembali berturut-turut nama tiga orang sisanya disebut. Manajer personalia itu memberi tahu di mana posisi mereka dalam mengapresiasikan ilmu yang dimiliki. Sang manajer personalia memberi tahu dua orang karyawan baru di depannya. Lelaki paruh baya yang tampak bijak khas seorang bapak yang memiliki sifat dan sikap baik hati, tersenyum menatap keempatnya. Ardian tampak masih santai meskipun ia yang terakhir namanya dipanggil. "Ardian Saguna!" "Saya, Pak!" "Kamu akan bergabung di divisi keuangan, sesuai dengan posisi yang kamu pilih tentunya." "Baik, Pak. Terima kasih." Ardian tampak mengangguk hormat. "Baiklah. Saya harap ini adalah awal di mana kalian melakukan semua pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Tidak mengecewakan kami, perusahaan, dan tentunya kalian sendiri," lanjut lelaki itu lagi. "Setelah ini kalian akan dipandu oleh staf saya untuk diantar ke tempat masing-masing. Sekali lagi, selamat bergabung!" Ardian dan ketiga teman barunya menyalami laki-laki yang sudah memberi mereka kesempatan untuk bekerja di tempat tersebut. Perasaan hati yang pastinya bahagia karena bisa bergabung di salah satu perusahaan terkenal dan bonafit, tampak jelas tergambar di wajah keempatnya. "Ini ruangan divisi humas, untuk Mas Sony akan saya antar dan kenalkan pada pimpinan di sini." Laki-laki muda berkaca mata yang berdiri di samping Ardian, maju satu langkah dan mengikuti sosok staf personalia tadi. Sisa tiga orang lain, menunggu sembari melihat-lihat ruangan yang tampak hening hanya suara jari yang beradu dengan papan keyboard komputer, dimainkan oleh para staf yang terlihat fokus bekerja. Ardian dan kedua teman barunya saling melempar senyum. Ketiganya seperti memiliki pemikiran yang sama dalam pikiran masing-masing. Sebuah suasana yang mereka idam-idamkan selama ini telah berada di depan mata. Bau-bau sebagai seorang karyawan kantoran, setelah banyak lamaran mereka masuki ke perusahaan-perusahaan dengan harapan mendapat pekerjaan layak dan dikagumi banyak orang, dan pastinya membuat orang tua bangga. Di saat Ardian dan teman barunya menunggu sambil melihat-lihat sekitar ruangan —tanpa mereka sadari, beberapa karyawan perempuan di divisi humas yang saat ini tengah mereka berdiri di dalamnya, terlihat saling berbisik dan melempar senyum sembari melihat ke arah Ardian. Entah apa yang para perempuan itu katakan, tapi ada beberapa tatapan genit yang mengarah kepada Ardian, yang mendadak lelaki itu sadari dan membuatnya sedikit risih. Namun, beruntung karena staf personalia yang tadi mengantar Sony, muncul dengan seorang laki-laki lain yang sepertinya adalah manajer di divisi tersebut. "Baiklah, Pak Zaenal. Saya permisi dulu. Masih ada dua ruangan yang harus saya kunjungi," ucap staf personalia yang bernama Agus, tampak di name tag-nya. "Makasih, Agus!" "Sama-sama, Pak." Karyawan laki-laki bernama Agus itu kemudian berjalan lebih dulu, meninggalkan ruangan pertama. Membawa sisa tiga orang karyawan baru, termasuk Ardian, yang kemudian diantar paling akhir. "Baiklah, Mas Ardian. Ini adalah ruangan divisi keuangan. Sesuai perintah Pak Fandi, yaitu manajer personalia, mulai hari ini Mas Ardian akan bergabung dan bekerja di divisi ini. Saya akan antar dan kenalkan Mas Ardian dengan manajernya." "Baik. Terima kasih, Mas Agus." Ardian tampak tegang, jauh dari perasaannya sebelumnya di mana ia masih bisa bersikap santai dan