Ruangan manajer keuangan itu kini hanya menyisakan dua orang saja, yakni Dinar dan Ardian. Agus, staf bagian personalia yang sebelumnya bertugas mengantar Ardian si anak baru ke divisi yang Dinar pimpin sudah keluar ruangan, kembali ke tempatnya.
Ruangan ber-AC tempat Dinar bekerja, mendadak menyesakkan d**a perempuan itu. Kemunculan Ardian, laki-laki yang sudah merenggut mahkota berharga miliknya ternyata melamar di perusahaan di mana ia bekerja.
"Bagaimana kamu bisa melamar ke perusahaan ini? Apakah kamu menguntitku setelah malam itu? Bukankah aku udah bilang, aku akan menghubungi kamu kalau aku melanjutkan tuntutan pertanggung jawaban atas apa yang udah terjadi di antara kita. Bukan dengan cara seperti ini, tahu-tahu muncul dan bisa-bisanya ditempatkan di divisi yang aku pimpin." Dinar langsung memberondong Ardian dengan banyak pertanyaan. Ia teramat kesal dengan situasi yang tidak menyenangkan baginya.
Ardian yang sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Dinar, hanya diam dengan wajah —yang sialnya menyebalkan di mata Dinar.
"Pertama, saya enggak tahu kalau kamu bekerja di perusahaan ini. Kedua, bukankah saya kemarin sempat bilang kalau melamar kerja di satu perusahaan dan sedang menunggu panggilan? Nah, perusahaan inilah yang saya ajukan surat lamaran."
Dinar benar-benar tidak terima dengan jawaban Ardian. Bagaimana ia bisa lupa dengan tidak menanyakan di mana laki-laki itu melamar pekerjaan.
Tapi, apa yang akan ia lakukan kalau pun sudah tahu sejak awal? Lebih dulu lelaki itu melamar kerja di sini dibandingkan dengan waktu kejadian mereka bermalam di hotel di weekend kemarin.
"Arg! Baru juga aku menenangkan diri, kenapa malah jadi tambah runyam kaya gini sih?"
Ardian bisa melihat kekesalan yang Dinar tengah rasakan. Tapi, di mana letak kesalahannya sehingga ia seolah menjadi terdakwa di kondisi saat ini.
"Maaf, Mba." Saat berkata seperti itu, sontak Ardian bisa melihat ketika perempuan itu menatap ke arahnya tajam.
"Eh, maaf, maksud saya, Bu Dinar."
"Enggak perlu berlebihan. Panggil aku Dinar aja. Aku pikir usia kita enggak jauh beda."
"Ehm, ya, Dinar. Tapi, kalau boleh tahu, ada masalah apa yang membuat kamu frustrasi dan berpikir kalau situasi sekarang sedang runyam?"
Lagi-lagi Dinar tak habis mengerti, bagaimana bisa Ardian tidak menyadari kalau masalah di antara mereka sekarang betul-betul perlu penyelesaian khusus. Tidak sembarang mengambil keputusan, terlebih ada yang dirugikan di situasi ini, yaitu hilangnya keperawanan Dinar karena kesalahannya. Ia yang pastinya tak bisa menuntut hukum terhadap Ardian, hanya sedang mencoba berpikir panjang dan benar agar tidak terkecoh apalagi menyesal karena buru-buru mengambil keputusan.
"Begini, sebelumnya mungkin kamu tidak tahu apa pekerjaan atau profesi aku ketika pertama kali kita bertemu. Aku yang sempat tanya, apa pekerjaan kamu dan kamu bilang seorang supir pribadi, aku masih tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena dunia dan tempat pekerjaan kita yang berbeda. Tapi, sekarang setelah tahunya kamu bekerja di sini, apa enggak bikin rencanaku meminta pertanggung jawaban kamu jadi berantakan?"
"Kenapa harus berantakan? Jalankan saja kalau kamu memang maunya seperti itu."
"Dengan status pekerjaan kita yang berbeda? Enggak, aku enggak mau!" seru Dinar tak suka.
Namun, yang tampak di wajah Ardian bukan ekspresi tersinggung atau kesal. Lelaki itu malah santai dan cenderung cuek.
"Ya sudah, kalau memang kamu enggak jadi minta tanggung jawab dari saya, saya pikir itu bukan masalah. Saya sama sekali enggak rugi di sini."
Dinar melirik, menatap kesal lelaki yang akan menjadi anak buahnya selama kontrak training tiga bulan ke depan.
"Kamu senang dan puas bukan?"
"Siapa bilang? Sejak awal saya enggak pernah merasa puas atau pun senang. Bukannya waktu itu saya udah bilang, seharusnya kamulah yang bertanggung jawab atas insiden yang terjadi di antara kita kemarin. Jadi, jangan menuduh saya seolah-olah kalau kamu yang dirugikan di situasi ini."
Ardian mulai terlihat tak mau kalah. Tapi, semuanya ia katakan dalam ekspresi candaan yang membuat Dinar melongo tak percaya.
"Baiklah, karena urusan kita sudah selesai, sekarang bisakah Anda sebagai atasan memberikan tugas atau pekerjaan apa saja yang harus saya kerjakan sebagai staf di divisi keuangan?" tanya Ardian dengan tatapan seperti seseorang yang ingin mengajak bertengkar.
'Apa-apaan ini? Kenapa laki-laki ini yang mengaturku?'
Dinar tak suka dengan sikap Ardian yang merasa kalau di antara mereka ada hubungan yang spesial dan akrab. Gayanya tengil seperti laki-laki metroseksual yang kerap bertingkah sok gaul dan terkenal.
"Kenapa kamu yang mendikteku di sini?"
"Siapa yang mendikte Ibu. Saya hanya berpikir kalau waktu kita sudah semakin banyak terbuang. Ada baiknya kalau saat ini Ibu menyingkirkan terlebih dulu urusan pribadi di antara kita dan memberikan pada saya tugas selayaknya para staf di luar sana."
Untuk yang satu ini Dinar setuju. Ardian mengingatkannya akan keberadaan mereka di ruangan itu. Ia pun kemudian menghubungi seseorang melalui panggilan telepon.
"Hallo, Zara!"
Rupanya sekretaris Dinar yang ditelepon.
"Tolong panggil Mufi untuk ke ruangan saya!"
"Iya, segera yah!"
Dinar kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Lalu, ia menatap Ardian yang tersenyum menatapnya.
"Kamu enggak usah lihat-lihat aku kaya gitu!" Dinar berkata judes.
"Kenapa? Apa menatap atasan sendiri itu ada larangannya?" Ardian benar-benar bertingkah konyol, yang membuat Dinar kesal.
"Enggak ada. Tapi, enggak pantes aja. Apalagi kamu senyum-senyum kaya gitu!"
"Oh, maaf kalo menurut kamu enggak pantes. Tapi, jujur aja saya senang liatin kamu. Ternyata dengan pakaian kerja kaya gini, kecantikan kamu tetap enggak berubah."
"Jangan kurang ajar kamu!" Dinar membentak Ardian karena merasa laki-laki di depannya itu sudah bertindak keterlaluan.
"Ck, pantas aja kamu disegani di sini, ya ... itu karena sikap kamu yang tegas. Eh, apa judes yah? Ehm, gitu deh pokoknya."
Ardian dengan sikapnya yang konyol dan cuek, benar-benar menguji kesabaran dan emosi Dinar saat ini.
"Kamu benar-benar bikin aku emosi!"
Di saat Ardian tersenyum mendapat kekesalan Dinar, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.
"Masuk!" ucap Dinar, tetapi kedua mata menatap tajam Ardian.
Tampak sosok perempuan yang sebelumnya Dinar perintahkan untuk datang ke kantornya, masuk dengan sikap hormat yang terlihat.
"Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya karyawan perempuan itu mendekat.
"Pagi juga. Saya mau minta tolong kamu. Sebelumnya, kenalin ini Ardian. Dia karyawan baru di divisi ini." Dinar memperkenalkan karyawannya pada Ardian.
Terlihat lelaki itu bangun dan mengulurkan tangannya.
"Ardian."
"Mufi."
Keduanya sama-sama tersenyum. Mufi dengan kaca mata bacanya kembali menengok ke arah Dinar.
"Mufi, tolong kamu beri dan ajari dia tugas harian kamu. Dampingi dia sampai bisa. Nanti sebelum istirahat makan siang, tugas yang kamu kasih biar dia laporkan ke saya!"
"Baik, Bu. Apa itu saja?"
"Iya. Untuk saat ini itu saja. Untuk yang lainnya, nanti saya kabari."
"Baik, Bu. Mengerti. Kalau begitu saya permisi!"
"Ehm, ya. Silakan!"
Mufi lalu menatap Ardian. "Silakan, Mas Ardian. Bisa ikut saya!"
Ardian mengangguk paham. Sebelum mengikuti Mufi yang sudah berjalan lebih dulu, Ardian melihat ke arah Dinar dan berkata.
"Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu. Nanti saya akan kembali lagi ke sini untuk menyapa Ibu dan menanyakan masalah yang belum selesai."
'Apa!' gumam Dinar terkejut.
Sejenak Dinar bisa melihat respon kaget dari Mufi karena ucapan Ardian, yang malah pelakunya tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan melewati Mufi yang masih terdiam, melongo.
"Hehe!" Dinar bereaksi canggung ketika Mufi menatap ke arahnya.
'Lelaki kurang ajar!'
***