tenang. Entah apa yang terjadi pada dirinya, menatap sebuah sebuah pintu yang ada di depannya saat ini, perasaan lelaki itu mendadak tegang. Sampai-sampai, tatapan beberapa orang karyawan ke arahnya, tidak membuatnya risih seolah cuek. "Selamat pagi, Zara. Apa ibu manajer ada di dalam?" sapa Agus pada sekretaris yang terlihat serius dengan layar komputernya. "Eh, Mas Agus. Pagi juga. Mau ketemu ibu?" balas perempuan muda yang saat itu terlihat tersenyum menatap Agus. "He-em. Ada tugas nih dari Pak Fandi. Biasa, anak baru," ucap Agus lagi sembari menengok ke arah Ardian, yang sontak membuat Zara menatap lurus pada sosok yang Agus maksud. Mendadak senyum paling manis Zara sunggingkan saat menatap Ardian yang tersenyum ke arahnya. "Ehem!" Tiba-tiba Agus bersuara, seolah memberi kode pada Zara kalau ia harus cepat. "Eh, iya, Mas. Ibu ada kok di dalam. Sebentar saya coba beri tahu, yah." Zara tampak salah tingkah. Perempuan itu kemudian mencoba menghubungi sang atasan melalui sambungan telepon kantor. "Maaf, Ibu. Ini ada Mas Agus, staf-nya Pak Fandi. Izin mengantar karyawan baru." Agus dan Ardian diam memperhatikan perempuan di depannya yang berbicara ramah ketika menghubungi sang pimpinan. "Baik, Ibu. Akan saya sampaikan. Terima kasih." Perempuan bernama Zara itu pun lantas meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Lalu, mempersilakan Agus dan Ardian untuk masuk. Sesaat dua orang lelaki itu masuk ke dalam ruangan, meja Zara seketika dikerubungi oleh staf karyawan lainnya. "Siapa itu, Zar?" tanya seorang karyawan perempuan berkaca mata. "Karyawan baru." "Siapa namanya?" tanya karyawan lain. "Eh, enggak tahu. Aku lupa namanya." Zara tampak kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia lupa menanyakan nama Ardian saat berdiri bersama Agus tadi. "Ya, gimana sih, Mba Zara." Perempuan muda lain ikut berkomentar. Zara benar-benar menyesal. Ia yang sejak awal melihat sosok Ardian sudah tertarik, turut tak enak hati ketika beberapa temannya tidak berhasil mengetahui nama karyawan baru tadi. "Nanti kita tanya sama Mas Agus. Lagian kalo karyawan itu diantar ke sini, itu artinya dia akan bergabung sama kita di sini 'kan?" ucap Zara akhirnya. "Hem, iya juga sih. Ya sudah, kita tunggu aja." Kembali para perempuan itu ke meja masing-masing sembari mendapat seruan dan ejekan dari sebagian karyawan laki-laki. "Huu! Penonton kecewa!" Meninggalkan para karyawan perempuan yang kecewa sebab belum mengetahui nama si karyawan baru, di dalam ruangan Ardian berdiri di belakang Agus yang menyapa manajer keuangan. "Selamat pagi, Bu!" "Selamat pagi, Mas Agus. Ada yang bisa saya bantu?" Perempuan yang membalas sapaan Agus itu terlihat duduk dengan kaca mata bertengger di atas batang hidungnya. Menatap anak buah rekan sejawatnya yang datang bersama seorang laki-laki, yang tak lain adalah karyawan baru yang akan bergabung di divisinya. "Saya disuruh Pak Fandi mengantar karyawan baru yang akan bergabung di divisi Ibu." "Oh, ok. Silakan!" Perempuan berkaca mata yang tak lain adalah Dinar, tampak berdiri dan menatap ke arah Agus, juga sang karyawan baru. Terlihat Agus menggeser posisinya supaya laki-laki yang bersamanya bisa maju dan memperkenalkan diri. Namun, saat laki-laki yang adalah Ardian berdiri di sebelah Agus, sebuah seruan terkejut terlontar dari mulut Dinar. "Kamu!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN